DI bulan bahasa ini, jago-jago tua bertempur: lewat kata-kata. Bermula dari Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh Pujangga Baru yang sudah menerbitkan banyak buku tentang bahasa Indonesia. Di forum Temu Budaya '86, di Teater Arena Taman Ismail Maruki, Jakarta, Takdir mengusulkan agar Pusat Bahasa resminya bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa -- lembaga di bawah Dep. P dan K dibubarkan. Atau tugasnya dialihkan: menyusun buku-buku pelajaran bahasa Indonesia yang baik. Alasannya, "Lembaga ini sering mengeluarkan istilah-istilah yang bukan berasal dari satu disiplin ilmu atau masalah," katanya. Usul Takdir, yang diucapkan dengan lantang sebagai selingan membacakan makalahnya, disetujui H. Rosihan Anwar, wartawan senior yang tadinya juga penyair. Adapun Fuad Hassan, seorang peminat sastra -- terakhir menerjemahkan cerita pendek Hungaria -- yang kini Menteri P & K, dan karena itu dia bos Pusat Bahasa tersebut, yang membuka pertemuan ini, hanya senyum-senyum kecut. Tak ada tanggapan apa-apa dari Fuad di hari pertama Temu Budaya, Kamis pekan lalu itu. Mungkin belum ada kesempatan. Acara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta untuk menyongsong Kongres Kebudayaan itu sangat padat. Masih banyak pembicara lain, antara lain, Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Letjen (pur) Sayidiman, Arief Budiman. Fuad baru membalas sodokan Takdir, Jumat esok harinya, ketika membuka Pameran Kebahasaan dan Pintu Terbuka di kompleks Pusat Bahasa, Jakarta -- yakni di kompleks lembaga yang oleh Takdir diusulkan dibubarkan itu. Ia bilang, "Ide Takdir itu tidak salah, cuma kurang menarik." Lalu, "Pusat Bahasa tak akan dibubarkan karena keberadaannya sangat penting dan dibutuhkan," katanya di depan para karyawan Pusat Bahasa. Kepada wartawan, seusai acara resmi, Fuad menyatakan keheranannya, mengapa pendapat yang belum dipikirkan masak-masak itu justru keluar dari Sutan Takdir Alisjahbana yang salah satu keahliannya adalah bahasa. Wah, wah. Apa, sih, yang disengketakan Takdir merasa tak enak dengan sejumlah kata asing yang diindonesiakan. Umpamanya, monitor diganti dengan "pantau", kata sophisticated diganti "canggih". Kata Takdir, kata-kata Indonesia itu "Tak biasa di telinga." Mungkin Takdir jarang menyimak TVRI yang sudah sering memakai dua kata itu. Juga dia agaknya mengabaikan media cetak, yang juga telah kerap menggunakannya. Jadi, sebenarnya, bila salah seorang tokoh Polemik Kebudayaan itu sering memantau TVRI, surat kabar, dan majalah, tentu, istilah-istilah "baru" itu segera "terbiasa di telinga, dan terbiasa di mata". Bukankah "alah bisa karena biasa"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini