Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam satu wawancara di Jakarta pada Desember 2006, George Soros menyampaikan ramalannya kepada Tempo. Katanya, ”Perekonomian Amerika Serikat akan ambruk. Negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu bakal rontok terseret kejatuhan bisnis properti.”
Prediksi Soros terbukti akurat. Hingga saat ini, pemerintahan Presiden Barack Obama masih tertatih-tatih memulihkan ekonomi negara setelah dihajar krisis properti. Di belahan barat, para pemimpin negara Uni Eropa masih jatuh-bangun mengawal perekonomian mereka agar tak terjengkang kembali ke jurang.
Sebagai investor dan spekulan, ”penciuman” Soros dikenal amat tajam. Pendapatnya selalu disimak pemain pasar. Tapi, sebagai spekulan, dia kerap dituding mengail di air keruh di negara-negara yang tengah didera krisis ekonomi. Misalnya ketika krisis moneter menerpa Asia pada 1997. Tuduhan itu tak bosan-bosannya dia bantah. ”Spekulan hanyalah pembawa pesan yang menyampaikan berita buruk,” kata Soros. Kesalahan kebijakan pemerintahlah, menurut dia, yang melahirkan krisis ekonomi.
Soros memang punya dua sisi wajah yang berlawanan: spekulan pemburu untung versus dermawan yang gemar menebarkan triliunan rupiah ke seluruh dunia. Lewat Open Society Institute, Soros terlibat dalam berbagai proyek sosial, lingkungan, dan politik di negara-negara Eropa Timur, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.
Di usia menjelang 80 tahun, kegiatannya tak kunjung berkurang. Dia tetap aktif memantau dinamika pasar dan terbang ke seluruh dunia mengunjungi aneka proyek filantropinya. Kepada wartawan Tempo Sapto Pradityo, Andree Priyanto, Hermien Y. Kleden, serta fotografer Ijar Karim, dia memberikan sebuah wawancara khusus pada Kamis dua pekan lalu di Hotel Gran Melia, Jakarta Selatan.
Gaya bertuturnya halus dan santun—kerap diselingi tawa berderai. Soros muncul dalam setelan jas abu-abu muda yang chic dan elegan. Toh, penampilannya tampak sederhana untuk seseorang dengan kekayaan, mengutip Soros: ”Hanya beberapa miliar dolar.”
Berikut ini petikannya.
Boleh kami tahu apa saja inti masalah yang Anda perbincangkan dengan Wakil Presiden Boediono?
Oh, saya menemuinya untuk mengetahui situasi ekonomi Indonesia. Sebagai mantan pemimpin bank sentral, dia merupakan sumber informasi terbaik. Saya juga bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto (Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan—Red.), yang saya kenal di Aceh. Kedua pertemuan itu bermanfaat terutama untuk saya sendiri karena Anda tahu, saya tidak mengikuti perkembangan Indonesia.
Sejumlah media menulis, setelah menemui Boediono, ”Soros tak menyarankan penalangan bank-bank yang ambruk akibat krisis.” Benar demikian?
Tidak tepat seperti itu. Yang saya katakan adalah, ketika suatu sistem terancam runtuh, Anda harus mengambil langkah-langkah penyelamatan sistem. Tapi pemerintah semestinya menghindari pemakaian uang pembayar pajak untuk menalangi bank. Pemerintah juga bertanggung jawab mengatur pasar karena pasar tidak mengoreksi sendiri hal-hal berlebihan. Kita tahu, telah terjadi kegagalan pengaturan sistem keuangan global yang mengakibatkan kehancuran dalam skala amat besar.
Di mana posisi Indonesia setelah ambruknya sistem keuangan berskala global?
Indonesia sebenarnya menderita relatif sedikit dibanding pusat-pusat sistem keuangan macam Amerika dan Inggris. Inilah negara-negara yang telah membiarkan globalisasi dan deregulasi pasar finansial. Mereka berkeyakinan pasar tidak perlu diatur. Itu keliru! Sebab, pasar perlu diatur. Dan kini mereka (Amerika dan Inggris—Red.) membayar amat mahal untuk kesalahan tersebut.
Ya, dan Amerika masih terbelit krisis sampai sekarang. Menurut Anda, mengapa kebijakan ekonomi Presiden Obama tak berjalan sesuai dengan harapan?
Saya bersikap kritis terhadap pendekatan yang diambil Presiden Obama. Menurut saya, kebijakan penalangan (terhadap bank-bank Amerika yang ambruk—Red.) terlalu menguntungkan institusi, pemegang saham, dan manajemen institusi keuangan.
Tentu Anda punya alasan?
Pada dasarnya institusi-institusi itu diberi pinjaman yang memungkinkan mereka meraup untung dan lepas dari kebangkrutan. Tapi sekarang, manajemen institusi keuangan menganggap keuntungan itu seolah-olah dihasilkan mereka yang bekerja di bank—dan bukan diberikan pemerintah. Nah, mereka harus membayar, karena jelas ini tidak adil. Kebijakan penyelamatan (Obama) bisa dikatakan berhasil dalam arti sistemnya tidak runtuh. Tapi pelaksanaannya memicu kritik dan melahirkan suasana amat buruk bagi aneka reformasi yang diperlukan.
Selama krisis, apakah tim ekonomi Obama meminta nasihat Anda?
Tidak. Tapi saya mengunjungi mereka dan menawarkan beberapa gagasan, dan saya kemukakan secara terbuka. Mereka mendengarkannya, tapi tidak menerima saran-saran saya.
Berkali-kali Anda pernah mengatakan, menjalankan bisnis sebetulnya sama dengan mengurus negara. Apa maksudnya?
Saya tidak mencampur kepentingan bisnis dengan kegiatan filantropis, atau dengan kepedulian saya terhadap masyarakat. Sebagai pemain pasar saya bertindak menurut aturan dan berusaha menghasilkan laba. Tapi, sebagai warga negara, bila saya prihatin terhadap suatu aturan, saya akan berusaha mengusulkan aturan yang bermanfaat bagi masyarakat dan bukan yang hanya menguntungkan saya.
Misalnya?
Saya, umpamanya, mendukung pengaturan lembaga hedge fund. Tapi, bila dana ini ada dalam sebuah gereja, hal ini tak akan saya jadikan kepentingan utama saya. Saya percaya, jika banyak orang—dan bukan hanya kalangan bisnis—yang bersedia menggunakan prinsip ini, demokrasi akan berfungsi lebih baik. Sudah terlalu banyak lobi legislasi untuk kepentingan khusus—suatu hal yang saya tentang.
Anda mendanai begitu banyak kegiatan—filantropi ataupun politik—di berbagai negara. Apa alasannya dan bagaimana Anda menentukannya, termasuk untuk Indonesia?
Pada dasarnya saya percaya pada rakyat Indonesia untuk memutuskan apa yang dibutuhkannya. Saya hanya menyediakan dukungan finansial karena saya tidak bisa menjadi pakar tentang Indonesia. Dua bidang yang menjadi pusat perhatian kami di Indonesia adalah pertama, pemberdayaan hukum bagi warga miskin, dan kedua, masalah tenaga kerja (Indonesia) di luar negeri.
Indonesia punya ”pekerjaan rumah” besar selama puluhan tahun, yakni memberantas korupsi. Bagaimana pendapat Anda?
Kami sudah menghabiskan banyak waktu untuk mendukung berbagai upaya reformasi hukum di berbagai negara. Pada dasarnya sebagian besar usaha ini gagal. Kesimpulan kami, hampir tak mungkin melaksanakan reformasi sistem yang busuk dari dalam, karena mereka yang terlibat harus mempertahankan wilayah mereka, dan setiap individu sudah begitu terjerat dalam sistem. Maka satu-satunya pendekatan yang barangkali bisa memberikan hasil adalah mendirikan peradilan baru yang menetapkan prinsip berbeda dari awal. Sampai tingkat tertentu, saya pikir hal ini telah terjadi di Indonesia.
Seperti apa, misalnya?
Ada lembaga pemberantasan korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi—Red.), yang punya penyidik sendiri, penuntut sendiri, dan proses yudisial sendiri. Dan badan ini benar-benar telah mengguncang banyak kasus serta membuat dampak besar.
Pemain pasar selalu membandingkan kelihaian Anda dalam spekulasi dengan Warren Buffett. Pernahkah Anda gagal atau rugi dalam berinvestasi?
Pernahkah saya merugi? Ya, tentu saja pernah ha-ha-ha.... Sekitar 45 persen dari investasi.
Anda yakin sampai 45 persen?
Saya tidak mengkalkulasikannya. Tapi, kalau ada yang menghitungnya, mungkin transaksi yang merugi jumlahnya ada sebanyak transaksi yang menguntungkan. Biasanya, tiga kali rugi, sekali untung. Tapi yang sekali itu justru yang besar ha-ha-ha....
Belakangan Anda banyak menaruh perhatian pada isu perubahan iklim. Bagaimana awal mulanya?
Pada 2004 saya mendengarkan kuliah Wakil Presiden Al Gore tentang perubahan iklim dan saya menjadi yakin betul betapa nyatanya problem ini. Saya sudah mengikuti perundingan-perundingan resmi membahas isu ini. Dan saya semakin yakin bahwa masyarakat harus lebih aktif mendorong pemerintah bertindak. Kami mengusulkan skema pembentukan Dana Hijau di Kopenhagen senilai US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.000 triliun) dengan menggunakan mekanisme special drawing rights.
Presiden Uni Eropa Jose Manuel Barosso tampaknya terpikat usul Anda.
Ya, Barosso menyetujuinya. Saya pikir ide ini benar-benar bisa dilaksanakan semua jika G-20 menyepakatinya. Jika tidak, berbagai hambatan tak akan bisa diatasi. Mekanisme ini memang tak akan memecahkan masalah terpenting di Indonesia, yaitu pembakaran dan pembabatan hutan. Sebab, dana ini hanya bisa digunakan sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali. Dan siapa yang akan membayar untuk pelestarian hutan? Kan tidak ada badan seperti itu. Maka masalah seperti di Indonesia perlu pemecahan lain.
Misalnya?
Saya berpendapat, negara maju harus secara efektif membayar pemeliharaan hutan. Umpama, penduduk Uni Eropa yang benar-benar peduli terhadap perubahan iklim bisa dikenai pajak satu persen bila membeli tiket pesawat. Dari dana yang terkumpul, mereka bisa membuat kontrak dengan enam provinsi di Indonesia yang punya masalah dalam pengelolaan hutan.
Ada peran politik Anda yang ingin kami konfirmasikan: benarkah Anda pendukung utama Revolusi Oranye di Ukraina?
Ya, pertama, saya mendukung Revolusi Mawar di Georgia, kemudian Revolusi Oranye di Ukraina, dan terakhir, Revolusi Tulip di Kirgistan. Kami mendukung kegiatan antikorupsi dan pemilihan ulang. Secara pribadi, saya mendukung pemimpin oposisi di Georgia. Ketika mereka naik ke tampuk kekuasaan, saya memberikan donasi untuk kepolisian. Atas dasar itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menuding saya penghasut. Dia bilang, kelompok oposan Georgia bekerja karena saya bayar. Tuduhan itu tidak benar. Mereka bekerja demi rakyatnya. Saya hanya mendukung perubahan rezim secara demokratis.
Apakah latar belakang Yahudi Anda menjadi hambatan Anda melakukan kegiatan di negara tertentu, termasuk di Indonesia?
Ya, saya kira begitu. Fakta saya memiliki banyak uang dan sedemikian aktif dalam kancah politik menimbulkan gagasan adanya konspirasi zionisme global—pengaruh uang Yahudi dan sebagainya. Tapi fakta bahwa saya tidak memakai uang saya untuk tujuan zionisme seharusnya menghapus citra ini. Namun saya punya kekuasaan dan pengaruh yang begitu besar, maka saya dianggap sesuai dengan mitos konspirasi Zionis.
Sering Anda alami hal ini?
Kasus ini amat sering saya hadapi di negara-negara Islam. Tapi ini tidak menghentikan saya menjalankan proyek kemanusiaan di negara Islam. Dalam kasus Israel, buktinya saya berpihak ke Palestina. Kami juga membantu orang-orang Islam yang mengalami diskriminasi. Tapi tetap saja ada kecurigaan.
Apakah Anda membenci Israel? Mengapa Palestina yang banyak Anda bantu?
Saya sama sekali tidak membenci Israel. Tapi saya bersikap kritis terhadap beberapa kebijakan Israel, tanpa membesar-besarkannya. Menurut saya, jika benar-benar ingin menentang kebijakan Israel, saya harus hidup di Israel, dan melakukannya dari dalam.
GEORGE SOROS (lahir: György Schwartz)
Tempat dan tanggal lahir: Budapest, Hungaria, 12 Agustus 1930
Pendidikan :
Pekerjaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo