PADA suatu pagi 6 Pebruari 1952, orang datang membawa berita di
pondok hutan tempat tetirah di Sagana, Kenya, itu. Ayahanda,
Raja George VI, wafat. Dan sang puteri pun segera terbang
kembali ke London. Dialah Ratu Inggeris sejak saat itu, yang
memulai jabatannya dengan sebuah pidato yang mengharukan,
tentang "tugas berat yang telah diletakkan di pundak saya,
ketika hari masih begitu pagi dalam hidup saya". Ratu Elizabeth,
yang lahir di Hari Kartini tahun 1926, waktu itu baru berusia
26.
Kini tanda-tanda kecantikannya yang cemerlang sudah banyak
pudar. Inggeris telah lama tidak lagi memerintah dunia dan
tinggal jadi sebuah pulau kecil dengan ekonomi yang agak reyot.
Tapi Selasa pekan lalu rakyat Inggeris seakan-akan melupakan
semua nasib buruk ketika mereka merayakan ulangtahun perak dari
pemerintahan sang Ratu. Hanya sejumlah kecil orang dari kelompok
kiri yang mengecam semua itu.
Pagi itu Elizabeth dengan suaminya, Pangeran Philip, berangkat
untuk berlutut di Katedral St. Paul, mengucapkan doa syukur. Ia
tiba di sana dalam kereta berkuda keemasan, diiringi oleh para
pengiring, pasukan dan para ksatria yang berbaju seragam
gemilang dalam warna hitam, merah, dan warna emas. Di Katedral
mereka disambut dengan bunyi delapan sangkakala perak. Dan
London seakan-akan kembali menjadi pusat dunia, seperti dulu
sekali, dengan lonceng gereja yang berkelonengan, dan kurang
lebih 250.000 orang - jumlah besar yang agaknya di luar dugaan
Sri Ratu sendiri -- berseru mengelu-elukan Elizabeth II, "We
want the Queen", seru mereka. "Liz rules OK", seru yang lain --
satu seruan yang lazimnya untuk menyoraki kesebelasan sepakbola
yang jadi favorit. Malam sebelumnya, banyak di antara mereka
sudah berkemah di dekat situ dalam udara yang basah dan dingin.
Di Katedral itu nampak Puteri Anne yang sedang mengandung, dalam
pakaian warna aqua pucat. Ibu Suri, janda Raja George VI, yang
juga populer di kalangan rakyat, berpakaian kuning. Dan di
samping Uskup Agung Makarios dari Siprus, ada juga Sultan Brunei
yang berpakaian ungu. Ternyata Lord Snowdon, bekas suami Puteri
Margaret, juga hadir dan duduk di deretan ke-5, sementara
Margaret sendiri berada di deretan pertama.
Siang harinya jamuan makan diselenggarakan. Walikota London
mengangkat gelas untuknya, dan Sri Ratu begitu terharu hingga
hampir terbit airmatanya. Tapi seperti biasa ia dapat menguasai
emosinya, lalu berdiri berpidato melalui radio dan TV ke seluruh
rakyat Inggeris dan negeri Persemakmuran. "Ketika saya berumur
21", kata Sri Ratu, "saya bersumpah akan mengabdikan hidup saya
untuk melayani rakyat kita dan saya memohon kepada Tuhan agar
menolong saya memenuhi sumpah itu dengan baik". Lalu lanjutnya:
"Walaupun sumpah itu saya lakukan 'dalam usia saya yang sementah
salad, ketika penilaian masih hijau', saya tidak menyesali
ataupun mencabut sepatah kata dari padanya". Dalam kalimat itu
ia mengutip kalimat seorang ratu lain, Cleopatra tentu saja
menurut sandiwara Shakespeare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini