Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tataplah Duka Aisha

World Press Photo memilih foto-foto terbaik 2010. Foto kekerasan dan malapetaka masih mendominasi.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAL Agustus 2010, di majalah Time, wajah seorang remaja Afganistan tampil sebagai kulit sampul. Foto potret wanita berkerudung biru itu membuat kita bertanya-tanya. Rautnya cacat. Ada lubang besar menganga di atas mulutnya.

Wajah itu milik Bibi Aisha. Usianya 18 tahun. Ia adalah perempuan korban Taliban. Di kampung halamannya di pelosok Oruzghan, sebuah provinsi di Afganistan, ia harus menjalani eksekusi potong hidung dan telinga lantaran meninggalkan suaminya. Pemotongan itu, ironisnya, dilakukan oleh suaminya sendiri dan saudara iparnya.

Potret Aisha dengan pengambilan yang sederhana ini dilakukan oleh Jodi Bieber. Fotografer wanita asal Afrika Selatan berumur 44 tahun ini sudah malang-melintang di dunia fotojurnalistik. Ia pernah menjadi asisten kamar gelap fotografer legendaris Ken Oosterbroek, yang pernah memotret seorang bocah sakit di depan burung pemakan bangkai di Ethiopia.

Terpilih dari 108.059 foto dari 5.847 fotografer, potret Bibi Aisha menjadi foto terbaik dalam World Press Photo 2010. Pengambilan gambar dilakukan di Amerika, di tempat Aisha kini tenteram dan merasakan udara kebebasan setelah ditolong tentara Amerika dan sukarelawan kemanusiaan. Dalam proses pemotretan, Bieber tak sekali jepret. Ia lebih dulu melakukan pendekatan panjang kepada Bibi Aisha. Bieber sering menjenguk dan menemani Aisha yang menjalani pemulihan dan konseling traumatis yang panjang.

Abir Abdullah, anggota juri kontes foto bergengsi ini, mengapresiasi apa yang dilakukan Bieber. ”Foto ini dihasilkan dari sebuah ketenangan fotografer yang mampu membangun kedekatan dengan obyek. Bieber pantas memperoleh penghargaan tertinggi dalam dunia fotojurnalistik. Ia memperoleh tatapan yang emosional dari Aisha, dan tatapan Aisha itu tak akan mudah dilupakan oleh setiap orang yang melihatnya,” ujar juri yang juga fotografer itu.

Dengan kemenangan Bieber ini, World Press Photo untuk kesekian kalinya mengingatkan dunia tentang nestapa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Semua foto yang menang dalam World Press Photo 2010 adalah peristiwa yang menghantui manusia, mulai bencana alam, konflik, kekerasan dari kartel narkoba, hingga rezim politik.

Di Port-au-Prince, fotografer Agence France-Presse, Olivier Laban-Mattei, misalnya, mengabadikan kerusuhan pascagempa yang memilukan. Korban tewas berjumlah ribuan ditangani ala kadarnya. Mayat-mayat bertumpuk dan dibuang-buang seenaknya. Jasad seorang bocah terlihat dilempar sembarangan, melayang, menambah tinggi tumpukan mayat. Foto Olivier memenangi kategori foto berita bercerita dalam ajang tahunan ini.

Sedangkan di Merapi, Jawa Tengah, beberapa hari setelah letusannya, Kemal Jufri, fotografer Panos Pictures, sengaja masuk ke desa-desa yang telah berubah menjadi kampung kematian. Fotografer Indonesia yang telah mendapatkan penghargaan dari banyak ajang fotojurnalistik bergengsi di dunia ini merekam keberanian manusia berjibaku melawan ancaman erupsi liar.

Lensanya berpacu bersama kaki-kaki yang berlari mencari jasad tertinggal diselimuti debu dan tanah panas. Hasilnya, Kemal memperoleh penghargaan foto bercerita terbaik kedua dalam kategori ”manusia dalam sebuah peristiwa” (people in the news). Rekaman di tanah Merapi ini dikalahkan foto banjir Pakistan karya fotografer Australia, Daniel Berehulak.

Dalam World Press Photo 2010, kematian dan kesakitan kita lihat datang dengan banyak cara. Dari Meksiko, dipilih foto mengenai kebrutalan dan kekejaman geng-geng narkotik. Dari Thailand dan Somalia, dipilih foto-foto yang menampilkan konflik politik. Bahkan, dari dunia olahraga, yang dipilih adalah foto pemain sepak bola Uruguay, Martin Caceres, yang melesakkan tendangan ke wajah pemain Belanda, Demy de Zeeuw, saat berebut bola dalam semifinal Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Dari World Press Photo 2010, kita melihat dunia makin muram dan merana.

Bismo Agung, fotografer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus