Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI manakah Anda pada tahun 1994?
Ini jelas bukan pertanyaan untuk generasi milenial dan generasi Z, yang sebagian besar kehadirannya pun belum direncanakan.
Pertanyaan ini lebih untuk mereka yang mungkin ingat bagaimana penyair Rendra ditangkap dan pelukis Semsar Siahaan dihajar aparat di depan Departemen Penerangan karena ikut demonstrasi pembredelan majalah Tempo dan Editor serta tabloid Detik, atau paling tidak buat generasi muda yang gemar membaca sejarah.
Pada tahun inilah Vina Panduwinata—iya, nama tokohnya persis nama penyanyi terkenal itu (diperankan Maizura)—masuk sekolah baru di Jakarta dari sebuah sekolah nun di Sumedang, Jawa Barat, sana. Kelak Vina lebih sering diejek sebagai Si Tahu Sumedang oleh anak-anak Jakarta yang belagu itu. Dengan aksen Sunda dan “sepokat” yang “tidak Jakarta”, tentu saja Vina nyaris hancur menjadi bubur sebelum Kris Dayanti (iya, ini juga nama si tokoh kepala geng), yang diperankan dengan bagus sekali oleh Sheryl Sheinafia, menyediakan payung perlindungan bagi anak Sumedang manis dan polos dengan mata yang berbinar-binar itu. Jadilah Vina bagian dari anggota geng “Bebas”, demikian nama kelompok yang ditahbiskan dari judul lagu rapper Iwa K yang albumnya juga dirilis pada 1994 itu.
Selain Kris si kepala geng yang galak dan jago karate serta si anak baru yang imut, Vina, anggota geng Bebas adalah Jessica (Agatha Pricilla), yang terus-menerus sibuk bersolek; Suci (Lutesha Sadhewa), yang paling jelita tapi cemberut melulu karena persoalan keluarga; Jojo (Baskara Mahendra), satu-satunya anggota lelaki yang selalu diejek persoalan “maskulinitas”-nya; dan Gina (Zulfa Maharani), yang paling kaya raya dan rumahnya sering digunakan untuk berkumpul. Dibanding tujuh anggota kelompok “Sunny” dalam film asal Korea, Sunny, enam anak sekolah menengah atas ini sudah cukup banyak karena penonton pun harus menghafal para pemain dewasa.
Belum lagi geng “Baby Girl”, yang diketuai Lila (Amanda Rawles), geng cewek cakep dan belagu semua, yang di masa SMA biasanya disebut geng populer, adalah rombongan cukup penting bagi kemaslahatan geng Bebas. Pada masa itu, istilah bully belum dikenal dalam pergaulan Indonesia, dunia maya dan ledakan Internet masih jauh di abad berikutnya. Jika berkelahi, mereka akan berhadap-hadapan.
Jika berniat melakukan bully atau merundung, mereka melakukannya secara langsung di hadapan “calon korban”. Generasi milenial dan generasi Z, ini yang namanya “gencet”! Inilah era 1990-an sebelum kalian terisap gawai.
Kisah remaja pada 1994 ini tentu saja bercerita tentang masa SMA yang “sulit” karena tuntutan pergaulan (“Aku harus ganti sepokat,” kata Vina, yang mulai mencampur-aduk bahasa Jakarta dan Sunda, dengan orang tuanya, Irgi Fahrezi dan Sarah Sechan, yang asyik sekali), sementara si akang yang “aktivis” ngomel-ngomel tentang pemerintah Orde Baru, tentang kapitalisme, tentang segalanya yang salah di masa itu.
Dynamic duo Mira Lesmana dan Riri Riza tak sekadar mengadaptasi film remaja Sunny untuk bersenang-senang. Kita diberi konteks sejarah dan politik, meski terasa sekilas. Seperti halnya film Sunny yang mengambil latar menjelang pemberontakan pada 1987, Riri dan Mira memilih tahun 1994 ketika majalah Tempo dibredel karena, “Saat itu Indonesia sudah mulai panas dan kelompok-kelompok mahasiswa sudah tumbuh secara underground,” ujar Mira. Mereka sengaja tak memilih tahun 1997-1998 karena saat itu suasana sudah terlalu kelam lantaran situasi ekonomi yang terpuruk dan kasus penculikan mahasiswa mulai terdengar.
Pilihan itu bisa dipahami, apalagi saat memasuki 2019, ketika film mulai memasuki realitas: masa dewasa yang tak selalu merah jambu. Kita kemudian menyadari bahwa tidak setiap orang berhasil meraih impiannya. Tokoh Vina dewasa (Marsha Timothy) secara tak sengaja bertemu dengan Kris dewasa (Susan Bachtiar) yang digerogoti kanker. Permintaan Kris yang terakhir: kumpulkan kawan-kawan satu geng yang dulu terpisah karena sebuah tragedi.
Maka setelah mengendus kiri-kanan, termasuk mencari di media sosial dan menyewa seorang investigator bekas kawan sekelas, mereka berhasil menemui satu per satu kawan-kawan lama. Dan di sinilah Vina—yang juga mewakili penonton—menyaksikan betapa segala impian indah remaja tak selalu terwujud. Kecuali Jessica dewasa (Indy Barends) yang tak terlalu berubah dan kini menjadi agen asuransi, kawan-kawannya yang lain mengalami berbagai kesulitan hidup yang tak terbayangkan. Dari Jojo yang “pernah menikah untuk menyenangkan orang tua” hingga Gina yang situasi finansialnya sangat parah.
Tahun 1994 dan Hal-hal Yang Tersisa/TEMPO
Ada kontradiksi di dalam impian dan jarak 25 tahun di depan mereka. Vina selalu menyangka dirinya “mengikuti arah angin” dan menolak konfrontasi, kemudian menyatakan melawan mereka yang menyerang anaknya. Pada adegan pembalasan dendam itulah para penonton—yang mungkin merasa satu generasi dengan geng Bebas dewasa—ikut-ikutan merasa dalam arus balas dendam.
Film ini, bagi saya, bukan sekadar sebuah film reuni dan kenangan masa remaja yang asyik; tak hanya membikin kita ingin ikut bergoyang atau berjingkrak mendengar lagu Bidadari (Andre Hehanusa), Kujelang Hari (Denada), atau Cukup Siti Nurbaya (Dewa 19). Ada sesuatu yang lebih personal ketika satu-dua kali Riri Riza memperlihatkan beberapa pojok yang dijaga tentara atau obrolan bagaimana suasana yang makin menekan sejak majalah Tempo dan Editor dibredel. Bahkan, ketika geng-geng itu berkelahi, di antara tawuran pun kita lantas teringat bahwa masa-masa represif tersebut sebetulnya belum terlalu lama dan masih bisa muncul kembali kapan saja.
Namun kegembiraan yang utama: duo Mira dan Riri kembali menyajikan menu mereka yang lezat seperti dulu ketika memproduksi Ada Apa dengan Cinta? (2002) dan Laskar Pelangi (2008). Tak ada kebahagiaan yang melebihi penonton jika segala yang di depan layar terasa pas, tak lebih dan tak kurang: plot, dialog, musik, humor, dan kesedihan.
Bahkan segala yang di-“sunting” dari versi Korea dan yang di-“ganti” menjadi Indonesia berubah sangat relevan dan tepat, misalnya menambahkan satu anggota lelaki di dalam geng Bebas (sementara itu, di dalam geng Sunny, semuanya anak perempuan), atau beberapa hal yang tampak “remeh” tapi sebetulnya esensial yang diindonesiakan oleh Mira, Gina S. Noer, dan Riri dengan rapi dan pas. Bahwa kemudian ada beberapa nama besar yang lalu-lalang, seperti Oka Antara, Reza Rahadian, Cut Mini, Dea Panendra, dan Happy Salma, adalah keputusan yang menarik karena, “Ini penampilan yang pendek dan harus diperankan pemain yang sudah jadi,” kata Mira.
Film Bebas pada akhirnya bukan hanya sebuah film nostalgia, tapi juga tentang pencarian diri (kembali). Penuh humor, juga kesedihan, cerita ini bersatu dengan musik dan idiom anak muda 1990-an yang asyik dengan pemilihan pemain yang tepat. Ketika film selesai, saya tidak ingin berpisah dengan jagat “Bebas”.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo