Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GELAK tawa memenuhi ruang tunggu VIP Bandar Udara Polonia, Medan, Sabtu pekan lalu. Sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, yang saat itu tengah menunggu jadwal keberangkatan pesawat ke Jakarta, terpingkal-pingkal melihat ulah Syamsul Arifin.
Dengan gaya seorang biduan, Gubernur Sumatera Utara ini mendendangkan sebuah lagu berbahasa Minang di depan Patrialis. Kepala dan tangan Syamsul bergoyang-goyang bak penyanyi profesional. Tak jelas lagu apa yang didendangkan Syamsul. Namun sejumlah pengunjung yang mengerti bahasa Minang paham artinya, yakni tumpahan perasaan seseorang yang memohon pertolongan. Tak hanya sekali lagu itu didendangkan. ”Diulang sampai delapan kali,” ujar Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumatera Utara Anang Anas Azhar, yang ikut mengantar Patrialis.
Anang mengaku tidak tahu persis arti lagu itu. Namun dia menduga maksud Syamsul itu adalah Menteri bersedia menyampaikan keluhannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Patrialis memang tak mengangguk-angguk menjawab nyanyian Syamsul. Menteri kelahiran Padang itu hanya tersenyum-senyum.
Syamsul kini memang bak berada di tubir jurang. Pria 57 tahun ini terancam masuk bui. April lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dirinya sebagai tersangka kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Badan Pemeriksa Keuangan, dalam audit investigasinya, menemukan adanya dugaan tindak pidana dalam pengelolaan dan kas daerah Kabupaten Langkat saat Syamsul menjadi bupati. Besarnya dana yang dikorup Rp 102 miliar.
BPK menemukan sejumlah modus korupsi, misalnya pengeluaran yang tidak dianggarkan atau seolah-olah ada kegiatan. Ini, misalnya, menyangkut duit Rp 21 miliar yang dicatat sebagai kegiatan Satuan Kerja Pemerintah Daerah. Lalu ada pula pungutan oleh Dinas Pekerjaan Umum kepada perusahaan-perusahaan pelaksana proyek Pekerjaan Umum senilai Rp 8,5 miliar, yang ujung-ujungnya masuk ke kantong Bupati. Duit itu dikeluarkan oleh bendahara pemerintah Langkat, Buyung Ritonga.
Anggota BPK, Rizal Djalil, membenarkan adanya audit investigasi terhadap keuangan Pemerintah Kabupaten Langkat itu. Rizal mengakui nilai temuan dana yang diselewengkan signifikan, lebih dari Rp 100 miliar. Kendati demikian, menurut Rizal, BPK akan menghitung kembali angka kerugian negara itu. ”Karena ada pengembalian,” katanya.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Masyarakat Pancasila Indonesia Kabupaten Langkat Misno Adi, dugaan penyelewengan itu, pada Maret 2009, telah dilaporkan Ketua BPK saat itu, Anwar Nasution, kepada KPK. Laporan yang sama juga diberikan ke Kejaksaan Agung dan kepolisian. ”Tapi tak ada respons sehingga kami mempertanyakan dan melaporkan kembali kasusnya.” Misno menyatakan barulah pada Desember silam KPK melakukan gelar perkara terhadap kasus ini.
Menurut Misno, ada dua kasus yang ditelisik KPK berkaitan dengan Syamsul. Pertama, dugaan penyalahgunaan kas daerah APBD Langkat 2000-2007, dan kedua, dugaan terjadinya markup APBD 2001-2004 Rp 21,4 miliar. Menurut dia, penggelembungan dana itu, antara lain, untuk menutupi pembayaran cicilan pembelian 45 Isuzu Panther, kendaraan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Langkat periode 1999-2004.
Namun, kepada Tempo, Johan Budi SP., juru bicara KPK, menyatakan pihaknya hanya menangani perkara Syamsul yang terkait dengan dana APBD Langkat 2000-2007. ”Mungkin kasus lainnya ditindaklanjuti Kejaksaan Tinggi,” ujarnya. Dalam kasus APBD ini, Komisi menerapkan satu tersangka, ya Syamsul Arifin. Adapun tersangka lainnya, Buyung Ritonga, status tersangkanya ditetapkan Kejaksaan Tinggi.
Menurut Johan, semula Komisi berniat menyerahkan perkara ini kepada Kejaksaan Tinggi dan KPK hanya supervisi. Namun belakangan, khusus Syamsul, kejaksaan meminta KPK yang menangani. Alasan kejaksaan, jika mereka yang menangani, proses untuk memeriksa Syamsul bisa lama karena harus menunggu izin Presiden.
Menurut seorang penyidik KPK, Syamsul menggerus kas pemerintah Langkat dengan cara memerintahkan bendahara mengalirkan duit APBD kepada kepala dinas atau mengeluarkannya dengan dalih sumbangan sosial. Dari sini uang kemudian masuk ke pihak ketiga, seperti yayasan dan keluarga Syamsul. ”Tapi intinya, semua untuk kepentingan Syamsul,” ujar sumber Tempo ini.
KPK, kata penyidik ini, sudah menemukan bukti-bukti soal ini. Sepanjang 2000, misalnya, ditemukan 600 kali pengambilan dana kas daerah oleh Syamsul melalui Buyung yang nilainya Rp 3,6 miliar. Pada 2001 ada seribu kali pengeluaran sejenis senilai Rp 8 miliar. Bahkan, pada 2002, ditemukan dua ribu kali pengeluaran. Total, dana pemerintah yang digangsir Syamsul selama kurun waktu tujuh tahun menjadi bupati mencapai Rp 99 miliar. ”Ini angka yang ditemukan KPK,” ujar sumber itu. Angka ini berbeda dengan temuan BPK. Dihubungi Tempo pekan lalu, anggota KPK, Mochammad Jasin, mengakui memang terjadi perbedaan perhitungan antara lembaganya dan BPK. ”Hanya persisnya berapa, saya tidak hafal.”
Menurut Johan, Syamsul sendiri telah mengembalikan duit yang diduga dikorupsinya itu ke kas Kabupaten Langkat Rp 67 miliar. Pengembalian itu dilakukannya setelah ada audit BPK. ”Pengembaliannya secara bertahap,” kata Johan. Dengan pengembalian sebesar itu, kini sisa kerugian negara masih sekitar Rp 32 miliar.
Di Medan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Sution Usman Adjie menyatakan pihaknya memang menangani kasus korupsi APBD Langkat dengan tersangka di luar tersangka Syamsul. Kejaksaan, menurut Sution, telah menyimpulkan keterlibatan Buyung. Tapi, seperti juga Syamsul, Buyung Ritonga hingga kini belum ditahan.
Menurut Sution, Buyung dinyatakan bersalah karena begitu entengnya mencairkan dana yang diminta Syamsul. Padahal, kata Sution, untuk mencairkan dana seperti itu harus ada proposal dan melalui sejumlah tahap. ”Tapi ini diambil dulu,” ujarnya. Sution memastikan, secara kelembagaan, tak hanya Buyung dan Syamsul yang terlibat dalam kasus ini. ”Pastilah, masak berdua saja seperti main badminton.” Soal kerugian, Sution masih mendasarkan temuan BPK, yakni Rp 102,7 miliar. ”Tapi kami akan meneliti kembali kerugian itu,” ujarnya. Ini, kata Nasution, karena ada duit yang dikembalikan Syamsul.
Sution mengatakan, selain perkara duit APBD, kejaksaan akan ”mengulik” kucuran dana Rp 50 miliar untuk pemerintah Langkat setelah wilayah itu disergap banjir bandang pada November 2003, yang menewaskan sekitar 70 orang. Dana yang antara lain ditujukan untuk merehabilitasi lokasi wisata Bukit Lawang tersebut diduga sekitar Rp 1,7 miliar di antaranya juga dikorupsi.
Ditemui Tempo di kediamannya di Jalan Sukadarman, Medan, kendati bercerita tentang kasus yang tengah menimpanya, Syamsul meminta semua keterangannya tidak dikutip. ”Tak mau aku mengomentari KPK,” ujar pria yang mendapat gelar Datuk Lelawangsa dari masyarakat Melayu Langkat tersebut.
Sebelumnya, dalam jumpa pers pertengahan April lalu, Syamsul menolak tudingan melakukan korupsi saat menjadi Bupati Langkat. ”Jikapun terjadi kesalahan, mungkin kesalahan bawahan,” ujarnya.
Ramidi, Bagja Hidayat, Soetana Monang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo