Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Sejarawan semarangan

Amen budiman, menerjemahkan babad dipanegara dalam 4 jilid. lelaki perindu lelaki tulisannya atas hasil penelitiannya.

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNIK juga orang ini. Ia tak tahu kapan persisnya dia lahir, dan tak mau meneliti soal itu. Tapi ia toh meneliti hal lain: sejarah kota Semarang misalnya. Hasilnya sudah diterbitkan. Amen Budiman sendiri mengaku ia bukan ahli sejarah. Laki-laki berumur 36 asli Semarang ini memang sejak di SMA asyik pada sejarah, tapi ia memilih Fakulas Hukum. Rupanya tak cocok. Sampai pada sarjana muda di Universitas 17 Agustus (Jakarta), ia berhenti. Ia kembali pada "hobi lama, menekuni sejarah." Di rumahnya naskah kuno berserakan. Istrinya, yang belum punya anak, nampaknya memahami ini. Amen, di bawah dahinya yang lebar, bukan orang yang mudah diganggu untuk memenuhi kegemarannya yang ternyata penting ini. Ia berhasil menguasai bahasa Belanda dan Inggris juga dengan kemauan keras. Begitu ia berhenti kuliah, ia berniat menyusun sejarah Kota Semarang -- dan selama 15 tahun tekun meneliti, mengumpul bahan dan menuliskan itu. Ia juga dengan berani berkorespondensi dengan para ahli luar negeri, di antaranya Dr. H.J. de Graaf di Velp dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud di Zeist (keduanya Negeri Belanda) -- dan dapat respons. Ia juga sering kontak dengan Mastini Hardjoprakoso, Kepala Perpustakaan Museum Pusat dan para petugas di bagian naskah. "Dengan semua nama itu, saya belum pernah berkenalan langsung, hanya lewat surat," kata Amen. Polemik Jerih payahnya selama 15 tahun dalam hal sejarah Kota Semarang tak siasia. Naskahnya mulai 10 Januari 1975 dimuat secara bersambung di harian Suara Merdeka tiap Jum'at, sampai tahun 1977. Baru tahun 1978 Amen bekerjasama dengan penerbit Tanjung Sari membukukan naskah ini dalam empat jilid. Judulnya agak norak, Semarang, Riwayatmu Dulu, tapi buku pertama ini, menurut Amen, dapat pujian dari H.J. de Graaf dalam majalah ilmiah Belanda yang termashur Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkeukunde (yang biasanya disingkat BKI). Amen kemudian menerbitkan pula Semarang Juwita, yang penuh foto sejak abad ke-19. Tapi nama Amen Budiman mencuat ke atas juga karena polemik. Sebuah tim yang antara lain dibentuk dari kalangan Universitas Dipanegara menentukan hari lahir Semarang pada tanggal yang berbeda dengan yang dikemukakan Amen. Kata Amen, hasil tim resmi itu "tak berpijak pada fakta sejarah." Bentrok karena soal sejarah ini juga terjadi ketika ia menulis Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Buku ini dapat pasaran luas, dan sekaligus membuat Amen Budiman -- di tengah polemik hari lahir Semarang -- dicurigai dengan cara aneh. Seorang pejabat bilang, "Lebih baik kita selidiki, jangan-jangan Amen orang Cina." Tapi sejarawan amatir ini cukup tangguh untuk penelitian lain. Ia menulis satu buku tentang kaum homoseksual, Lelaki Perindu Lelaki. Di samping mengutip tulisan di beberapa majalah, antara lain TEMPO dan Time, ia berkelana di beberapa kota besar di Jawa, menginterview 100 lebih orang homoseksual. Dan di antara penelitiannya selama satu setengah tahun itu, ia juga mencoba hidup dengan mereka. Buku yang bersubjudul "Sebuah Tinjauan Sejarah dan Psikologi Tentang Homoseks dan Masyarakat Homoseks di Indonesia" ini menyimpulkan bahwa masyarakat homoseksual di Indonesia punya warna khusus dibandingkan masyarakat homo di luar negeri. Dari mana Amen hidup dan membiayai penelitiannya? Jawabnya, "dari hasil bukunya dan menulis sejarah." Dan, "Saya banyak diminta oleh sejumlah instansi untuk menulis riwayat gedungnya," tambahnya. Misalnya kini ia sedang mengerjakan pesanan dari PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan) dan Inspeksi Pajak untuk menyusun sejarah tentang gedung yang ditempati. Amen menolak menyebut honornya. Ia juga tak mau menyebut honor dari bukunya. Bila minat untuk menulis sejarah tentang apa pun kian meluas, orang seperti Amen tentu akan bisa lebih makmur -- dan lebih berguna. Kini Amen terkadang berkorban. Untuk penelitian dan penterjemahan Babad Dipanegara, ia terpaksa menjual beberapa barang miliknya. Untung datang cukong -- dari pabrik Jamu Jago. Amen dibantu, hanya dengan syarat: Jamu Jago akan pasang iklannya di kulit belakang terjemahan Babad Dipanegara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus