SAYA sudah lama menganggap diri saya kontroversial," kata Sutan
Takdir Alisjahbana. Di rumahnya di Jalan Saharjo, Jakarta, ia
mengomentari pemberian gelar dokter kehormatan oleh UI kepadanya
-- 27 Oktober lalu -- untuk jasa-jasanya dalam pengembangan
Bahasa Indonesia. Karena kontroversial itu ia sebenarnya merasa
tak ada gunanya mengharap gelar, katanya -- meski ia sudah tentu
mengucapkan terimakasih. Dan dalam pidato sambutannya -- yang
telah diperpendek dari 40 menjadi 20 halaman -- berjudul Arti
Bahasa, Pikiran dan Kebudayaan dalam Hubungan Sumpah Pemuda
1928, ia juga tak lupa meminta maaf atas " perbedaan paham dan
pertikaian selama ini."
Takdir tentunya terkenang masa lampau. Di tahun 30-an misalnya,
ia memang tokoh kontroversial yang diingat polemiknya seperti
dengan Ki Hajar Dewantara atau juga Haji Agus Salim (tentang
konsep pendidikan), selain dengan para seniman. Lahirnya majalah
Poedjangga Baroe yang diasuhnya sendiri sudah merupakan
pendobrakan.
Di ruang kantornya yang menyimpan ribuan buku, sore itu ayah 9
anak dan kakek 11 cucu itu bertutur: "Selama pendudukan Jepang,
saya punya waktu seratus persen untuk Bahasa Indonesia." Sebagai
anggota Komisi Bahasa Indonesia, waktu itu dia menyusun buku
Tatabahasa Ban Bahasa Indonesia I dan II -- yang mengalami
cetak ulang ke 42, tahun lalu. Edisi pertamanya terbit 1948.
"Buku itu sebenarnya lebih merupakan tatabahasa untuk Belanda,"
katanya. "Sebab disusun menurut sikap pemikiran orang Belanda
terhadap bahasanya," dan lucunya, menurut Takdir, orang-orang di
Universitas Leiden, Belanda, telah memakai bukunya itu untuk
'pedoman' penyusunan tatabahasa mereka sendiri.
Kini Takdir tengah menyiapkan sebuah roman baru di samping
kumpulan sajaknya yang akan terbit: Perempuan di Persimpangan
Zaman, sajak-sajak yang menjadi tema salah satu nomor tari yang
dipentaskan 'Balai Seni Toyabungkah' di TIM, di hari yang sama
dengan penerimaan gelarnya.
Balai seni itu didirikan Takdir tahun 1973. Berpusat di
Toyabungkah, Danau Batur, Bali. Dan rektor Universitas Nasional
di Jakarta ini setiap bulan menghabiskan 10 harinya di sana. 20
hari yang lain dihabiskan di Jakarta dengan berbagai kesibukan
sebagai Rektor Universitas Nasional, pengajar, penceramah dan
lain-lain.
"Dia orang yang tak pernah bosan bekerja," komentar Meity, 21
tahun, sekretaris yang sudah hampir 3 tahun bekerja di kantor
Jalan Saharjo itu bersama 6 orang lainnya. "Sering dia bekerja
di sini sendirian sampai malam,"
Takdir sendiri, menyadari usianya yang semakin lanjut, merasa
harus membatasi diri. Tidak ingin kurang tidur, "saya punya
target tidur tujuh jam sehari," katanya. "Sering setengah
sepuluh malam sudah tidur." Jam empat pagi bangun dan tak
mungkin tidur lagi. Dia membaca. Kemudian, sebagai olahraga,
jalan-jalan di kebun rumahnya sambil mengontrol ikan-ikan di
kolam jam 8 masuk kantor.
Takdir merasa senang berkebun. Ia biasa menenteng benih tanaman
dari mana saja kalau misalnya pulang bepergian. Kegemaran ini
tak pernah lekang sejak muda. Agustus lalu misalnya, sesudah
memberi ceramah di sebuah perguruan tinggi di Sumatera, para
mahasiswa memberinya sekarung nenas. Takdir bilang: "Kalian
keliru. Kalau mau kasih, bawakan saja benihnya." Dan sekarang,
benih itu tumbuh subur di kebunnya. "Seminggu sekali saya makan
nenas yang manisnya melebihi nenas Palembang ! "
Di Universitas Nasional para mahasiswanya dikerahkannya untuk
membuat pencangkokan dan pembibitan berbagai jenis tanaman.
"Indonesia ini negeri yang kaya dan subur. Menanam apa pun bisa
tumbuh," katanya. "Tanamlah apa saja. Asal menanamnya benar,
tentu menghasilkan banyak uang."
Di sekitar balai seninya di Toyabungkah, Bali, ia juga berkebun
dan bersawah. Yang mengerjakannya penduduk setempat. "Tapi orang
Indonesia ini susah. Hasil panennya dihabiskan semua. Tak ada
usaha untuk menabung atau meningkatkan hasil panen berikutnya. "
Kemudian dilukiskannya, bagaimana para pekerja itu baru bekerja
sebentar lantas tidur siang. "Kenapa hidup dihabiskan untuk
tidur Cukuplah tidur malam hari saja."
Mentalitas semacam itu membuat gusar orang yang selalu
menekankan pentingnya bekerja keras dan belajar keras itu. "Dulu
kita merebut segala-galanya dari Belanda. Kemerdekaan,
perkebunan, pabrik-pabrik dan lain-lain. Tapi kenapa kita tidak
juga menjadi kaya. "katanya. "Yang salah ialah, orang-orang
Belanda itu membawa pulang otak mereka," sambungnya sinis. "Coba
dulu yang kita rebut otak mereka.
Mungkin itu sebabnya Takdir akan meminta para pematung di balai
seninya untuk membuat patung kecil yang diilhami oleh patung
Jepang -- yang menggambarkan seorang pemuda pencari kayu bakar,
dengan kayu di punggungnya, sementara tangannya membuka buku:
"bekerja sambil belajar." Contoh patung yang dikehendaki Takdir
itu terletak di meja ruang tamu kantornya: petani memanggul
cangkul sambil membaca." Tokohnya bisa bermacam-macam. Tidak
harus selalu petani," katanya.
Menurutnya, patung Jepang itu menggambarkan seorang suci bernama
Ninomia. "Dulu patung itu ada di setiap sekolah dasar di Jepang.
Tapi sekarang sudah tidak ada entah kenapa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini