Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dari galang ke pulau panjang

Setelah angkat kaki dari sana bupati akan memanfaatkannya, fasilitas pengungsi lebih baik dari penduduk asli. (ds)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULAU Galang mulai terkenal sejak setahun lalu setelah terpilih sebagai pusat persinggahan pengungsi Indocina. Termasuk Kecamatan Bintan Seatan Kabupaten Kepulauan Riau, pulau ini terletak sekitar 50 km di selatan Tanjung Pinang, ibukota Kabupaten Kepulauan Riau. Dan bisa dicapai dari sana sekitar 3 jam perjalanan dengan kapal motor. Luasnya lebih dari 175 kmÿFD. Pantainya sebagian berpasir, sebagian lagi ditumbuhi hutan bakau yang tak terlalu lebat. Semak belukar dan berbukit-bukit memenuhi sebagian besar pulau ini. Penduduk sekitarnya hidup sebagai nelayan tradisional. Beberapa tahun lalu Pulau Galang pernah dijadikan pusat penanaman nanas oleh PT Mantrust (TEMPO, 24 Februari 1979). Ada sekitar 80 ha tanah bekas tanaman nanas itu kini membelukar. Di sana juga masih ada sekitar 100 karyawan Mantrust yang bekerja di penggergajian perusahaan itu. Air bukan merupakan hal yang langka di sana. Banyak sungai meskipun dangkal. Di beberapa tempat, di selasela semak-belukar, ditemukan bekas penampung air peninggalan tentara Jepang yang di zaman Perang Dunia II pernah bertahan di sana. Jika pulau ini mulai mendapat perhatian barangkali karena ketika mengunjunginya pertengahan September 1979, Presiden Soeharto minta agar kehidupan penduduk sekitar lokasi penampungan pengungsi diperhatikan, "hingga ada keseimbangan dan tidak menimbulkan keresahan." Keropos & Doyong Fasilitas buat para pengungsi memang jauh lebih baik dibanding keadaan hidup penduduk sekitarnya. Menurut perhitungan kebutuhan sehari seorang pengungsi sampai Rp 500, sementara pendapatan rata-rata penduduk di sana sehari cuma Rp 300. Begitu pula sementara penduduk sekitar Pulau Galang tinggal di gubug-gubug, para pengungsi di pulau itu dibuatkan barak-barak. Ada yang berdinding hard board beratap terpal tapi juga tak sedikit yang berdinding papan beratap seng. Untuk pengungsi pula, dibangun kantor, rumah sakit, jalan-jalan dan dermaga. Bagi para pengungsi juga ada sebuah peralatan laboratorium kesehatan bantuan Australia "yang termasuk terbaik di Indonesia," kata dr. Nadiar, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Riau. Di Indonesia, alat semacam itu katanya hanya ada di Jakarta, Surabaya dan Medan. Tak heran bila Bupati Firman Eddy mulai berniat memanfaatkan semua fasilitas tersebut. Tapi kapan semua pengungsi angkat kaki dari sana, itulah soalnya. "Jangan terlalu optimis bahwa seluruh pengungsi akan bisa diangkut dalam satu tahun ini," ujar Laksma Kuntowibisono, Pangdaeral II selaku Ketua Tim Pengelolaan dan Penanggulangan Pengungsi Vietnam Daerah (TP3-VD). Menhankam M. Jusuf pekan lalu mengungkapkan di sana masih terdapat 27.000 orang pengungsi. Setiap bulan rata-rata 4.000 sampai 4.500 orang diberangkatkan ke negara tujuan. Meski begitu, Bupati Firman maju terus. Bahkan ia punya gagasan menjadikan Pulau Galang sebagai sebuah kecamatan. Itu diungkapkannya depan sidang DPRD Kabupaten Kepulauan Riau November 1979. Tak jauh dari Pulau Galang, ada sebuah pulau yang kini nyata-nyata dibenahi. Karena termasuk "sekitar Pulau Galang yang harus dibenahi." Namanya Pulau Panjang, masuk wilayah kepenghuluan (desa) Karas, Kecamatan Bintan Selatan. Dihuni penduduk 847 jiwa, rumah-rumah penduduk Pulau Panjang selama ini umumnya beratap ilalang, berdinding keropos dan doyong. Tapi kini disulap: beratap seng berdinding papan. Dari arah laut sekarang tampak berkilauan, lantaran seng atap rumah penduduk pulau ini, memantulkan cahaya matahari. Gedung SD yang sudah roboh juga dibangun kembali, sementara sebuah masjid kecil -- impian penduduk sejak lama -- berdiri pula di sana. Tak lupa dibuat juga sebuah balai desa dan dermaga kayu tempat para nelayan memunggah hasil laut. Bupati Firman Eddy masih enggan menyebut jumlah dana yang diterimanya untuk Pulau Panjang. Sebuah sumber di Tanjung Pinang menyebut Rp 200 juta. Tapi di lapangan, rencana santunan penduduk itu kabarnya tidak klop. Semula direncanakan memugar 100 rumah (Rp 500.000. Setelah dihitung ternyata ada 300 rumah yang perlu diperbaiki, tersebar di beberapa perkampungan kecil Tanjung Rinau, Dapur Tiga, Dapur Enam dan sebagainya. Celakanya lagi, yang diterima Pemerintah Daerah ternyata juga cuma Rp 60 juta saja. Padahal masih ada prasarana lain yang terlupa diusulkan, seperti Balai Pengobatan. Sisanya yang Rp 100 juta lebih itu ternyata untuk membuat 7 kapal motor tunda @ Rp 10 juta lebih, berikut beberapa puluh unit jaring. Dan itu semua ditangani "orang pusat." "Padahal kalau dibuat di Tanjung Pinang bisa lebih murah" kata seorang pejabat di Tanjung Pinang. Sehingga sisanya misalnya dapat untuk ganti rugi pohon Cengkih dan kelapa milik penduduk yang ditebangi pengungsi. "Tidak enak kalau hanya PuIau Panjang dan sekitar Pulau Galang saja yang dibenahi, sedang penduduk di pulau lain yang juga terganggu oleh ulah pengungsi terlupakan," tambah pejabat tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus