Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=1 color=brown>Michel Wieviorka:</font><br />Hormati Nilai-nilai Universal

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1980-an, isu anarkisme dan terorisme merupakan santapan utama Michel Wieviorka. Sosiolog Prancis ini mengamati sepak terjang berbagai kelompok anarkis dan teroris di Prancis, Italia, Basque (ETA), hingga Palestina. Ia memperhatikan bagaimana pendulum terorisme bergerak dari kiri—perjuangan atas nama rakyat—ke kanan, membawa nama agama.

Ketertarikan Wieviorka pada isu terorisme bermula dari seorang iparnya yang kebetulan salah satu pentolan gerakan mahasiswa 1968 di Prancis, Alain Geismar, yang terus memanas-manasinya. Kemudian kelompok teroris Italia di Prancis mendekatinya. Lalu sejumlah mahasiswa membawanya ke kelompok Basque.

Tapi Wieviorka tak hanya berbicara tentang terorisme. Dia juga memperhatikan masalah rasisme, gerakan sosial, dan perubahan sosial. Bersama Alain Touraine dan Francois Dubet, dia mengembangkan metode sosiologi intervensi untuk memahami rasionalitas subyektif aktor-aktor dalam konteks konflik sosial yang lebih besar.

Dua pekan lalu, Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (EHESS) Paris ini berkunjung ke Indonesia. Berdekatan dengan waktu lawatannya, muncul teror bom buku di sejumlah tempat di Jakarta. Di antara sederet kesibukannya, Wieviorka menyempatkan diri menemui Purwani Diyah Prabandari dan Andree Priyanto dari Tempo. Berikut ini petikan wawancara yang dilakukan di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu.

Beragam kekerasan, seperti penyerangan gereja dan komunitas Ahmadiyah atau teror bom, belakangan terjadi di Indonesia. Apa penyebabnya?

Kita tahu memang terjadi konflik. Yang penting adalah kapasitas untuk menginstitusionalisasi konflik. Jadi, dalam berhubungan, bagaimana agar tak ada kekerasan, tapi yang ada adalah negosiasi, diskusi, dan debat publik. Inilah demokrasi. Kita tak bisa memimpikan masyarakat tanpa konflik. Dulu, kebanyakan konflik sosial adalah konflik antara gerakan kelas pekerja dan majikan atau industri. Atau, sebelumnya, antara kelas petani dan penguasa tanah. Sekarang, konflik sosial semacam itu belum hilang, tapi kebanyakan konflik sosial adalah konflik budaya dan agama.

Bagaimana cara melembagakan konflik berdasarkan budaya dan agama tersebut?

Masalahnya, agama atau budaya bukanlah soal yang gampang dinegosiasikan. Agama biasanya menyatakan bahwa semua hal adalah subordinasi agama. Agama mengatur hidup kita, juga hidup negara. Kalau agama seperti itu, kita tak bisa berdiskusi lagi. Jadi masalahnya adalah bagaimana kita bisa menerima dan membuat orang lain menerima relativitas keyakinan, sehingga kita bisa hidup bersama dengan semua yang berkeyakinan, berbudaya, atau bernilai berbeda.

Bagaimana kalau satu kelompok tak mau merelativisasi keyakinannya?

Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka menggunakan kekerasan atau menjadi radikal: ”Untuk mempromosikan nilai-nilai saya, saya gunakan kekerasan. Saya berperang terhadap masyarakat, juga terhadap dunia.” Itulah kenapa ada kelompok muslim menyerang gereja atau menyerang kelompok Islam lainnya.

Apa kemungkinan kedua?

Kemungkinan kedua adalah sektarianisme: ”Oke, saya tidak suka masyarakat karena tidak sesuai dengan yang diajarkan agama saya. Jadi saya tidak berpartisipasi di dalam masyarakat. Kami menjadi sekte. Kami menjadi komunitas tersendiri, tertutup. Tapi kami tak menggunakan kekerasan. Kami hanya tak mau menjadi bagian dari masyarakat luas.”

Bagaimana posisi negara untuk mengatasi masalah tersebut?

Saya berasal dari negeri yang punya solusi. Memang bukan solusi yang sempurna. Orang Prancis menyebutnya ”laicite”, memisahkan negara dan agama. Negara mengakui tak ada minoritas, tak ada mayoritas, tak ada agama di kehidupan publik. Agama adalah masalah pribadi. Anda bisa menjadi Katolik, Islam, Yahudi, atau apa pun dalam kehidupan pribadi Anda. Tapi, dalam kehidupan publik, hal-hal tersebut tak muncul. Ini memang susah karena orang biasanya ingin agamanya diakui di kehidupan publik. Jadi yang harus dilakukan negara, menurut saya, adalah mengatakan ke semua agama, ”Oke, Anda bisa eksis, tapi dengan beberapa syarat.”

Apa syaratnya?

Anda harus menghormati nilai-nilai universal meskipun itu tak termasuk bagian dari agama Anda. Anda harus menghormati hak asasi manusia. Anda harus menghormati hukum yang berlaku. Dan Anda tak bisa memiliki hukum sendiri yang berlawanan dengan hukum umum. Kalau tidak berlawanan, kenapa tidak.

Jadi negara yang membuat aturan permainan?

Peran pertama negara adalah meminta semua agama atau kelompok menerima aturan permainan. Kedua, negara harus menentukan seandainya mereka tidak mengikuti aturan permainan, apa batasannya. Kemudian juga mengorganisasi produksi pengetahuan, misalnya dengan mengadakan berbagai diskusi atau debat.
Konflik dan kekerasan berdasarkan agama dan budaya juga terjadi di belahan dunia lain, termasuk Eropa. Bahkan beberapa pemimpin di Eropa mengatakan multikulturalisme telah gagal….
Masyarakat kita adalah multikultural. Kalau Anda tidak menerima multikulturalisme, artinya di publik hanya ada individu. Di setiap individu tak ada aturan, tak ada kekhususan, tak ada latar belakang, tak ada komunitas. Orang-orang sekarang memiliki identitas yang kompleks. Kita harus mengorganisasinya. Pada saat bersamaan, mari hargai nilai-nilai universal. Multikulturalisme bukan hanya promosi perbedaan, melainkan mengakui perbedaan dan membuat mereka menerima nilai universal. Di Prancis, misalnya, kami mulai pada 1980-an. Kami berdebat soal jilbab, cadar, juga burka. Inilah demokrasi.

Belakangan, di Prancis, sikap anti-Islam, antimigran, atau lebih mementingkan warga asli Prancis terus menguat, apalagi Front Nasional yang sangat kanan makin populer?

Pertama, ini alasan sejarah. Hubungan Prancis dengan dunia Islam dan Arab sangat kompleks. Orang Prancis tak tahu apa-apa tentang Islam dan Arab. Mereka tidak suka. Juga ada rasisme, xenophobia, ketakutan. Kedua, Islam belum ada di Prancis hingga sekitar 30 tahun silam. Kemudian masalah ekonomi. Mereka banyak mendapat dukungan dari para pekerja. Mereka campuran anti-Islam, antimigran, dan bersikap xenophobia. Mereka pikir mereka telah terusir dari pasar, ter­usir dari lapangan kerja, terusir dari semuanya. Dan menurut saya, ini masih akan membesar.

Anda telah lama mempelajari konflik, anarkisme, dan terorisme. Kapan kekerasan atau terorisme mulai berkaitan dengan agama, dalam hal ini Islam?

Pada pertengahan 1980-an, saya pergi ke Timur Tengah. Saya di Libanon ketika terjadi beberapa serangan teroris terhadap fasilitas Amerika, tentara Prancis, dan lain-lain. Menurut saya, itulah awal terorisme atas nama Islam. Pertama kalinya terorisme Palestina tak lagi atas nama gerakan Palestina.

Bukankah gerakan Palestina masih ada?

Saat itu memang tidak sangat gamblang, karena gerakan Palestina masih ada. Jadi semua masih campur aduk. Tapi saat itu adalah saatnya penyeberangan. Kemudian, pada 1990-an, begitu banyak insiden yang mengatasnamakan Islam, dan tak ada kaitannya dengan Palestina. Misalnya saja serangan 11 September di New York. Di Prancis juga terjadi hal semacam itu.

Kenapa terjadi penyeberangan itu?

Tahun 1990-an adalah awal percampuran visi global dan kadang-kadang dengan aktor lokal. Misalnya insiden Madrid 2004. Itu tak berbeda dengan yang terjadi di Prancis sekitar 10 tahun sebelumnya: terjadi beberapa serangan teroris. Ada kaitan pelaku lokal atau nasional yang tinggal di Prancis yang menaruh bom di sana-sini dengan visi global karena orang-orang ini terkait dengan ”Afgan”, orang-orang yang pernah ikut berperang di Afganistan. Juga orang-orang ini terhubung dengan Aljazair. Jadi itu campuran antara orang-orang muda dari pinggiran kota dan jaringan agama yang berhubungan dengan Aljazair, Afganistan, dan semacamnya.

Bagaimana dengan serangan 11 September di World Trade Center?

Bagi saya, serangan 11 September ini bukan lagi campuran. Ini benar-benar visi global. Orang-orang yang menjadi penyerang di New York dan tempat lain saat itu tidak hidup di Amerika. Mereka berdatangan dari berbagai tempat di dunia. Visi global mereka atau visi agama merekalah yang hendak mereka jalankan.

Kenapa terjadi perubahan tersebut dan mengapa membawa agama?

Ada beberapa kondisi. Pertama, saat itu adalah akhir dari Perang Dingin. Di akhir Perang Dingin, kita mema­suki era baru, era global. Dunia tak lagi terbelah jadi dua kubu yang berperang. Dunia menjadi satu. Kedua, dimulai dengan revolusi di Iran. Revolusi Iran menunjukkan agama bisa menjadi kekuatan politik yang sangat penting yang mampu mengubah negeri. Ketiga, Internet dan kemudahan komunikasi. Itu yang menjadi peralatan anak-anak muda migran di seluruh dunia.

Internet menjadi sarana yang memudahkan aksi teror?

Di Prancis, migran menjadi lebih terhubung ke orang-orang lain dibanding nonmigran. Mereka jauh lebih tahu soal Internet dan alat komunikasi karena mereka memang perlu untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman. Mereka memerlukannya untuk melakukan kegiatan klandestin, untuk mengatur perjalanan dari satu negara ke negara lain. Selain itu, Internet memudahkan banyak hal, misalnya orang bisa belajar membuat bom.

Apakah teror juga merupakan cermin frustrasi kalangan Islam yang merasa kecewa?

Memang, setelah berabad-abad Islam tak mampu menjadi kekuatan, terorisme menjadi salah satu ekspresi semacam kelahiran kembali Islam. Te­r­orisme sering muncul terkait dengan sebuah awal atau akhir dari proses sejarah yang besar.

Apa contohnya?

Di Prancis ada komunitas Armenia korban genosida 1915 oleh Turki. Pada 1970-an, terjadi banyak serangan teroris yang dilakukan gerakan terorisme ASALA (pasukan rahasia Armenia untuk pembebasan Armenia—kelompok militan Marxis-Leninis). Awalnya, orang Armenia mengatakan, ”Bagus… ada orang ‘berbicara’ untuk kita.” Tapi kemudian mereka menyadari bahwa itu buruk. Saat itu ASALA meledakkan bom di bandar udara di Paris dan mereka tidak tahu berapa banyak orang yang tak terkait dengan genosida ikut tewas.

Gerakan itu berhasil meningkatkan popularitas isu Armenia?

Setelah itu, gerakan Armenia kian kuat. Tadinya, dalam pandangan umum, orang tak mengatakan yang terjadi pada 1915 adalah genosida, tapi pembunuhan. Kemudian ada pengakuan terjadi genosida. Jadi ada semacam gerakan sosial di antara masyarakat Armenia untuk melakukan tekanan dengan cara demokratis, tak lagi dengan tekanan tindakan terorisme. Jadi terorisme adalah ekspresi pertama. Mungkin demikian juga dengan tero­risme Islam.

Islam sendiri sesungguhnya mengajarkan damai….

Saya punya teman, ilmuwan Islam yang terkenal, Mohammed Arkoun. Dia selalu menjelaskan Islam sebagai bagian dunia yang paling beradab pada abad ke-13. Kemudian menurun. Mungkin sesuatu terjadi terkait dengan kelahiran kembali.

Bukankah rakyat di beberapa negara Arab sekarang justru bergolak menuntut demokrasi?

Perhatikan yang terjadi belakangan ini di beberapa negara, seperti Mesir atau Tunisia. Ada gerakan untuk mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, perlawanan terhadap korupsi, dan sebagainya. Mungkin di beberapa kasus, setelah enam bulan atau setahun, gerakan tersebut akan menurun. Atau mungkin akan muncul kekerasan dan terorisme karena ada yang ingin berbicara atas nama orang-orang tersebut meskipun gerakan itu sudah tak ada. Ketika gerakan mulai melemah, ada seseorang yang akan mencoba mempertahankan gerakan.

Michel Wieviorka
Tempat dan tanggal lahir:
Paris, Prancis, 1946
Jabatan:
Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (EHESS) Paris, 1989-sekarang
Ketua Asosiasi Sosiologi Internasional, 2006-2010
Direktur Pusat Analisis dan Intervensi Sosiologis (CADIS), 1993-2009
Penghargaan:
Bulzoni Editore Special Award, 1989

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus