Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mencukur Hutan Batang Gadis

Gunung Sidoar-doar tak rimbun lagi. Kayu ilegal diangkut melintasi pos petugas. Tiap bulan ada upeti.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUYUNG Nasution menyipitkan matanya, menyimak jejak ban di tepi hutan semrawut itu. Menurut pengalamannya, jejak ban itu berasal dari truk bergardan ganda milik PT Keang Nam. ”Mereka merambah hutan sejak 25 tahun lalu,” kata Buyung, 50 tahun, penduduk setempat.

Tak mudah menempuh perjalanan dari Penyabungan, Mandailing Natal, menuju Desa Tabuyung, Batang Natal. Matahari memanah ubun-ubun, debu mengabut dilenggangkan angin. Kurang gesit di jalan berbatu sepanjang 141 kilometer itu, mobil bisa terpuruk di lubang sebesar-besar kerbau. Pekan lalu itu, lengang-lengau seputar hutan, tak tampak kendaraan melintas.

Perusahaan yang disebut Buyung tadi adalah milik Adelin Lis, tersangka pembalakan liar. Adelin kini menghuni tahanan markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara di Kota Medan, sekitar 500 kilometer dari Penyabungan. ”Tuduhan sebagai perambah hutan itu tak tepat,” kata Sakti Hasibuan, kuasa hukum Adelin. ”Sebab, usahanya itu legal.”

Hingga pekan lalu, penyidik masih meminta keterangan tersangka yang dituduh merugikan negara Rp 227 triliun itu. ”Kami sedang mencari tahu ke mana saja uang hasil pembalak hutan itu mengalir,” kata Komisaris Besar Ronny F. Sompie, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sumatera Utara.

Tapak ban truk tronton beroda 12 milik Keang Nam itu tergambar jelas sepanjang jalan dari Tabuyung menuju Desa Lubuk Kapundun. Begitu juga jurusan Simulaanjing-Siulangaling-Ratau Panjang, hingga ke Gunung Sidoar-doar, Kecamatan Natal. ”Jalanan rusak akibat truk pencuri kayu,” Buyung menambahkan.

Menurut kesaksian warga, truk Keang Nam mengangkut kayu dari kawasan Gunung Sidoar-doar yang hampir gundul. Di sinilah Taman Nasional Batang Gadis, yang dulu rimbun ditumbuhi kayu kapur, damar laut, meranti kapur, dan merbau. Kayu dibawa ke Lok Pon Camp Pinang di tepi Sungai Batang Gadis, lalu dialirkan ke pabrik PT Mujur Timber di Sibolga. Perusahaan ini juga milik keluarga besar Adelin.

Perusahaan milik keluarga Adelin lainnya adalah PT Inanta Timber. Polisi menuduh, Inanta ikut menggunduli hutan di Gunung Sidoar-doar. Seorang bekas karyawan Inanta mengatakan, Inanta juga membabat hutan di tanah ulayat Desa Bintuas, Kunkun, dan Desa Sikara-kara IV, di lereng Gunung Sidoar-doar.

Sama dengan Keang Nam, Inanta juga memanfaatkan Sungai Batang Gadis menjadi jalur kayu ke lok di Desa Sale Baru. Dari sini kayu diangkut ke Desa Sikara-kara dan Lok Si Kunkun, kemudian dilayarkan ke Pulau Telo—kawasan lima hektare mirip telur dadar di tengah laut, dekat Muara Tabuyung.

Butuh waktu dua jam berlayar ke sana. Mudin, warga setempat, mengaku sering melihat tongkang masuk Pulau Telo tiga kali dalam seminggu. ”Mereka mengangkut kayu dan membawanya ke laut lepas,” katanya.

Sebetulnya, di antara lahan Keang Nam dan Inanta ada beberapa pos aparat. Namun, menurut warga, petugas pos membiarkan kayu ilegal itu melintas, asal ada ”mahar”-nya. Konon dari setiap truk Colt diesel dipungut Rp 250 ribu-500 ribu, sedangkan truk lebih besar dikenai Rp 500 ribu-1,5 juta. Setiap hari melintas sekitar 30 truk.

Ada pula pos kehutanan di kawasan itu, yang diberi uang Rp 5 juta-10 juta per bulan. Setiap tanggal muda, datanglah utusan dari Dinas Kehutanan Mandailing Natal, menjemput upeti Rp 25 juta-50 juta dari dua perusahaan itu. Untuk pejabat lebih penting di Dinas Kehutanan, tersedia jatah Rp 100 juta per bulan.

Pos kepolisian di pinggir hutan itu juga mendapat jatah yang sama, Rp 5 juta-10 juta. Menurut sumber Tempo, untuk tingkat kepolisian sektor diberikan Rp 25 juta, jenjang berikutnya Rp 100 juta per bulan. ”Tentara tak berperan di sini, mereka hanya dapat uang rokok,” katanya.

Upeti juga mengucur ke kantor pemerintahan. Sekelas kepala desa mendapat Rp 5 juta tiap bulan, tingkat berikutnya Rp 15 juta per bulan. Lebih ke atas tentulah lebih ”berkelas”. Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Prie Supriadi, tegas membantah kabar itu. Ia mengatakan tak pernah mendengar anak buahnya di sana menerima upeti. ”Yang pasti, tak boleh menerima sogok,” katanya. ”Kalau saya temukan, pasti saya copot.”

Akan ihwal beberapa anak buahnya yang kini sedang diusut, Prie tak banyak bicara. ”Nanti saja dibuktikan di pengadilan,” katanya. Yang jelas, Bupati Mandailing Natal, Amru Daulay, juga bakal dipanggil polisi. ”Kami sedang menunggu izin presiden,” kata Komisaris Besar Ronny F. Sompie.

Apakah berkaitan dengan suap atau tidak, ”Biar penyidik di kepolisian yang menentukan tuduhan,” kata Syafruddin, kuasa hukum Amru Daulay. ”Semua dugaan harus didukung bukti.”

Sedangkan di Kepolisian Daerah Sumatera Utara ada perkembangan menarik. Sejak Kamis pekan lalu, Ajun Komisaris Besar Indra Mulyadi tak lagi menjabat Kepala Polres Mandailing Natal. Posisinya digantikan Ajun Komisaris Besar Rudi Sumardianto. Tapi, ”Tak ada kaitannya dengan illegal logging,” kata Komisaris Besar Aspan Nainggolan, Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara.

Nurlis E. Meuko, Hambali Batubara (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus