EKONOMI kita, yang sudah lemah, dihadapkan lagi dengan lebih
banyak kesulitan." Itulah peringatan sebuah artikel dalam Tap
Chi Cong San (Risalah Komunis) majalah teori dari Partai
Komunis Vietnam, September yang lalu.
Artikel itu, sebuah analisa yang muram tentang keadaan Vietnam
dewasa ini, menunjukkan kegagalan praktis di semua bidang
kebijaksanaan pemerintah, dan memperingatkan akan datangnya
lebih banyak kesukaran.
Ini berbeda jauh dari nada yakin yang disuarakan para pemimpin
Vietnam di tahun 1975 -- dan juga jauh dari suara angker para
pengamat dari ASEAN bahwa Vietnam adalah sebuah kekuatan
ekspansionis yang bertekad mensubversi wilayah Asia Tenggara
lainnya. Apa yang tak dilihat oleh para pengamat ASEAN dalam
analisa mereka adalah keadaan dalam negeri Vietnam yang gawat.
Ekonomi Vietnam yang cabik-cabik oleh perang belum sepenuhnya
pulih. Rencana 5 Tahun yang ambisius, yang diberangkatkan dalam
tahun 1976, yang seharusnya sudah cukup jauh membawa Vietnam
menuju ke suatu negeri pertanian-industrial yang modern, tak
banyak mencapai target. Bahkan ada laporan bahwa rencana itu
mungkin ditinggalkan. Penerbitan mutakhir Hanoi sementara itu
lebih menekankan tujuan-tujuan bersahaja untuk memproduksi
pangan dan barang kebutuhan dasar yang cukup.
Pembagian panan sekarang lebih sedikit ketimbang di masa
perang. Demikian rendahnya sehingga seorang dokter terkemuka di
Hanoi baru-baru ini memperingatkan bahaya kurang-gizi. Meskipun
demikian beberapa tanah pertanian hanya diolah di bawah
kapasitas, atau tak digarap sama sekali.
SEBAGIAN hal ini disebabkan oleh ketidak-puasan para petani di
daerah Selatan terhadap harga beras Pemerintah, sebagian karena
kekurangan sumber seperti pupuk dan benih. Perencanaan yang
jelek juga merupakan salah satu faktor penting. September tahun
ini pemerintah mengeluarkan satu Resolusi yang disusun dalam
kata-kata lugas, yang memberi kuasa kepada tiap organisasi atau
individu untuk meminta tanah yang tak diolah dari kooperasi
pemerintah atau kesatuan tentara.
Di Kota Ho Chi Minh (Saigon), kapitalisme secara tak
disangka-sangka membuktikan diri punya daya tahan. Meskipun
langkah terhadap para pedagang kapitalis di bulan Maret 1978
sangat luas diberitakan, tapi sebuah laporan yang diterbitkan
belakangan ini mengakui, bahwa pemerintah masih belum dapat
mengendalikan pemasaran dan peredaran barang kebutuhan pokok,
sehingga harganya "sangat mahal".
Apa yang salah?
Sejumlah hal. Pertama-tama, alam rupanya telah berbuat makar
terhadap Vietnam. Di tahun 1977 udara dingin yang sangat yang
diikuti oleh kekeringan, menghantam panen raya. 1978 lebih buruk
lagi: banjir yang silih berganti, dari Juli sampai Oktober,
menghancurkan negeri. Kerusakan yang dibuatnya, tulis seorang
komentator bangsa Vietnam, "sama dengan yang diakibatkan perang
beberapa tahun." Jembatan, bangunan dan gedung industri runtuh
20% dari seluruh ternak mati. Sejuta hektar tanah digenangi air,
dan padi di dua pertiga tanah itu rusak. Beberapa pekan terakhir
hli ada lagi berita banjir tapi kali ini terbatas di
popinsi-propinsi tengah.
Namun dalam jangka panjang lebih penting lagi ialah masalah
perencanaan dan pengelolaan, yang begitu sering disebut dalam
tulisan di Vietnam. Penilaian Hanoi sendiri tentang itu
meyakinkan kita bahwa masalahnya memang meluas dan serius.
Tulisan dalam Tap Chi Cong San itu misalnya menyatakan bahwa
para kader baik di utara maupun selatan telah tidak melaksanakan
kebijaksanaan yang menyangkut "pertanian dan industri,
komunikasi dan logistik, konstruksi, produksi dan peredaran."
Dengan kata lain, kesulitan meluas ke semua sektor ekonomi.
Pejabat pemerintah disebut "pasif", "pesimistis" dan "tidak
bersemangat" dalam menerapkan beleid pemerintah. Yang lain
bersikap birokratis secara berlebihan, atau memang korup. Semua
ini, kata majalah itu, telah sangat merusak citra Partai di
kalangan rakyat biasa.
Persoalan itu kembali kepada masalah dasar bagaimana berpindah
dari pemerintahan masa perang ke pemerintahan masa damai. Kader
partai yang cakap dalam perang politik dan militer belum tentu
administrator yang baik di masa damai. Bahkan banyak yang
pendidikannya sangat seadanya. Yang dibutuhkan ialah suatu
program cepat untuk melatih kembali kader-kader lama, juga
menyiapkan yang baru yang akan memainkan peran penting dalam
pembangunan negeri.itu.
Tapi belum lagi dapat mencurahkan perhatian ke pembangunan
ekonomi, lebih setahun ini Vietnam kembali berpijak dalam
perang. Slogan setelah '75 "bangunlah negeri," sudah diubah,
kini bunyinya, "bangun dan pertahankanlah negern" Konfrontasi
dengan Cina berakibat gawat pada ekonomi Vietnam yang sudah
gontai itu. Diputuskannya bantuan Cina Juli 1978 mengakibatkan
Vietnam kehilangan bantuan sejumlah kira-kira US$ 300 juta
setahun. Dari 70 proyek, banyak di antaranya di bidang yang
vital bagi ekonomi -- misalnya tambang batubara dan pabrik baja
-- ditinggalkan Cina. Hanya sedikit tanda-tanda bahwa partner
Hanoi di COMECON sudah mengambil alih banyak dari proyek itu.
Ketegangan dengan Kambodia dan Cina meningkat selama 1978, dan
di akhir tahun itu pasukan Vietnam memakzulkan Pol Pot. Di mata
Vietnam, Kambodia adalah bagian dari masalah Cina: ia, seperti
dikatakan seorang pejabat Vietnam, "pisau Peking yang
ditodongkan di punggung kami." Tapi kalau Hanoi mengharap bahwa
serbuannya akan merupakan operasi bedah yang cepat-singkat,
mereka dengan segera kecewa.
Kambodia sudah menguras Vietnam dalam hal tentara, teknisi (yang
sukar bagi Hanoi untuk meminjamkannya) dan bantuan material.
Nguyen Co Thach, Menteri Luar Negeri Vietnam, mengatakan di
konferensi pers di Bangkok 20 Oktober bahwa Vietnam sejauh itu
telah mengirim 100.000 ton pangan dan 20.000 ton bibit ke Phnom
Penh.
Tapi pukulan yang paling hebat terjadi Pebruari tahun ini,
ketika pasukan Cina menyerbu bagian utara Vietnam. Pasukan Cina
itu mungkin mengalami korban yang melebihi perhitungan, tapi
kerusakan yang mereka akibatkan sungguh besar. Angka dari Hanoi
menyebutkan 350.000 orang di bagian utara Vietnam kehilangan
rumah dan 1,5 juta jadi pengungsi. Para pengamat asing
membenarkan pernyataan Vietnam bahwa tcntara Cina telah
memperturutkan kehendak hati dengan merusak pabrik, perkebunan,
hutan, pasar, rumah sakit dan sekolah sebelum menarik diri.
Ancaman Cina menyebabkan Vietnam terpaksa menyusun kembali
prioritasnya. Negeri itu kini dalam keadaan "damai siap
senjata". Alokasi anggaran untuk pertahanan dinaikkan. Tentara
yang telah menjalankan peran ekonomi dengan membangun jalan dan
membuka tanah ladang baru, kini sepenuhnya dimobilisasi untuk
perang. Bila beberapa tahun terakhir para prajurit menanam
sendiri sebagian bahan pangannya, kini mereka harus diberi
makan. Latihan militer diperkenalkan kembali kepada orang sipil.
Dengan terus mengancam batas utara Vietnam, Cina -- dengan biaya
yang sangat kecil -- dapat terus mengakibatkan Vietnam guyah,
terombang-ambing antara kebutuhan mendesak untuk membangun
ekonominya yang rombeng dan kebutuhan yang juga mendesak untuk
menahan serangan baru. Dan inilah yang Peking agaknya sudah
bertekad untuk lakukan, sekurang-kurangnya di masa depan yang
dekat.
Kebijaksanaan itu nampaknya menyenangkan sekutu Cina yang baru,
AS, yang rupanya memang berniat memencilkan Vietnam. Meskipun di
muka umum para pejabat Amerika tak menyatakan pendapat tentang
masalah Vietnam, sebagian mereka secara diam-diam bergembira.
Seperti kata salah seorang dari mereka baru-baru ini -- "itu tak
akan bisa terjadi ke sebuah negeri lain .yang lebih manis."
Ramalan untuk ekonomi Vietnam suram. Satu hal tapi jelas ancaman
Cina ke Vietnam, bergabung dengan politik AS yang sangat
berhasil dalam memencilkan Hanoi, tak akan membantu perdamaian
dan stabilitas wilayah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini