TIGA tahun yang lewat Universitas Tadulako (Untad) di Palu,
Sulawesi Tengah, hampir saja ditutup. Namun Ketika AM Tambunan
hadir di sana, Gubernur yang baru saja diangkat itu segera
menghadap Pusat, minta penangguhan. Berhasil. Bahkan sekarang
bukan saja Untad masih bisa bernafas, tapi beberapa kalangan di
daerah itu telah minta agar statusnya selama ini sebagai abang
dari Universitas Hasanuddin Ujungpandang, dirubah menjadi
univeritas negeri yang berdiri sendiri. Makumlah, kata
orang-orang di sana. di samping staf pengajar, pegawai dan
sarana fisik sudah tersedia, pertimbangan setiap propinsi
memiliki satu universitas negeri harap dianggap sebagai
kewajaran. "Saya kira dengan potensi Universias Tadulako
sekarang, sudah wajar bila Pusat segera memberikan restu unuk
berdiri sendiri" ucap drs. Musyimal Kordinator Untad. Apa lagi
IKIP Palu yang statusnya juga merupakan abang dari IKIP
Ujungpandang, sudah akur untuk bergabung saja bila Untad kelak
menjadi universitas negeri sendiri.
Tentu saja ambisi Pemda Sulteng ntuk memiliki universitas negeri
itu cukup ditunjang oleh sikap Dirjen Pendidikan Tinggi yang
memberikan harapan ke arah itu. "Eksistensi perguruan tinggi ini
perlu dipertahankan, bahkan dikembahgkan". ucap Prof.
Makagiansar. Dirjen Pendidikan Tinggi, ketika meninjau ke Palu.
Namun tentu saja persyaratan agar Untad bisa dinegerikan arus
melewati ' penelitian-penelitian yang matang. "Saya akan kirim
tim ahli untuk mempelajari lebih mendalam soal ini". ujar
Makagiansar lagi. Sebab perencanaan perguruan tinggi hanya akan
merupakan ilusi belaka bila tidak ditunjang oleh perspektif
pertumbuhan ekonomi daerah tempat perguruan tinggi itu bermukim.
Jadi pertimbangannya bukan setiap propinsi harus mempunyai
satu universitas negeri. Tapi "apakah daerah yang bersangkutan
cukup memiliki potensi untuk pengembangan sebuah universitas",
ucap Makagiansar beberapa waktu yang lalu kepada TEMPO.
Baru Kita
Betulkah Untad sudah pantas berdiri sendiri? Sampai kini
universitas yang memiliki fakultas-fakultas hukum, sospol,
ekonomi dan perternakan itu baru memiliki sejumlah gedung dan
staf pengajar yang sebenarnya masih kurang. Memang sudah ada
sebuah gedung kantor pusat delapan ruang kuliah, aula,
perpustakaan. Tapi laboratoriumnya, walaupun sudah mendapat
bantuan Pertamina sebesar Rp 30 juta masih belum bisa dipakai.
Sehingga untuk mengatasi kesulitan praktikum, mulai tahun kuliah
1976 ini mahasiswa-mahasiswa peternakannya terpaksa numpang
praktek di Universitas Sam Ratulangi Menado atas biaya
pemerintah daerah. Sementara staf pengajar yang seluruhnya
berjumlah 160 orang itu (termasuk tenaga honorer), di samping
mengajar keba nyakan mempunyai tugas lain di luar universitas.
Sehingga tidak aneh, kalau seorang dosen terpaksa mengajar dua
sampai tiga mata pelajaran setiap minggunya.
Bantuan pemerintah daerah walaupun sudah dimasukkan dalam APBD
jumlahnya dinilai tidak seberapa. Karena jumlah bantuan itu
setiap tahunnya selalu disesuaikan dengan kemampuan pemerintah
daerah. Misalnya tahun ini bantuan itu sebesar Rp 7 juta, suatu
angka yang lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara
biaya rutin, misalnya untuk gaji dan honor pengajar diperoleh
dari Pusat lewat Universitas Hasanuddin Ujungpandang. Sebagai
cabang Untad, tentu saja mereka harus merasa maklum. "Karena itu
kebutuhan bangunan dan peralatan Universitas Hasanuddin akan
memperhatikan kepentingannya dulu, baru kita" ucap Musyi Amal.
Atas dasar itu prospek Untad, menurut Musyi Amal, janganlah
dilihat dari segi lahiriah saja. Sulawesi Tengah, katanya,
merupakan daerah yang kemungkinan pertumbuhan ekonominya bisa
diharapkan. Dengan luas hampir 75 ribu kilometer persegi dan
penduduk yang cuma satu juta Sulteng masih tetap kekurangan
beras dan protein komunikasi yang masih terbatas, usaha tani
yang lemah dan kesehatan penduduk yang belum memadai. Sementara
kopra, monokultur bahan kehutanan dan bahan galian melimpah
ruah. Nah, menurut Musyi Amal keadaan serupa itu justru
menantang Untad agar bisa menyediakan jenis-jenis keahlian yang
dibutuhkan.
Namun dengan komposisi fakultas yang kebanyakan jurusan sosial
itu,apakah Untad mampu menjawab tantangan tersebut? Sudah tentu
bagi universitas yang sudah berdiri sejak tahun 1963 itu
menyediakan tenaga ahli di bidang yang kebanyakan bukan sosial
bukan soal gampang. Agaknya bagi Untad masih perlu difikirkan
apakah fakultas-fakultas yang ada sekarang cukup bermanfaat bagi
Sulawesi Tengah. Karena kemajuan perkembangan pembangunan suatu
daerah tidak ditentukan oleh hadirnya sebuah pergutuan tinggi
bila universitas itu hanya dipasang untuk sekedar merek saja.
Menteri P & K sendiri lebih cenderung setuju untuk memperkuat
universitas yang sudah ada, dibandingkan dengan membikin
perguruan tinggi negeri baru yang sudah pasti akan makan ongkos
yang tidak sedikit. "Dari pada mesti keluar biaya banyak untuk
mendirikan universitas baru lebih baik memperbanyak pendidikan
non-degree", katanya. Menteri Sjarif Thajeb juga tidak setuju
bila setiap propinsi harus memiliki satu universitas. Menunjuk
Bengkulu misalnya, Menteri berpendapat, di sana tidak perlu ada
perguruan tinggi. Tapi pemuda di daerah itu bisa melanjutkan
studinya ke universitas yang terdekat misalnya di Universitas
Sriwijaya Palembang dengan cara bea-siswa. "Cara serupa itu
lebih murah", ujar Menteri lagi. (TEMPO, 27 Maret 1976). Apakah
Sulteng kira-kira tidak sebaiknya berbuat sama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini