BUYA Hamka, 17 Pebruari ini genap 70 tahun. Kali ini ada
terbentuk sebuah panitia ular tahun. "Ini maunya Rusydi dan
teman-temannya," kata Buya. H. Rusydi adalah anak nomor dua dari
7 orang anak Buya yang masih hidup. Bertempat di Aula Mesjid
Agung Al Azhar, "dan cuma sebuah kenduri yang kecil saja," kata
Rusydi.
Dalam kesempatan itu sebuah buku setebal 288 halaman, dengan
judul Kenang kenangan 70 Tahun Buya Hamka, diserahkan oleh
Panitia HUT yang diketuai Solihin Salam. 46 orang telah
menulis tentang Hamka tari berbagai segi.
Mulai dari Dr. Mohamat Hatta, Mohams mat Natsir, Emzita (teman
pribadi, I yang punya koleksi 27 tahun "Suratsurat tari Hamka
keparia Emzia"), Mr. Mohamad Roem, Dr. Anwar Hsryono SH, M.
Yunan Nasution, ir. H.M. Sanusi, Dr. Deliar Noor sampai
Mohahamad Zein Hasan, teman sekampung sehalaman.
Sejak usia 17 tahun Buya telah menulis. Buku-buku tentang agama
dan filsafat saja hingga kini ada 113 buah. Pada usia 28 jadi
pemimpin Redaksi Majalah Pedoman Masyarakat di Medan. Masih naik
sepeda Fongers, gaji permulaan Buya cuma 25 gulden. Waktu itu
anaknya dua orang. M. Yunan Nasution yang juga jadi anggota
redaksi Pedoman Masyarakat menulis tentang Buya: kutu buku, daya
ingatnya sangat kuat. Mengetik cuma dengan empat jari, tapi
cepat. Sejak 1936 itulah, Buya selalu mengarang siang hari,
sekitar jam 11.00 sampai 13.00.
Tentang itu Yunan berkesimpulan: "Rupanya inspirasi yang
dipancarkan melalui sinar matahari hanya dapat menembus pikiran
orang-orang yang berkepala botak." Di Medanlah Buya mengarang
buku-bukunya yang berkisar pada roman adat, seperti Tenggelamnya
Kapal van der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Merantau ke
Deli.
Ada cerita Yunan tentang Pedoman Masyarakat dan cerita
bersambung Tenggelam Kapal van der Wijck. Mingguan yang terbit
setiap Rabu itu, sampai di Kotaraja (Banda Aceh) hari Rabu
malam. Di stasiun di sana malam itu banyak orang menunggu. Bukan
saja para agen, tapi juga para pembaca yang sudah tidak sabar
menanti lanjutan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bahkan ada
sebuah telegram yang minta agar tokoh Hayati jangan dimatikan.
"Buya sendiri menanyakan hal ini kepada saya," tulis Yunan,
"bagaimana sebaiknya Hayati ini. Dimatikan atau dihidupkan."
Soalnya Buya menulis cerita tersebut sepotong-potong.
Kepergiannya ke Medan memang punya sebab. Konon sang ayah
memaksa Buya menikah dengan wanita pilihannya. "Ayahnya hampir
putus asa melihat kelakuan si Malik," tulis Mohamad Zein Hasan,
teman kecil Buya. Ayah Hamka adalah ulama besar Dr. H.A Karim
Amrullah, almarhum. Karena sang ayah sudah tidak sanggup lagi,
dikirimlah si Malik - namanya kemudian berubah jadi si Amka - ke
seorang ulama besar bernama Syaikh Ibrahim Musa di Bukittinggi.
Tapi Malik lebih suka jadi wasit sepakbola, penyabung ayam,
pendekar silat bahkan jadi jockey di Payahkumbuh. Malah belum
lagi silatnya sudah berani menantang orang berkelahi dengan
pisau. Orang-orang tidak berani bertindak, karena Malik adalah
"anak beliau".
Pernah pula Buya berpotret dengan gaya jagoan. Memakai baju
teluk belanga, celana galembon, destar hitam, sarung Bugis
disandang miring, ayam kinantan di pangkuan, dan mata menantang.
Di ujung bawah ada batutulis dengan tulisan: Adat juara alah
menang. Itu di zaman Buya jadi penyabung ayam. Tapi semakin
lanjut semakin seriuslah dia. Beberaya puluh tahun kemudian,
1950, keluarlah buku tulisan Hamka berjudul: Ayahku: Riwayat
Hidup Dr. H. Abdul Karm Amrullah. Buku ini bagaikan penebus
kenakalannya di masa muda.
Ketua Umum Majlis Ulama Pusat dan imam besar Mesjid Agung Al
Aztlar ini, yang pernah ditahan selama 2 tahun sejak 1964,
hampir selalu duduk di kursi dengan kaki bersila. Juga kalau
sedang mengetik. Dia bisa terus mengetik sambil orang bertanya
sesuatu yang lain, dan menjawab. Ketika ùIsia muda, Buya bisa
menyanyikan lagu klasik Minang. Teman-temannya menganggap suara
Buya bolehlah.
Kegemarannya yang lain: makan enak. Durian, masakan Padang, dan
masakan Arab yang telah di-Padang-kan. Kalau ada sesuatu yang
baru di lidahnya, tak segan-segan Buya bertanya apa bumbunya.
Kemudian diceritakannya kepada isterinya almarhumah, H. Siti
Raham. Sehingga terkenallah itu "gulai itik Umi, soto Umi, kari
ayam Umi" dan sebagainya. Buya sendiri hafal di mana saja yang
ada restoran dengan makanan enak.
Kini berbagai penyakit menimpa. Mulai dari darah tinggi sampai
diabetes. Lemang dan durian pun sekarang tidak boleh
disentuhnya. "Saya sudah puas makan enak," kata Buya, yang masih
harus istirahat sakit.
Bulan lalu Buya terpaksa istirahat di RS Pertamina. Di lantai VI
di pintu kamarnya ada tulisan: tidak menerima tamu.
Perjalanannya akhir 1977 ke Lahore dan Kairo rupanya melelahkan
fisiknya. Pemegang dua kali gelar doktor honoris kausa ini (1958
dari Universitas Al Azhar Kairo, dan 1974 dari Universiti
lebangsaan Malaysia untuh kesusasteraan dari Fakulti Pengajian)
tahun 1973, kawin lagi atas anjuran anak-anakna. Dan dipetiklah
H. Siti Hadjdjah (50 tahun), janda, dari Cirebon.
Apa rencana Buya setelah sembuh sama sekali? "Sampai saya
pensiun," ujarnya, akan tetap bekerja seperti biasa. Bangun jam
03.00 pagi, sembahyang tahajud dan subuh. Kemudian tidur lagi.
Jam 07.00 bangun, sarapan. Di rumahnya selalu saja orang
berdatangan minta advis, bertanya tentang tafsir qur'an dan
segala macam. "Pensiun seorang Muslim," katanya, "setelah dia
mati. Ada hadis Nabi: orang beriman tidak akan berhenti bekerja
sebelum pensiun. Pensiunnya itu di sorga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini