Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Yang kontroversial

Rektor unas sutan takdir alisyahbana, mendapat gelar doktor kehormatan dari ui. di bali, ia mendirikan balai seni toyabungkah. berkebun merupakan salah satu kegemarannya. (pt)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA sudah lama menganggap diri saya kontroversial," kata Sutan Takdir Alisjahbana. Di rumahnya di Jalan Saharjo, Jakarta, ia mengomentari pemberian gelar dokter kehormatan oleh UI kepadanya -- 27 Oktober lalu -- untuk jasa-jasanya dalam pengembangan Bahasa Indonesia. Karena kontroversial itu ia sebenarnya merasa tak ada gunanya mengharap gelar, katanya -- meski ia sudah tentu mengucapkan terimakasih. Dan dalam pidato sambutannya -- yang telah diperpendek dari 40 menjadi 20 halaman -- berjudul Arti Bahasa, Pikiran dan Kebudayaan dalam Hubungan Sumpah Pemuda 1928, ia juga tak lupa meminta maaf atas " perbedaan paham dan pertikaian selama ini." Takdir tentunya terkenang masa lampau. Di tahun 30-an misalnya, ia memang tokoh kontroversial yang diingat polemiknya seperti dengan Ki Hajar Dewantara atau juga Haji Agus Salim (tentang konsep pendidikan), selain dengan para seniman. Lahirnya majalah Poedjangga Baroe yang diasuhnya sendiri sudah merupakan pendobrakan. Di ruang kantornya yang menyimpan ribuan buku, sore itu ayah 9 anak dan kakek 11 cucu itu bertutur: "Selama pendudukan Jepang, saya punya waktu seratus persen untuk Bahasa Indonesia." Sebagai anggota Komisi Bahasa Indonesia, waktu itu dia menyusun buku Tatabahasa Ban Bahasa Indonesia I dan II -- yang mengalami cetak ulang ke 42, tahun lalu. Edisi pertamanya terbit 1948. "Buku itu sebenarnya lebih merupakan tatabahasa untuk Belanda," katanya. "Sebab disusun menurut sikap pemikiran orang Belanda terhadap bahasanya," dan lucunya, menurut Takdir, orang-orang di Universitas Leiden, Belanda, telah memakai bukunya itu untuk 'pedoman' penyusunan tatabahasa mereka sendiri. Kini Takdir tengah menyiapkan sebuah roman baru di samping kumpulan sajaknya yang akan terbit: Perempuan di Persimpangan Zaman, sajak-sajak yang menjadi tema salah satu nomor tari yang dipentaskan 'Balai Seni Toyabungkah' di TIM, di hari yang sama dengan penerimaan gelarnya. Balai seni itu didirikan Takdir tahun 1973. Berpusat di Toyabungkah, Danau Batur, Bali. Dan rektor Universitas Nasional di Jakarta ini setiap bulan menghabiskan 10 harinya di sana. 20 hari yang lain dihabiskan di Jakarta dengan berbagai kesibukan sebagai Rektor Universitas Nasional, pengajar, penceramah dan lain-lain. "Dia orang yang tak pernah bosan bekerja," komentar Meity, 21 tahun, sekretaris yang sudah hampir 3 tahun bekerja di kantor Jalan Saharjo itu bersama 6 orang lainnya. "Sering dia bekerja di sini sendirian sampai malam," Takdir sendiri, menyadari usianya yang semakin lanjut, merasa harus membatasi diri. Tidak ingin kurang tidur, "saya punya target tidur tujuh jam sehari," katanya. "Sering setengah sepuluh malam sudah tidur." Jam empat pagi bangun dan tak mungkin tidur lagi. Dia membaca. Kemudian, sebagai olahraga, jalan-jalan di kebun rumahnya sambil mengontrol ikan-ikan di kolam jam 8 masuk kantor. Takdir merasa senang berkebun. Ia biasa menenteng benih tanaman dari mana saja kalau misalnya pulang bepergian. Kegemaran ini tak pernah lekang sejak muda. Agustus lalu misalnya, sesudah memberi ceramah di sebuah perguruan tinggi di Sumatera, para mahasiswa memberinya sekarung nenas. Takdir bilang: "Kalian keliru. Kalau mau kasih, bawakan saja benihnya." Dan sekarang, benih itu tumbuh subur di kebunnya. "Seminggu sekali saya makan nenas yang manisnya melebihi nenas Palembang ! " Di Universitas Nasional para mahasiswanya dikerahkannya untuk membuat pencangkokan dan pembibitan berbagai jenis tanaman. "Indonesia ini negeri yang kaya dan subur. Menanam apa pun bisa tumbuh," katanya. "Tanamlah apa saja. Asal menanamnya benar, tentu menghasilkan banyak uang." Di sekitar balai seninya di Toyabungkah, Bali, ia juga berkebun dan bersawah. Yang mengerjakannya penduduk setempat. "Tapi orang Indonesia ini susah. Hasil panennya dihabiskan semua. Tak ada usaha untuk menabung atau meningkatkan hasil panen berikutnya. " Kemudian dilukiskannya, bagaimana para pekerja itu baru bekerja sebentar lantas tidur siang. "Kenapa hidup dihabiskan untuk tidur Cukuplah tidur malam hari saja." Mentalitas semacam itu membuat gusar orang yang selalu menekankan pentingnya bekerja keras dan belajar keras itu. "Dulu kita merebut segala-galanya dari Belanda. Kemerdekaan, perkebunan, pabrik-pabrik dan lain-lain. Tapi kenapa kita tidak juga menjadi kaya. "katanya. "Yang salah ialah, orang-orang Belanda itu membawa pulang otak mereka," sambungnya sinis. "Coba dulu yang kita rebut otak mereka. Mungkin itu sebabnya Takdir akan meminta para pematung di balai seninya untuk membuat patung kecil yang diilhami oleh patung Jepang -- yang menggambarkan seorang pemuda pencari kayu bakar, dengan kayu di punggungnya, sementara tangannya membuka buku: "bekerja sambil belajar." Contoh patung yang dikehendaki Takdir itu terletak di meja ruang tamu kantornya: petani memanggul cangkul sambil membaca." Tokohnya bisa bermacam-macam. Tidak harus selalu petani," katanya. Menurutnya, patung Jepang itu menggambarkan seorang suci bernama Ninomia. "Dulu patung itu ada di setiap sekolah dasar di Jepang. Tapi sekarang sudah tidak ada entah kenapa," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus