Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memburu Anggota Wakalah Lampung

Asmar Latin Sani ditengarai sudah ikut peristiwa Lampung 1989. Perubahan pola tradisional setelah Perang Afganistan.

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPUNG kembali disebut-sebut sebagai satu di antara mata rantai pusat gerakan Islam ekstrem. Asmar Latin Sani, 28 tahun, yang kepalanya ditemukan di tempat peledakan Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta, dikatakan pernah mampir dan mengajar beberapa tahun di sebuah pesantren di Lampung. Bekas santri Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Solo itu diduga pelaku pembawa bom dalam mobil yang meluluh-lantakkan kawasan itu, dan menyebabkan 12 korban tak berdosa tewas.

Lampung memang pernah masyhur ketika di sana terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan sejumlah orang di Dukuh Cihideung, Desa Talangsari III, Way Jepara, Lampung Tengah, pada 6 Februari 1989. Peristiwa Talangsari Lampung (pemerintah menyebutnya "Gerombolan Pengacau Keamanan Warsidi") menandai hubungan tak harmonis antara pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan, dan sekelompok komunitas Islam yang dianggap tak taat hukum.

Dua tentara, seorang komandan pos polisi, dan seorang kepala desa di sekitar tempat terjadinya bentrokan tewas, beberapa orang lainnya luka-luka. Sedangkan di pihak kelompok yang menamakan dirinya "Jamaah Mujahidin Fisabilillah", menurut beberapa saksi mata, lebih dari seratus orang mati. Setelah peristiwa 6 Februari itu, ratusan orang ditangkap, puluhan orang diadili dan dijebloskan ke penjara hingga belasan tahun, sampai dibebaskan lewat amnesti Presiden B.J. Habibie pada 1999.

Dari "album" masa lampau itu menyeruak nama Asmar, yang disebut-sebut pernah ditahan karena ikut menyerbu pos polisi di Gunung Balak. "Waktu itu usianya sekitar 14 tahun," tutur seorang yang sempat ditahan dalam kasus tersebut. ''Saya ingat banyak remaja seusia dia yang ikut menyerbu pos polisi atau kantor Kodim Lampung Tengah," sumber itu menambahkan. Asmar inilah, yang boleh jadi pada waktu itu hanya "ikut-ikutan", yang belakangan, sejak 1993, menimba ilmu di Pondok Al-Mukmin, Ngruki.

Para penggerak Jamaah Mujahidin Fisabilillah yang hijrah ke Talangsari memang banyak yang berguru ke pimpinan Pondok Al-Mukmin, Abdullah Sungkar. Tapi kakak ipar Asmar, John Hendri, membantah adiknya pernah ditahan dalam peristiwa Lampung 1989. Menurut Hendri, setelah tamat sekolah dasar di Bengkulu, pada 1987, Asmar langsung pergi ke Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo. Delapan tahun kemudian, pada 1995, Asmar sempat mengajar di Pesantren Al-Muttaqin, Lampung.

Pemimpin Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Mustofa Wagianto, membantah bahwa Asmar pernah mengajar di pondoknya. "Dia tidak pernah tinggal atau mengajar di pesantren kami," kata Mustofa. Dari penelusuran TEMPO di tiga pesantren bernama "Al-Muttaqin" di Bandar Lampung, Lampung Selatan, dan Lampung Timur, pesantren paling tua baru berdiri pada 1999. Jadi, tidak cocok dengan data tahun yang diberikan Hendri.

Munculnya nama Asmar dalam jaringan Wakalah (perwakilan) Lampung terungkap dari keterangan Suyono alias Abu Farouk alias Syukur, yang ditangkap polisi pada awal Juli lalu di Kali Abang, Bekasi Utara. Suyono, yang ditangkap bersama Pranata Yuda alias Mustofa, diduga bekas ketua wakalah Jamaah Islamiyah Lampung. Baik Mustofa maupun Suyono kini berada dalam tahanan Polda Metro Jaya. Keduanya ditangkap ketika polisi sedang mengadakan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca-peledakan Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Di rumah kontrakan kedua orang itu ditemukan sejumlah senjata api, amunisi, dan buku-buku tentang tata cara berjihad. Kepada polisi, Pranata Yuda mengaku pernah berjihad ke Afganistan ketika negeri Islam itu melawan pendudukan (bekas) Uni Soviet, dan mendapat latihan militer di Moro, Filipina Selatan. Mustofa ini disebut sebagai Mantiqi (pimpinan wilayah) III yang membawahkan wilayah Sulawesi dan Filipina. Dari jejak yang masih agak samar inilah polisi kini memburu anggota Wakalah Lampung yang lain.

Polisi menduga, lebih dari 100 anggota Jamaah Islamiyah Wakalah Lampung, di bawah Tony Togar, masih berkeliaran. Mereka ini pula yang diduga memberikan tempat persembunyian kepada pentolan Jamaah Islamiyah asal Malaysia, Dr. Azhari, dan perancang bom Bali, Dulmatin, yang pernah terlihat di Pekanbaru dan Bengkulu. Walaupun Hambali dikabarkan telah tertangkap di Ayuthaya, Thailand, pekan lalu, oleh aparat gabungan dari Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Kepala Badan Reserse Mabes Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, yakin masih banyak anggota Jamaah Islamiyah yang berkeliaran di Indonesia. "Kita tak boleh lengah dengan kabar sudah ditangkapnya Hambali," ujar Erwin.

Istilah wakalah, menurut seorang aktivis gerakan Islam, sebenarnya tak dikenal sebelumnya. "Mungkin ini sistem keorganisasian baru saja," katanya. Memang, kebanyakan anggota yang disebut sebagai Jamaah Islamiyah adalah binaan penggerak Negara Islam Indonesia (NII). "Cuma, kalau di NII yang lama itu mereka membentuk sistem komandemen wilayah, atau KW, ya…, mungkin semacam daerah militer," sumber itu menambahkan. Lalu ada struktur camat, lurah, dan tingkat yang lebih kecil lagi. "Jadi, mungkin ini perkembangan baru, karena struktur yang lama itu sudah diketahui pihak aparat, sehingga mereka membuat struktur baru dengan nama mantiqi, wakalah, dan sebagainya," katanya.

Pola kegiatan Jamaah Islamiyah, dengan konsep bom bunuh diri, sebenarnya sudah dikenal dalam kelompok Jamaah Mujahidin Talangsari. "Namun kita dulu baru sebatas wacana," kata sumber TEMPO. "Memang waktu itu di Lampung telah disiapkan orang untuk berjihad dan mengorbankan jiwanya. Tapi belum sampai mengarah pada sasaran," ia menambahkan. Kalau dulu, menurut sumber TEMPO ini, sasarannya adalah instalasi militer atau aparat keamanan lainnya, sekarang berubah ke fasilitas yang banyak orang sipilnya. "Ini aneh sekali. Tetapi, sekali lagi, tiap kelompok punya inisiatif sendiri," ujarnya.

Perangkat serangannya juga mengalami perubahan mengejutkan. Di Talangsari, senjata yang dipakai sangat tradisional: panah beracun dan bom molotov buatan sendiri. Kini, seperti kita tahu, alat yang digunakan bahan peledak dengan kekuatan dahsyat, sehingga mampu meruntuhkan bangunan permanen dan menewaskan serta mencederai banyak korban sekaligus. "Mungkin juga perkembangan ini merupakan akibat munculnya orang-orang yang pernah ikut berperang di Afganistan," kata sumber TEMPO.

Pilihan atas Lampung sebagai satu di antara pusat gerakan, menurut bekas aktivis gerakan Islam itu, mungkin karena tempat itu dianggap strategis. "Masih banyak tempat untuk latihan militer dan tak jauh dari pusat pemerintahan di Pulau Jawa," katanya. Karena itulah, kelompok Jamaah Mujahidin Fisabilillah di Jakarta dan daerah lainnya di Pulau Jawa, juga Nusa Tenggara, memutuskan hijrah ke Lampung untuk menyusun kekuatan. "Mungkin dengan pikiran yang sama, Lampung dijadikan satu mata rantai penting sebagai pusat gerakan," katanya.

Ahmad Taufik, Suseno (TNR), dan Hermansyah (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus