Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Tokoh nasional

Mr. assaat gelar datuk mudo meninggal di rscm jakarta. dimakamkan di tanah kusir. tokoh nasional itu dimasa hidupnya pernah menjabat acting presiden, menteri dalam negeri & ketua bp. knip. (pt)

26 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lagi tokoh '45 meninggal: Mr. Assaat gelar Datuk Mudo Setelah dua hari tidak sadarkan diri, Assaat yang cuma berada di RS Ciptomangunkusumo beberapa jam saja, meninggal tengah malam tanggal 15 Juni lalu. Masuk rumah sakit kali ini yang kedua kalinya bagi almarhum -- dulu bersama dengan Dr. Moh. Hatta -- Assaat menderita penyakit jantung dan paru-paru. Disembahyangkan di mesjid Al Azhar, Kebayoran, tokoh yang pernah menjabat Acting Presiden dan pernah jadi Menteri Dalam Negeri ini dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Kebayoran Lama. Pemerintah ada menawarkan keluarganya untuk dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Tapi menurut pihak keluarga, almarhum ingin dikubur di tengah-tengah keluarga. Bukan karena apa-apa. Di zaman pergerakan nasional, Assaat, Moh. Yamin (almarhum), Ibu Inggit dan Bung Karno (almarhum) sering kumpul-kumpul di malam Minggu di Bandung. Lulus AMS Jakarta tahun 1929, Assaat terus masuk Sekolah Kedokteran Tinggi. Dua tahun di sana, loncat ke Sekolah Hukum Tinggi (RHS). Tidak pernah bisa lulus (karena aktif dalam pergerakan) dengan uang isterinya -- Rusiah, guru taman kanak-kanak -- Assaat pergi ke Leiden, Belanda. Setahun di sana, lulus. Sekembalinya di Indonesia lantas membuka kator advokat -- dan menjelang Jepag masuk dia pengurus sebuah bank tabungan/ pinjam/hipotik. Pada zaman pendudukan Yogya, bersama BK almarhum ditawan di Bangka. Di saat itu pulalah isterinya Rusiah, meninggal dunia (setelah berusaha berobat ke Jakarta, lewat Palang Merah). Dari isteri pertama ini Assaat mempunyai tiga orang anak satu diantaranya menikah dengan Adam Bachtiar, sahabatnya, yang juga kakak Dr. Harsya Bachtiar. Selama Rusiah sakit, dia dirawat oleh Dr. Bahder Djohan, Bahder Djohan mempunyai seorang adik perempuan, Siti Hazah, Asisten Apoteker yang juga sahabat dari nyonya Rukmini Abidin, wanita pengusaha yang kaya itu. Dinikahilah Siti Hazah oleh Assaat, sementara jarak umur mereka sekitar 20 tahun. Dari isteri kedua lahir seorang anak lagi, laki-laki. Berwatak keras, tenang, tak begitu banyak makan dan hidup sederhana, Assaat pernah menjabat Ketua BP-KNIP selama 3 tahun. Menurut tulisan Soebagijo I.N, bekas Walikota Jakarta Soediro pernah mengemukakan bahwa Assaat-lah yang menghilangkan ucapan-ucapan: Paduka Yang Mulia dan diganti dengan Bapak Presiden, Bapak Gubernur dan sebagainya. Sampai saat pensiun dari kegiatan politik, almarhum tidak mempunyai partai, sekalipun pernah dekat dengan Partai Sosialis. Tapi setelah partai itu pecah antara kelompok Sjahrir - Amir Sjarifuddin, Assaat tidak memilih pihak manapun. Berteman semasa muda dengan BK, keduanya lama-lama berbeda faham. Menurut kerabat Assaat, almarhum tidak setuju dengan gerakan romusha di zaman Jepang (BK setuju, waktu itu). Juga Assaat lebih menyukai bentuk Republik Indonesia Serikat. Di zaman Konstituante pikiran-piki}an keduanya jadi dua sumber yang berbeda. Pernah duduk sebagai Ketua Perwabi (Persatuan Warung Indonesia) di zaman Jepang. Kemudian membentuk KENSI. Gagasannya ketika itu: "Kita jangan hanya merdeka politik saja, tetapi hendaknya merdeka ekonomi pula. Jangan dibiarkan ekonomi dimonopoli oleh golongan lain". Maka lahirlah PP-10 yang melarang warganegara asing berdiam di kota-kota keeil. Menurut keluarganya sendiri, Assaat tidak seperti kebanyakan orang Minang -- "karena dia tidak pandai berdagang". Lebih suka memelihara ayam daripada olahraga atau keluar malam (karena kesehatannya). Tidak kaya, pernah di tahun 1955 membeli sebuah rumah di sudut jalan Teuku Umar, dengan cara cicilan. Waktu ia ditahan rezim Soekarno, rumah milik Assaat diambil-alih juga untuk didiami Jaksa Agung Gunawan. Selepas dari tahanan cukup lama dia memperjuangkan rumahnya itu kembali. Baru tahun lalu, lewat Sultan dan Jaksa Agung Ali Said, rumah bisa kembali sepenuhnya -- sementara Assaat mondok di rumah saudaranya di Warungjati, Mampang Prapatan. Tidak kaya -- sekali lagi -- dan hidup memerlukan biaya pengobatan, rumah tersebut berhasil dijual. Dengan bayar cicil pula. Dari hasil rumah itulah, anaknya yang bungsu bisa disekolahkan ke London Pernah bersimpati pada PRRI, setelah 1965 Assaat pernah berkata: "Waktu saya sudah lewat. Saya hanya mau lihat dari jauh saja". Turut hadir dalam pemakaman (dan sembahyang) yang dihadiri banyak jemaat, antara lain sobat-sobat lamanya: Moh. Natsir, Margono Djojohadikusumo, Prof. Dr. Bahder Djohan, Ali Sadikin, selain HMS Mintareja dan lain-lain. Selamat jalan, Mr. Assaat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus