Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH hampir tujuh tahun lengser dari kekuasaan, akhirnya Bacharuddin Jusuf Habibie memberikan kesaksiannya mengenai masa-masa yang bergolak sepanjang 1998-1999. Kesaksian itu diwujudkan dalam sebuah buku setebal 549 halaman berjudul Detik-Detik yang Menentukan, yang diluncurkan pekan lalu.
Sebagian hadirin yang datang ke acara peluncuran di Ball Room Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta itu tampak ikut bernyanyi ketika lagu Indonesia Tanah Air Beta dilantunkan kelompok Male Voice. Mereka juga khidmat ketika Habibie tanpa ragu menorehkan rangkaian kalimat di poster sampul bukunya: "Dipersembahkan kepada Rakyat Indonesia."
Buku ini antara lain membuat terang sejumlah informasi yang dulu samar-samar atau menjalar-jalar sebagai isu. Misalnya perselisihannya dengan Prabowo Subianto, kepercayaannya yang mutlak kepada Wiranto, hingga hubungannya dengan Presiden (waktu itu) Soeharto yang merosot ke titik terendah. Soeharto tak pernah menyapanya lagi sejak lengser.
M. Taufiqurohman, Tulus Wijanarko, Philipus Parera, Yophiandi Kurniawan, dan fotografer Cheppy A. Muchlis dari Tempo menemui kakek empat cucu ini di kediamannya yang hangat, pekan lalu. Di bawah lukisan cat minyak, bunga matahari, karya Maria Tjui yang besar, dia tampak kurus, tapi bersemangat. Ciri khasnya juga tak hilang: blak-blakan, ekspresif, dan kadang terbawa perasaannya sendiri.
Ia juga tetap terlihat bugar. "Saya masih rutin berenang setiap hari," katanya. Ditemani teh hangat dan kue-kue jajanan pasar, wawancara hampir satu jam itu terasa sangat singkat.
Bagaimana perasaan Anda "dicuekin" Pak Harto di saat genting itu?
Saya kenal Pak Harto sejak 1950. Jadi, pada saat dia lengser, kami sudah mengenal lebih dari 40 tahun. Kami sangat erat seperti kakak-adik, juga sebagai kawan. Ketika masih menjadi menteri, saya bisa berkata apa saja kepada beliau-tentu tidak di depan umum. Jadi, ketika dia sebagai seorang negarawan memutuskan mengembalikan kekuasaan kepada MPR, yang secara konstitusional lalu diserahkan kepada Wakil Presiden, saya kan butuh penjelasan dan arahan dari Presiden, tetapi saya dibiarkan....
Anda tahu kenapa?
Yang paling tahu Pak Harto sendiri. Tetapi saya melihat sisi positifnya saja. Mungkin beliau tidak mau-katakanlah-"mencemari" saya. Andaikan saya langsung bertemu dia, orang akan bilang, "Ah, Habibie kacungnya Soeharto." Dia cuma bilang ke saya, "Sudahlah, itu merugikan." Ini saya artikan bukan merugikan dia, tapi merugikan saya. Jadi itu sikap bijaksana seorang kawan.
Secara pribadi Anda tidak dendam atau sakit hati?
Secara personal saya tidak ada masalah dengan Pak Harto. Ya, sekarang worried, prihatin, melihat beliau didorong di kursi roda. Apalagi kalau mengingat bagaimana dia membantu keluarga saya.
Membantu seperti apa?
Ketika ibu saya meninggal, beliau membantu saya. Beliau mengurus pemakaman Ibu. Bagaimana mungkin saya bisa melupakan itu? Tidak mungkin, dong. Saya kan manusia yang punya perasaan dan punya budaya. Bukan cuma Pak Harto, Ibu Tien juga baik.
Jadi hubungannya memang sudah dekat sekali?
Dia juga menolong keluarga saya ketika ayah kami meninggal. Itu terjadi sewaktu dia masih letnan kolonel. Waktu itu siapa yang tahu dia akan jadi presiden? Makanya almarhumah Ibu pernah berpesan, "Kamu jangan tinggalkan dia. Dia yang menolong bapakmu." Tapi kalau dengan keluarganya saya tidak terlalu dekat, karena saya sudah ke Eropa. Sewaktu pertama saya kenal Pak Harto, beliau baru saja menikah. Tutut mungkin belum lahir.
Pada saat-saat genting tahun 1998 itu, Anda tampak sangat mempercayai Wiranto. Kenapa?
Saya kalau melihat orang selalu positif. Kalaupun orang itu misalnya mau jahat pada saya, saya akan menghadapinya dengan tenang. Tidak mungkin dia langsung tembak, dor-dor! Yang benar saja. Mungkin orang akan bilang Habibie naif, nggak apa-apa. Karakter yang demikian itu yang menjadikan saya seperti ini.
Apa yang membuat Anda yakin dia orang baik?
Dia taat beragama. Saya yakin agama apa pun mengajarkan kebaikan. Menurut saya, orang taat akan memiliki moral yang baik. Nah, Wiranto ini mengenalkan diri sebagai mantan ajudan presiden ketika saya hendak salat Id di Masjid Istiqlal. Dia meminta izin kelak diperkenankan membantu saya di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Dari sudut itu saya melihat Pak Wiranto sebagai orang dengan kualitas iman dan moral yang baik.
Anda mempercayainya bukan karena Wiranto, sebagai Panglima ABRI saat itu, tak pernah menggunakan Inpres yang memberi ia kewenangan bertindak dalam keadaan kacau?
Begini, dia pernah tiba-tiba menghadap dan menyampaikan pada saya bahwa Pak Harto memberinya Inpres itu. Dia minta petunjuk saya. Saya diam dan berpikir sebentar, dan otak saya langsungwuttt(mengambil kesimpulan)..., orang ini jujur. Kenapa? Saya, kan nggak tanya soal itu, tapi dia menyampaikannya. Lalu saya jawab, "Simpan saja."
Kenapa Anda jawab demikian?
Karena bisa saja terjadi chaos betulan dan tiba-tiba saya mati. Iya, toh? Tetapi saya bersyukur karena ternyata Inspres itu tidak pernah dia gunakan. Di mana Inpres itu sekarang disimpan pun saya tidak tahu.
Ketika menjabat presiden, Anda mempertahankan Wiranto sebagai Pangab. Apa perintah pertama Anda kepadanya?
Supaya doktrin makro (Saptamarga) dan mikro (sumpah prajurit) ABRI kembali match, lebih-lebih dalam situasi seperti itu, saya bilang kepada Pak Wiranto, tidak ada lagi prajurit atau bahkan jenderal bintang empat yang bertemu saya tanpa setahu Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab). Dulu Letnan Jenderal Prabowo Subianto (Panglima Kostrad waktu itu) kalau melapor, kan langsung ke Pak Harto, ayah mertuanya. Padahal informasi yang dia bawa belum tentu benar. Dilihat dari sumpah prajurit, itu salah.
Toh, sebagai presiden, Anda akhirnya menerima Prabowo tanpa setahu Pangab?
Saya tahu itu melanggar yang saya katakan. Tetapi alasannya adalah karena ayah kandungnya merupakan idola saya. Kedua, saya idolanya Prabowo. Hubungan dia dengan saya sudah dekat sekali. Ketiga, siapa tahu ada pesan dari Pak Harto, ha-ha-ha.... Jadi saya memang ambil risiko.
Meskipun demikian, Anda tetap mencopot Prabowo?
Saya mendapat laporan bahwa dia sudah mengerahkan pasukan dari luar kota menuju kawasan Kuningan (kediaman Habibie) dan Istana Presiden. Maka saya perintahkan kepada Wiranto untuk mengganti Pangkostrad. Lalu kepada Pangkostrad yang baru diperintahkan menarik semua pasukan sebelum matahari terbenam. Kalau saya biarkan Kostrad bergerak sendiri, semua kesatuan akan bergerak sendiri-sendiri.
Dari mana Anda tahu Prabowo bergerak sendiri?
Pangab yang lapor kepada saya. Kalau dia tidak jalan sendiri, kan Pangab tidak perlu lapor.
Bagaimana hubungan Anda dengan Prabowo sekarang?
Baik. Sebelum dia maju ke konvensi calon presiden Partai Golkar, dia datang pada saya di Jerman minta nasihat. Tanya saja Prabowo. Dia juga minta maaf, katanya, tidak benar akan membuat coup d'etat. Saya bilang, saya tidak pindahkan dia karena coup d'etat, tapi karena dia jalan sendiri tanpa setahu Pangab.
Sebagai presiden, Anda telah membuat beberapa perubahan mendasar. Setelah tak menjabat lagi, selama tujuh tahun Anda di luar negeri.
(Menyergah) Saya tidak di luar negeri. Saya sering di sini, di The Habibie Centre. Supaya Anda tahu, pada 2006 selama delapan bulan saya di Indonesia. Memang, ada di luar negeri empat bulan, tapi itu pun cuma satu setengah bulan di Jerman, ha-ha-ha.... Kalau pada 2001-2002 memang saya banyak di Jerman, karena Ibu Ainun (istri) sakit keras. Saat itu tiga setengah tahun tidak kembali. Hampir saya kehilangan istri saya. Tapi saya terus mondar-mandir.
Bagaimana dengan obsesi Anda agar bangsa ini menguasai teknologi tinggi?
Saya masih tetap berpendapat demikian. Bagaimana Anda mau memberikan lapangan kerja buat orang Indonesia? Dengan menjadi petani? Bagaimana nilai tambahnya? Itu sebabnya dulu saya membuat industri strategis
Anda punya usul bagaimana itu harus dilakukan sekarang?
Pola yang pernah saya kembangkan itu dilaksanakan. Kekayaan alam yang kita miliki harus pandai-pandai dimanfaatkan untuk investasi, kemudian digunakan sebagai pengembangan sumber daya manusia. Batam, misalnya, dulu kami kembangkan sebagai Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Terpadu (Kapet). Berapa juta jam pakar dan teknokrat semuanya memikirkan itu? Itu sudah di ujung tombak semua. Sekarang dipecah-pecah, jadi aneh begitu. Kenapa jadi seperti itu? Jangan tanya saya.
Itu juga yang terjadi dengan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)?
Ya. Padahal yang saya kembangkan N-250 atau industri strategis. Alasannya bukan karena milik keluarga saya atau karena saya punya saham. Tidak sama sekali! Tetapi karena saya yakin itu satu-satunya cara mempercepat agar kita mengandalkan kekuatan pada sumber daya manusia.
Sekarang berminat kembali ke IPTN?
Tidak! Yang benar saja. You pikirlah, kalau dulu Anda komandan kompi, lalu operasi terus-menerus, dan akhirnya menjadi Pangab. Tiba-tiba ada masalah, masak mau menjadi komandan kompi lagi? Ya, tidak mungkin, dong! Tapi tentu saya akan memberikan pengalaman dan nasihat saya guna mengembalikan momentum bagi pembangunan industri strategis.
Barangkali ingin mendanai juga?
Mendanai bagaimana? Dari mana uangnya? Anda mau kasih uang ke saya?
Bagaimana perasaan Anda dengan kondisi IPTN sekarang?
Ya, sedih. Bayangkan, misalnya, sejak mahasiswa, Anda sudah mulai mengembangkan sumber daya manusia sampai berhasil. Tetuko (salah satu produksi IPTN), semua dilaksanakan, punya missile, tapi ketika mau terbang, settt..., digembosi! Tanya saja sama Andi Mattalata (dulu Ketua Fraksi Partai Golkar-Red.), berapa sebenarnya yang harus dibiayai IPTN dengan N-250. Paling banter Rp 1 triliun lebih. Itu lebih kecil dibanding berapa triliun dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Jadi, menurut Anda, menelantarkan IPTN sebuah langkah keliru?
Ada persamaan antara perusahaan dan manusia. Kalau manusia lahir, dia bisa hidup. Perusahaan didirikan, dia bisa hidup. Kalau manusia mati, tidak bisa bekerja lagi. Perusahaan bangkrut, dia tidak bisa bekerja lagi. Kalau manusia mati, dengan umur 70 tahun setelah pensiun, ya sudah mati saja. Toh, dia sudah berkarya, tidak jadi soal. Tapi kalau dia mati pada usia 30-40 tahun? Yang benar saja lu. Dia baru di usia produktif dan masih banyak harapan. Kalau Anda yang sakit, saya tak akan membunuh Anda. Kalau perusahaannya sakit, jangan ditikam, dong. Kalau perusahaan Anda bangkrutkan, itu artinya Anda bunuh perusahaan itu. Hilang napasnya. Hilang lapangan pekerjaannya. Hilang pendapatannya. Hilang juga hidupnya. Ini industri strategis dengan 44 ribu karyawan, lho.
Tetapi ada yang berpendapat IPTN hanya memboroskan keuangan negara?
Turn over-nya US$ 10 miliar, lho. Tetapi seenaknya saja di-settt.... Mati. Kalau sudah mati, bagaimana menghidupkannya lagi? Atau melahirkan yang baru? Itu tidak semudah demikian. Saya sedih.
Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie Tempat tanggal Lahir: Parepare, 25 Juni 1936 Pendidikan:
Karier
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo