PANGERAN Dipanegara datang berunding dengan Belanda pada suatu
pagi di tahun 1830. Di Magelang itu ia ditangkap. Sebuah lukisan
karya Pieneman tentang adegan sedih di hari itu agaknya
menunjukkan bagaimana orang memandang sang pangeran pemberontak:
Dipanegara keluar ruangan. Beberapa pengiringnya menyembah
bersujud ke tanah. Sang pangeran nampak berdiri agak tengadah --
memandang ke langit jauh.
Adakah ia seorang yang dianggap, atau menganggap diri, juru
selamat, ketika rakyat mengeluh dan kerajaan dalam krisis
kepemimpinan? Ataukah ia seorang pangeran yang marah karena
tersisih dalam intrik kraton? Atau seorang yang seperti
Ayatullah Khomeini, melihat dari pandangan lurus agama suatu
kegawatan moral dan politik di masanya?
Film Pahlawan Dari Gua Selarong sudah dibuat, dan banyak yang
bilang sungguh mengecewakan. Juga Chairil Anwar pernah
membikinnya sajak, tapi sebenarnya Dipanegara tak cukup kita
kenal. Para penulis sejarah Indonesia, dimulai dari Muh. Yamin
sebelum kemerdekaan, hanya mengambil sederet sumber Belanda yang
sudah diolah seraya diberi semangat anti-Belanda yang banyak
dikipasi Jepang. Memoar sang pangeran sendiri, meskipun
diketahui ada naskahnya, praktis tak pernah disintuh.
Tergeletak
Memang tak lazim tokoh sejarah Jawa menulis otobiografi atau
memoar. Tulisan tentang mereka, jika ada, juga diliputi banyak
dongeng, yang bagi peneliti sulit dipercaya. Tradisi kronik yang
obyektif, yang terdapat di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan
(Bugis dan Makasar) tak terdapat di Jawa Tengah. Jadi buat apa
repot menelaah manuskrip bulukan berbentuk tembang yang sulit,
jika kita mau menulis sejarah?
Namun tak berarti manuskrip macam itu tak berfaedah sama sekali
sebagai petunjuk. Apalagi dalam hal memoar Dipanegara yang
terkenal sebagai Babad Dipanegara itu. Berbeda dengan Babad
Dipanegaran Surya Ngalam yang merupakan sebuah alegori, dan
tokoh-tokoh utamanya diberi nama samaran berbau dongeng, Babad
Dipanegara yang satu ini telah lama diakui sebagai sumber
penulisan sejarah yang penting.
Oleh P.J.E. Louw, misalnya. Sebelum menulis 6 jilid karyanya, De
Java-oorlog 1825-1830, ia menelaah dengan seksama otobiografi
itu. Louw sendiri menegaskan adanya "nilai sejarah yang tinggi"
dalam Babad Dipanegara. Ia akan menganggap "sangat tak lengkap"
setiap studi sejarah Jawa tentang masa 1825-1830 yang tak
menggunakan Babad itu sebagai sumber.
Namun naskah itu tinggal saja tergeletak di museum. Rupanya para
peneliti cukup puas hanya dengan versi yang disarikan Louw dalam
De Java-oorlognya. Satu-satunya terjemahan Babad itu, dalam
bahasa Belanda, berwujud manuskrip yang tak beredar.
Maka tak heran bila H.J. de Graaf, ahli sejarah Indonesia yang
pernah mengajar di UI dan di Leiden, dalam buku An Introduction
to Indonesian Historiography ed. Soedjatmoko, Cornell
University Press, 1965), merasa heran, bahwa di masa ketika
orang kagum kepada Dipanegara, Babadnya kurang dapat perhatian.
Untunglah, karya baik tak cuma tergantung pada kalangan
akademisi -- yang di Indonesia umumnya sudah terlalu sibuk atau
memang tak bermutu Pekan lalu, seorang peneliti yang mengaku
bukan ahli sejarah, tapi menghasilkan sejumlah karya penelitian
sejarah, muncul dengan cari ongkos sendiri. Amen Budiman, dari
Semarang (lihat box), berhasil menyiapkan terjemahan lengkap
Babad itu, setelah bekerja setahun penuh.
Tak terlalu sukar rupanya bagi Amen. Selain mendapatkan salinan
manuskrip yang bertulisan Jawa, ia barangkali juga mendapatkan
fotokopi manuskrip terjemahan Belandanya. Apa pun bahan yang ia
pakai -- dengan bantuan sejumlah naskah kuno dan sepuluh kamus
Jawa yang ia miliki -- karyanya mungkin akan merupakan sumbangan
terbesar bagi bahan historiografi Indonesia, khususnya Jawa
Tengah, selama 10 tahun terakhir.
Paling sedikit terjemahan Amen, yang akan terbit sebanyak 6
jilid oleh penerbit Tanjung Sari Semarang, akan lebih
memperkenalkan Dipanegara kepada pembaca Indonesia kini.
Apalagi tak sukar membacanya terjemahan Amen akan berbentuk
prosa. "Saya harus menjaga keindahan bahasa Dipanegara," kata
Amen kepada wartawan TEMPO Putu Setia di Semarang pekan lalu,
"tapi juga harus menjelaskan apa maksud Dipenagara."
"Itulah sulitnya," tambahnya lagi, "dan saya pikir itulah
sebabnya kenapa ahli sejarah kita tak banyak perhatian akan
babad ini. Ahli sejarah yang sekaligus tahu bahasa dan sastra
Jawa, dan punya kamus selengkap saya, barangkali tidak ada,"
lanjut Amen -- tetap dengan nada rendah hati.
Di Indonesia mungkin memang tak ada. Tapi di luar negeri dalam
tahun-tahun terakhir ini mungkin perlu dicatat usaha Peter
Carey, dari Universitas Oxford. Risalahnya yang terbit di
Singapura enam tahun yang silam, The Cultural Ecology of Early
Nineteenth Century Java, merupakan suatu telaah tentang
"ciri-ciri khas kebudayaan Jawa" dalam Babad Dipanegara.
Karya ini, yang juga membahas dua manuskrip lain tentang perang
Dipanegara, barangkali tak berharga dalam memberikan wawasan
baru. Namun secercah profil Dipanegara nampak diperbesar: sang
pangeran, dengan menggunakan banyak idiom dari pewayangan
terutama kisah Arjuna Wiwaha, melihat dirinya sebagai Arjuna.
Tentu saja bukan Arjuna sebagai Don Juan yang ramping (tubuh
Dipanegara konon gempal), melainkan Arjuna yang bertapa dan
kemudian berangkat perang.
Pengaruh sastra klasik Jawa memang besar dalam otobiografi ini.
Bahkan juga sampai ke adegan yang erotis -- meskipun tidak
pornografis. Misalnya, seperti dituturkan Amen Budiman, dalam
adegan ketika Bondan Surati, patra Raja Majapahit, hendak
memperkosa anak kiai tempat ia belajar agama. Dari cara
Dipanegara bercerita, bisa diketahui ia tak segan menyebut
detail secara indah bagian tubuh perempuan -- walaupun manuskrip
asli Babad ini konon ditulis dalam huruf Arab pegon yang lazim
dikenal di kalangan santri.
Tapi tentu saja Babad empat jilid ini tak cuma terdiri dari
kisah fantastis. Sejak jilid pertama sudah diceritakan keadaan
Jawa di zaman Mataram di bawah Senopati, pendirinya. Pada jilid
ketiga kisah perang sang pangeran sendiri dilukiskan, kadang
sampai detail. Jilid keempat mengisahkan penangkapannya -- dan
secara mengharukan tentang lahirnya anaknya dari istri kedua.
Nama anak itu: Manadurahman. Dan di tahun 1855 sang pengeran
pun wafat. Usianya 70 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini