SEORANG lagi tokoh '45 meninggal: Mr. Assaat gelar Datuk
Mudo Setelah dua hari tidak sadarkan diri, Assaat yang cuma
berada di RS Ciptomangunkusumo beberapa jam saja, meninggal
tengah malam tanggal 15 Juni lalu. Masuk rumah sakit kali ini
yang kedua kalinya bagi almarhum -- dulu bersama dengan Dr. Moh.
Hatta -- Assaat menderita penyakit jantung dan paru-paru.
Disembahyangkan di mesjid Al Azhar, Kebayoran, tokoh yang pernah
menjabat Acting Presiden dan pernah jadi Menteri Dalam Negeri
ini dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Kebayoran Lama.
Pemerintah ada menawarkan keluarganya untuk dimakamkan di Taman
Pahlawan Kalibata. Tapi menurut pihak keluarga, almarhum ingin
dikubur di tengah-tengah keluarga. Bukan karena apa-apa.
Di zaman pergerakan nasional, Assaat, Moh. Yamin (almarhum), Ibu
Inggit dan Bung Karno (almarhum) sering kumpul-kumpul di malam
Minggu di Bandung. Lulus AMS Jakarta tahun 1929, Assaat terus
masuk Sekolah Kedokteran Tinggi. Dua tahun di sana, loncat ke
Sekolah Hukum Tinggi (RHS). Tidak pernah bisa lulus (karena
aktif dalam pergerakan) dengan uang isterinya -- Rusiah, guru
taman kanak-kanak -- Assaat pergi ke Leiden, Belanda. Setahun di
sana, lulus. Sekembalinya di Indonesia lantas membuka kator
advokat -- dan menjelang Jepag masuk dia pengurus sebuah bank
tabungan/ pinjam/hipotik. Pada zaman pendudukan Yogya, bersama
BK almarhum ditawan di Bangka. Di saat itu pulalah isterinya
Rusiah, meninggal dunia (setelah berusaha berobat ke Jakarta,
lewat Palang Merah). Dari isteri pertama ini Assaat mempunyai
tiga orang anak satu diantaranya menikah dengan Adam Bachtiar,
sahabatnya, yang juga kakak Dr. Harsya Bachtiar.
Selama Rusiah sakit, dia dirawat oleh Dr. Bahder Djohan, Bahder
Djohan mempunyai seorang adik perempuan, Siti Hazah, Asisten
Apoteker yang juga sahabat dari nyonya Rukmini Abidin, wanita
pengusaha yang kaya itu. Dinikahilah Siti Hazah oleh Assaat,
sementara jarak umur mereka sekitar 20 tahun. Dari isteri kedua
lahir seorang anak lagi, laki-laki.
Berwatak keras, tenang, tak begitu banyak makan dan hidup
sederhana, Assaat pernah menjabat Ketua BP-KNIP selama 3 tahun.
Menurut tulisan Soebagijo I.N, bekas Walikota Jakarta Soediro
pernah mengemukakan bahwa Assaat-lah yang menghilangkan
ucapan-ucapan: Paduka Yang Mulia dan diganti dengan Bapak
Presiden, Bapak Gubernur dan sebagainya. Sampai saat pensiun
dari kegiatan politik, almarhum tidak mempunyai partai,
sekalipun pernah dekat dengan Partai Sosialis. Tapi setelah
partai itu pecah antara kelompok Sjahrir - Amir Sjarifuddin,
Assaat tidak memilih pihak manapun. Berteman semasa muda dengan
BK, keduanya lama-lama berbeda faham. Menurut kerabat Assaat,
almarhum tidak setuju dengan gerakan romusha di zaman Jepang (BK
setuju, waktu itu). Juga Assaat lebih menyukai bentuk Republik
Indonesia Serikat. Di zaman Konstituante pikiran-piki}an
keduanya jadi dua sumber yang berbeda.
Pernah duduk sebagai Ketua Perwabi (Persatuan Warung Indonesia)
di zaman Jepang. Kemudian membentuk KENSI. Gagasannya ketika
itu: "Kita jangan hanya merdeka politik saja, tetapi hendaknya
merdeka ekonomi pula. Jangan dibiarkan ekonomi dimonopoli oleh
golongan lain". Maka lahirlah PP-10 yang melarang warganegara
asing berdiam di kota-kota keeil. Menurut keluarganya sendiri,
Assaat tidak seperti kebanyakan orang Minang -- "karena dia
tidak pandai berdagang".
Lebih suka memelihara ayam daripada olahraga atau keluar malam
(karena kesehatannya). Tidak kaya, pernah di tahun 1955 membeli
sebuah rumah di sudut jalan Teuku Umar, dengan cara cicilan.
Waktu ia ditahan rezim Soekarno, rumah milik Assaat diambil-alih
juga untuk didiami Jaksa Agung Gunawan. Selepas dari tahanan
cukup lama dia memperjuangkan rumahnya itu kembali. Baru tahun
lalu, lewat Sultan dan Jaksa Agung Ali Said, rumah bisa kembali
sepenuhnya -- sementara Assaat mondok di rumah saudaranya di
Warungjati, Mampang Prapatan. Tidak kaya -- sekali lagi -- dan
hidup memerlukan biaya pengobatan, rumah tersebut berhasil
dijual. Dengan bayar cicil pula. Dari hasil rumah itulah,
anaknya yang bungsu bisa disekolahkan ke London
Pernah bersimpati pada PRRI, setelah 1965 Assaat pernah berkata:
"Waktu saya sudah lewat. Saya hanya mau lihat dari jauh saja".
Turut hadir dalam pemakaman (dan sembahyang) yang dihadiri
banyak jemaat, antara lain sobat-sobat lamanya: Moh. Natsir,
Margono Djojohadikusumo, Prof. Dr. Bahder Djohan, Ali Sadikin,
selain HMS Mintareja dan lain-lain. Selamat jalan, Mr. Assaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini