UNIK juga orang ini. Ia tak tahu kapan persisnya dia lahir, dan
tak mau meneliti soal itu. Tapi ia toh meneliti hal lain:
sejarah kota Semarang misalnya. Hasilnya sudah diterbitkan.
Amen Budiman sendiri mengaku ia bukan ahli sejarah. Laki-laki
berumur 36 asli Semarang ini memang sejak di SMA asyik pada
sejarah, tapi ia memilih Fakulas Hukum. Rupanya tak cocok.
Sampai pada sarjana muda di Universitas 17 Agustus (Jakarta), ia
berhenti. Ia kembali pada "hobi lama, menekuni sejarah."
Di rumahnya naskah kuno berserakan. Istrinya, yang belum punya
anak, nampaknya memahami ini. Amen, di bawah dahinya yang lebar,
bukan orang yang mudah diganggu untuk memenuhi kegemarannya yang
ternyata penting ini. Ia berhasil menguasai bahasa Belanda dan
Inggris juga dengan kemauan keras. Begitu ia berhenti kuliah, ia
berniat menyusun sejarah Kota Semarang -- dan selama 15 tahun
tekun meneliti, mengumpul bahan dan menuliskan itu.
Ia juga dengan berani berkorespondensi dengan para ahli luar
negeri, di antaranya Dr. H.J. de Graaf di Velp dan Dr. Th. G.
Th. Pigeaud di Zeist (keduanya Negeri Belanda) -- dan dapat
respons. Ia juga sering kontak dengan Mastini Hardjoprakoso,
Kepala Perpustakaan Museum Pusat dan para petugas di bagian
naskah. "Dengan semua nama itu, saya belum pernah berkenalan
langsung, hanya lewat surat," kata Amen.
Polemik
Jerih payahnya selama 15 tahun dalam hal sejarah Kota Semarang
tak siasia. Naskahnya mulai 10 Januari 1975 dimuat secara
bersambung di harian Suara Merdeka tiap Jum'at, sampai tahun
1977. Baru tahun 1978 Amen bekerjasama dengan penerbit Tanjung
Sari membukukan naskah ini dalam empat jilid. Judulnya agak
norak, Semarang, Riwayatmu Dulu, tapi buku pertama ini, menurut
Amen, dapat pujian dari H.J. de Graaf dalam majalah ilmiah
Belanda yang termashur Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkeukunde (yang biasanya disingkat BKI). Amen kemudian
menerbitkan pula Semarang Juwita, yang penuh foto sejak abad
ke-19.
Tapi nama Amen Budiman mencuat ke atas juga karena polemik.
Sebuah tim yang antara lain dibentuk dari kalangan Universitas
Dipanegara menentukan hari lahir Semarang pada tanggal yang
berbeda dengan yang dikemukakan Amen. Kata Amen, hasil tim resmi
itu "tak berpijak pada fakta sejarah."
Bentrok karena soal sejarah ini juga terjadi ketika ia menulis
Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Buku ini dapat pasaran
luas, dan sekaligus membuat Amen Budiman -- di tengah polemik
hari lahir Semarang -- dicurigai dengan cara aneh. Seorang
pejabat bilang, "Lebih baik kita selidiki, jangan-jangan Amen
orang Cina."
Tapi sejarawan amatir ini cukup tangguh untuk penelitian lain.
Ia menulis satu buku tentang kaum homoseksual, Lelaki Perindu
Lelaki. Di samping mengutip tulisan di beberapa majalah, antara
lain TEMPO dan Time, ia berkelana di beberapa kota besar di
Jawa, menginterview 100 lebih orang homoseksual. Dan di antara
penelitiannya selama satu setengah tahun itu, ia juga mencoba
hidup dengan mereka. Buku yang bersubjudul "Sebuah Tinjauan
Sejarah dan Psikologi Tentang Homoseks dan Masyarakat Homoseks
di Indonesia" ini menyimpulkan bahwa masyarakat homoseksual di
Indonesia punya warna khusus dibandingkan masyarakat homo di
luar negeri.
Dari mana Amen hidup dan membiayai penelitiannya? Jawabnya,
"dari hasil bukunya dan menulis sejarah." Dan, "Saya banyak
diminta oleh sejumlah instansi untuk menulis riwayat gedungnya,"
tambahnya. Misalnya kini ia sedang mengerjakan pesanan dari PTP
(Perseroan Terbatas Perkebunan) dan Inspeksi Pajak untuk
menyusun sejarah tentang gedung yang ditempati. Amen menolak
menyebut honornya. Ia juga tak mau menyebut honor dari bukunya.
Bila minat untuk menulis sejarah tentang apa pun kian meluas,
orang seperti Amen tentu akan bisa lebih makmur -- dan lebih
berguna. Kini Amen terkadang berkorban. Untuk penelitian dan
penterjemahan Babad Dipanegara, ia terpaksa menjual beberapa
barang miliknya. Untung datang cukong -- dari pabrik Jamu Jago.
Amen dibantu, hanya dengan syarat: Jamu Jago akan pasang
iklannya di kulit belakang terjemahan Babad Dipanegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini