Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangkai, walaupun disimpan, baunya akan tercium juga. Itulah yang diingat oleh anggota DPRD Bali asal Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Nuastha. Bagi Wayan, boleh saja Dewa Made Beratha dan I.G.N. Kesuma Kelakan terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Bali periode 2003-2008 pada 6 Agustus lalu, dan telah ditetapkan sepekan kemudian. Tapi aroma busuk yang ditebarkan menjelang pemilihan itu tetap menyebar ke mana-mana.
Wayan Nuastha, 55 tahun, yang menerima traveler check senilai Rp 50 juta, bersama kawannya Pande Gde Soebratha, melaporkan diri ke Bali Corruption Watch (BCW) pekan lalu. Tak hanya itu. Oleh rombongan Gerakan Anti Korupsi (Garansi)—aliansi dari BCW, LBH Keadilan Rakyat Indonesia Bali, Indonesian Corruption Watch, Transparansi Indonesia, dan Kontras—Kamis pekan lalu ia datang ke Jakarta menemui Menteri Dalam Negeri. Rombongan itu diterima Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Oentarto Sindung Mawardi. "Saya berharap penetapan Ketua DPRD Bali soal Gubernur Bali terpilih dapat dibatalkan, karena adanya money politic," kata Nuastha.
Pemilihan Gubernur Bali memang penuh dengan tipu daya. Fraksi PDIP Bali semula mencalonkan pasangan Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi dengan Wididana. Namun pasangan ini tidak mendapat restu dari pengurus pusat PDIP. Restu turun kepada pasangan Dewa Beratha dan Kesuma Kelakan. Meski restu ini turun pada saat pendaftaran paket gubernur sudah berakhir, toh Ketua DPRD Bali, Ida Bagus Wesnawa, bisa memasukkannya, karena ia sekaligus sebagai ketua pemilihan. Akhirnya Ratmadi, yang biasa dipanggil Cok Rat, memilih mundur. "Cok Rat itu kan merupakan kader PDI Perjuangan dan didukung dari aspirasi bawah," kata Nuastha.
Memang, akhirnya Dewa Beratha memperoleh 31 suara, setelah anggota PDIP dikarantina sehari semalam. Padahal anggota Fraksi PDIP berjumlah 39 orang dari 55 kursi di DPRD Bali. Jelas ada yang membelot. Namun, di balik itu, muncul pula kasus suap-menyuap. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Inilah penuturan Wayan Nuastha— pegawai PT Angkasa Pura yang pensiun dini—setelah dijemput TEMPO dari gedung studio televisi swasta, Kamis tengah malam lalu. Wawancara dilakukan oleh Ahmad Taufik dan Budiyanti, didampingi fotografer Hendra Suhara.
Bagaimana cerita suap itu sebenarnya?
Mulai 4 Agustus, semua anggota Fraksi PDIP dikarantina di Hotel Bali Cliff Resort. Maksudnya untuk konsolidasi Partai menjelang pemilihan gubernur 6 Agustus. Ada 36 orang dari 39 anggota Fraksi PDIP yang dikarantina. Saya sekamar dengan Sekretaris Pengurus Daerah PDIP Bali, Rai Wirajaya, di kamar 3116. Pada hari pertama, tak terjadi apa-apa, hanya pengarahan-pengarahan dari pengurus daerah. Baru pada hari berikutnya (5 Agustus) mulai pukul 14.00 sampai 18.00 WITA, dipanggil lima orang lima orang anggota Fraksi, bergiliran masuk ke salah satu kamar, seingat saya kamar 3112. Di dalam kamar dibicarakan masalah pemilihan gubernur yang akan dilakukan esoknya (6 Agustus). Dikatakan pula, malamnya akan diadakan pengarahan konsolidasi dari pengurus pusat PDIP.
Siapa yang memanggil itu?
Dari pengurus daerah. Nah, di dalam kamar 3112 itu ada Ketua Pengurus Daerah PDI Perjuangan Bali yang juga Ketua DPRD Bali, Ida Bagus Putu Wesnawa, lalu ada Sekretaris PDIP Bali, Rai Wirajaya, Ketua Fraksi PDIP, Usdek Mahadipa, dan humas pengurus daerah. Ada pula salah satu wakil ketua di pengurus daerah, Wayan Sutena. Di sana sudah ada pasangan calon yang direkomendasi, yaitu Dewa Made Beratha dan Kelakan. Juga ada Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung.
Apa pengarahannya?
Pramono Anung langsung bicara: "Jadi, Temen-temen Fraksi, kami panggil lima orang-lima orang di ruang tertutup ini, tetapi kita berbicara terbuka. Nah, kita berkumpul di sini dalam rangka persiapan untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur tanggal 6 Agustus besok. Kalau saya ibaratkan, orang menaikkan pasir saja dapat upah, apalagi untuk menaikkan gubernur dan wakil gubernur, masak tidak dapat upah. Maka daripada itu Saudara-saudara akan dikasih uang Rp 150 juta, pertama DP (down payment alias uang muka) dengan cash money atau cek Rp 50 juta, dan setelah uji publik akan diberikan oleh pasangan bakal calon gubernur ini, yaitu Made Beratha dan Kelakan."
Pramono Anung langsung berbicara begitu?
Ya, langsung, to the point, pada siang itu. Kalau pada malam harinya baru konsolidasi dari Wakil Sekjen, murni konsolidasi. Nah, karena malam itu pembicaraan intern Partai, tak akan saya buka. Tetapi pertemuan siang itu lain, bukan pertemuan intern Partai, karena saya tahu membicarakan soal pemilihan kepala daerah, dan pasangan calon itu ada dalam pertemuan terbatas itu. Kalau intern Partai, Dewa Beratha mestinya tak hadir, karena dia bukan orang Partai.
(Pramono Anung, yang dikonfirmasi Tempo, tetap menganggap pertemuan itu merupakan intern partai. "Terus terang, DPP sampai sekarang belum menyikapi apa pun terhadap persoalan tersebut. Sebab, soal itu sebenarnya menjadi persoalan internal partai," kata Pramono Anung. Ketika ditanyakan, apakah Pramono benar memberikan uang Rp 50 juta dan malah menjanjikan jumlahnya akan tambah Rp 100 juta lagi, seperti yang sudah diakui Ketua Pengurus Daerah PDIP Bali, Wesnawa, Pramono tidak mau memberikan komentar. "Itu urusan DPD PDIP Bali," katanya.)
Apakah saat itu langsung diserahkan uang Rp 50 juta yang dijanjikan sebagai uang muka?
Belum, waktu itu tidak ada yang menyerahkan uang. Karena dikatakan oleh Pramono Anung, "Nanti malam atau paling lambat pagi-pagi sebelum pemilihan Saudara-saudara akan diberi masing-masing Rp 50 juta dalam bentuk cash atau cek." Dalam ruangan itu Pramono Anung sempat bertanya, "Bagaimana, Teman-teman?" Dan Pak Wesnawa sendiri bilang, "Pembicaraan ini jangan dibawa keluar." Saya pikir dalam hati, ini kan bukan kebijakan dan aturan Partai. Kenapa tak boleh dibawa keluar?
Malamnya, pukul 20.30 WITA kembali anggota Fraksi dikumpulkan semua, ditambah dengan semua pengurus DPD dan juga ada beberapa pengurus DPC dan satuan tugas (satgas). Ini untuk konsolidasi, ya, murni konsolidasi. Namun, setelah acara konsolidasi, Wakil Sekjen menyuruh keluar semua yang non-Fraksi (DPD, DPC, dan satgas) dari ruang pertemuan. Setelah mereka semua keluar, lagi-lagi Pramono Anung bilang, "Lanjutan pertemuan tadi siang bahwa pada malam hari ini Saudara-saudara akan tidak mendapat cash money atau cek, tetapi berbentuk dolar, tiap orang mendapat US$ 6.000 atau sekitar Rp 52 juta."
Apakah Pramono langsung memberikan apa yang dijanjikan itu?
Tidak, kami hanya disuruh menunggu saja, yang disuruh membagikan nanti Wakil Bendahara DPD PDIP, Ida Bagus Manuaba. Malam itu saya ingat pertemuannya diabsen.
Apakah ada anggota Fraksi yang menanyakan asal uang itu?
Nggak ada. Sebab, waktu siangnya dia sudah bilang, yang Rp 50 juta DP diberikan dari seseorang, dia tak menyebut namanya, dan Rp 100 juta nantinya dari calon yang terpilih setelah lolos uji publik.
Anda sempat tanya-tanya waktu itu?
Tidak, saya diam saja.
Lalu, kapan uang diberikan?
Akhirnya pukul 3 pagi waktu setempat, beberapa jam sebelum pemilihan, saya sedang nyenyak-nyenyaknya tidur bersama Rai Wirajaya. Ada yang menggedor pintu kamar. Saya berpikir, siapa yang menggedor. Lalu pintu saya buka, muncul Wakil Bendahara DPD Ida Bagus Manuaba, dan Bendahara Fraksi, Beratha Wiryadana. Manuaba langsung berkata, "Menyambung pembicaraan tadi malam, ini traveler check yang diberikan seharga Rp 50 juta."
Lalu saya tanya, ini bisa diuangkan langsung? "Bisa," katanya, "ini traveler cek BII, tolong ditandatangani." Saya tanda tangani penerimaan ini. Bahkan Manuaba sempat guyon juga, "Berapa lembar, sih, yang Bapak Wayan ambil?" Saya bilang, "Saya sih nggak ngambil, tetapi Bapak kan yang memberikan." Memang saya hanya mengambil satu lembar. "Siapa tahu dua atau lebih," kata Manuaba sambil mengecek lembaran cek itu.
Apakah anggota Fraksi PDIP lainnya juga menerima uang itu?
Setelah saya menutup pintu, saya mendengar suara gedoran pintu kamar yang lain, mungkin saja melaksanakan hal yang sama, tetapi saya tidak menyaksikan secara langsung diberikan kepada yang lain.
(Ida Bagus Astawa Manuaba, yang sedang berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur, ketika dikonfirmasi Tempo, sama sekali tak menyangkal membagi-bagikan uang tersebut. Tapi dia membantah jika itu disebut sebagai uang imbalan kepada semua anggota Fraksi PDIP agar memilih pasangan Dewa Made Beratha dan I.G.N. Kesuma Kelakan. "Uang itu pemberian dari DPP," katanya. Uang dari DPP? "Ya. Dana itu merupakan dana konsolidasi Partai, terutama dana untuk menghadapi Pemilu 2004," kata Manuaba kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Manuaba membantah kalau ada janji uang tambahan Rp 100 juta. "Yang Rp 100 juta? Tidak ada itu. Yang benar, ya, yang Rp 50 juta itu," katanya.)
Pada saat menerima cek itu, apa yang ada dalam pikiran Anda?
Di sana memang ada kontradiksi antara hati nurani dan beban psikologis untuk memenangkan paket itu. Sesungguhnya, tanpa diberi uang pun, kalau saya sebagai kader yang harus mengamankan dan memenangkan paket rekomendasi, ya, harus memenangkan. Kalau saya tolak pada waktu itu, nggak enak. Nanti timbul kecurigaan. Namun, dalam hati saya berpikir, kalau begini caranya akan merusak mental kader-kader PDI Perjuangan yang punya idealisme. Karena itulah saya simpan baik-baik cek di dompet saya.
Soal cek itu, apakah ada bisik-bisik di antara anggota Fraksi sebelum pemilihan?
Memang bisik-bisik ada, umumnya menyebut menerima. Pada akhirnya, setelah sidang paripurna, usai pemilihan, soal uang Rp 50 juta itu diklarifikasi oleh pemimpin Fraksi, bahwa semua anggota dewan menerima cek dan itu untuk konsolidasi. Tetapi, anehnya, setelah kasus ini ramai di koran, ada yang mengaku tidak menerima.
Apa yang mendorong Anda membuka kasus ini?
Karena beban psikologis, bertentangan dengan hati nurani saya, dan itu juga tidak dibenarkan oleh aturan dan undang-undang. Itu KKN, kan, nggak boleh ada indikasi money politic. Akhirnya cek itu saya simpan untuk bukti melaporkan kasus ini. Itu bukan berarti saya membongkar rahasia Partai. Saya ini seorang kader Partai, jika memang ada aturan dan kebijakan Partai atau AD/ART membolehkan menerima uang semacam itu, ya, saya ikuti. Bahkan, kalau itu ada aturannya, saya tidak sampai membuka rahasia. Tapi ini kan tidak diatur, dan ini bukan rahasia Partai yang harus kita pedomani sebagai perjuangan. Ini tidak dibenarkan oleh undang-undang, bahkan masyarakat sudah sangat menentang model-model pemberian uang, baik langsung maupun tidak langsung, oleh calon-calon itu.
Seandainya Anda tak diberi uang, apakah Anda akan tetap memilih Dewa Made Beratha?
Saya tetap akan memilih apa yang direkomendasikan Partai. Tetapi jangan pakai uang, model-model pemberian uang itu kan money politic, ada indikasi sudah memaksakan kehendak, mengharuskan sekali.
Mungkin kalau tidak diberi uang, pimpinan PDIP takut ada suara yang membelot.
Kemungkinan itu juga bisa terjadi, karena sebelumnya sudah 32 orang dari 39 orang di Fraksi PDIP Bali yang ingin memenangkan atau mendukung kader-kader yang sudah mendapat suara mayoritas, baik dari penyaringan maupun dari hasil rapat khusus di daerah Bali, yaitu Cok Rat. Nah, setelah Cok Rat mundur, mungkin diprediksi pendukung Cok Rat tak akan mendukung Dewa Made Beratha yang dipaksakan oleh pengurus pusat. Itu kan baru kemungkinan. Tapi diberi imbalan uang itu tak benar juga.
Anda termasuk pendukung berat Cok Rat?
Ya, saya memang pendukung Cok Ratmadi. Sebagai kader yang mendapat dukungan dari aspirasi bawah dan sangat yakin pasangan Cok Rat dan Agus Suradnyana akan mendapatkan rekomendasi dari pusat. Saya ikut menghadap Ibu Megawati memperjuangkan paket ini. Waktu itu Ibu Mega hanya berpesan agar kami solid saja di Bali. Belakangan yang direkomendasikan malah Dewa Beratha.
Kembali ke cek itu. Kapan Anda melaporkan soal penyuapan itu?
Beberapa jam setelah saya mendapat traveler check, saya mendapat SMS yang isinya berbunyi, "travel cek sbsr 50 juta yg diterima di Bali Cliff harap diserahkan ke BCW dalam waktu 24 jam, kalau tidak saya akan buru ke mana pun dan di mana pun". Pesan pendek itu berasal dari nomor 08563718xxx (Nuastha menunjukkan SMS yang tak dihapusnya dari handphone-nya). Dan ada juga telepon-telepon yang masuk, akhirnya saya berikan ke BCW. Jadi, saya didampingi seorang pengacara menyerahkan cek itu ke BCW beberapa jam setelah menerima traveler check itu.
Jadi Anda takut juga dengan ancaman dari SMS itu?
Ya, saya takut juga, karena hal itu tidak benar. Saya memang menerima cek itu, tetapi sejak awal tidak ada niat untuk memiliki ataupun menikmati.
Setelah peristiwa penyuapan itu terbongkar, apa yang terjadi terhadap diri Anda?
Ada ancaman lewat telepon dan sms, yang isinya, "Awas kalau kamu bongkar semuanya".
Sebenarnya, apa sih maksud Anda membongkar kasus penyuapan itu?
Saya tak ada maksud merongrong atau mengkhianati Partai. Justru karena saya ini cinta PDI Perjuangan. PDIP harus mengeluarkan bobrok-bobrok yang ada dalam tubuhnya agar ke depan ini, Partai tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Saya nggak mau Partai cuma lips service, bilangnya clean government, tetapi di dalam nggak bersih.
Anda tak takut dengan ancaman dipecat?
Apa alasannya? Yang saya ungkap bukan melanggar aturan Partai, lagi pula pemberian uang semacam ini bukan kebijakan Partai, dan tak termasuk dalam AD/ART serta bertentangan dengan undang-undang yang ada. Saya nggak takut, apa yang saya lakukan benar kan?
(Menurut Pramono Anung, sampai sekarang pengurus pusat belum memutuskan sanksi yang akan diberikan kepada Nuastha. "Biasanya terhadap pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran organisasi berat, tentunya DPP akan mengambil langkah-langkah organisasi," kata Pramono Anung kepada Abdul Manan dari TEMPO.)
I Wayan Nuastha
Pendidikan:
Pekerjaan:
Jabatan:
Jabatan Lain:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo