Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA hakim setuju dengan tuduhan polisi, Adelin Lis hanya akan memiliki kolor di tubuhnya. Pasalnya, dia harus membayar kerugian negara akibat pembalakan liar Rp 227,02 triliun, setara dengan dua pertiga APBN 2005.
Pemilik kartel Adelin yang dijuluki Raja Kayu Sumatera itu diduga merambah hutan Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ia dituduh menjarah 16 ribu hektare. Dengan menggunakan formula kerugian versi Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup, polisi menuduh Adelin telah merugikan negara 50 kali lipat dari nilai kayu yang hanya Rp 4,3 triliun.
Pengacara Adelin terheran-heran dengan tuduhan itu. Dari mana angka 227 dengan nol dua belas itu muncul?
“Kami menghitung dengan berpatokan pada metode ilmiah dan dilakukan para `ahli,” kata Hoetomo, Deputi Menteri Bidang Penataan Lingkungan, kepada Tempo. Perinciannya, kerugian akibat perbuatan Adelin melalui PT Inanta Timber Trading sebesar Rp 225 triliun, dari PT Keang Nam Development Indonesia Rp 2,02 triliun.
Angka itu merupakan penjumlahan tiga komponen kerugian: biaya kerugian ekologi dan biaya pemulihannya, serta biaya kerugian ekonomi. Pantas nilainya sangat jauh dibanding hasil perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, yang juga diminta polisi Medan ikut menaksir kerugian akibat ulah Adelin.
Instansi pemerintah ini hanya menyebut Adelin merugikan negara Rp 674 miliar. Kerugian hanya dihitung berdasarkan aspek ekonomi, yakni tidak membayar provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi.
Hoetomo mengakui, masyarakat bakal kesulitan memahami formula perhitungan tersebut. Karena itulah kantornya pada Maret lalu meluncurkan buku berjudul Panduan Perhitungan Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan.
Buku ini memaparkan empat pendekatan dalam menghitung ganti rugi akibat pencemaran atau perusakan sumber daya alam. “Tiap komponen dijabarkan dalam rumus dengan baseline (harga) tertentu,” kata Basuki Wasis, anggota tim penyusun buku dan pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang dimintai bantuan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan polisi untuk menaksir nilai kerugian akibat perbuatan Adelin.
Menurut Basuki, patokan harga mengacu pada penelitian sebelumnya. Misalnya baseline biaya pengendalian erosi dan limpasan sebesar Rp 6 juta per hektare. Angka ini adalah biaya pembuatan terasering atau undakan tanah untuk mencegah erosi oleh air hujan, karena penebangan membuat hutan gundul. Dalam hal ini, “Baseline itu semacam biaya pengganti membuat terasering,” katanya.
Contoh lain biaya pemulihan keanekaragaman hayati sebesar Rp 2,7 juta per hektare. Mengakui nilainya masih terlalu kecil untuk mengganti keanekaragaman hayati seperti hewan dan tumbuhan langka, Basuki mengatakan bahwa angka itu terpaksa diambil karena perlu ada patokan untuk menghitung kerugian yang diakibatkan pembalakan dan pencemaran.
Formula untuk menghitung kerugian akibat pembalakan liar tak cuma dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup. Sebelumnya ada beberapa formula yang dikembangkan Asian Development Bank. Misalnya menghitung ganti rugi perusakan hutan bakau dengan melihat empat dampak kerusakan.
Pertama, keanekaragaman hayati yang formulanya berupa hilangnya fungsi pengobatan dengan biaya lingkungan US$ 15 hektare (Rp 135 ribu) per tahun. Kedua, produk kayu dengan formula jumlah kehilangan produk kayu per hektare per tahun dikali nilai kayu. Biaya lingkungannya US$ 30 (Rp 270 ribu) per meter kubik. Ketiga, dampak terhadap perikanan berupa hilangnya produktivitas dikali nilai kehilangan di mana biaya lingkungannya US$ 62,6 (Rp 563 ribu) per hektare. Terakhir, dampak ekoturisme berupa berkurangnya turis dikali nilai kehilangan. Dari sini muncul biaya lingkungannya sebesar US$ 10,48 (Rp 94 ribu) per kunjungan turis.
Namun formula yang dipakai Kementerian Lingkungan Hidup lebih sakti. Pembalak jatuh miskin dalam sekali pukul. Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban sampai merasa perlu memperingatkan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) supaya berhati-hati. “Ini peringatan bagi yang lain supaya tidak menebang di luar blok,” ujarnya dua pekan lalu. Atau, bersiaplah menjadi Adelin kedua.
Untung Widyanto, Deffan Depurnama
Menghitung Akibat Adelin
Angka kerugian akibat pembalakan yang diduga dilakukan Adelin versi Kementerian Negara Lingkungan Hidup sungguh mengejutkan. Nilainya sekitar Rp 227,02 triliun, padahal nilai kayu itu menurut perhitungan Tempo Rp 4,3 triliun. Perbedaan tersebut karena perhitungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sudah memasukkan kerugian akibat kerusakan ekologi, biaya pemulihannya, dan kerugian ekonomi. Berikut adalah perinciannya:
Biaya Fungsi Pengurai Limbah [biaya kerugian ekologis] Rp 435 ribu/ha.
Biaya hilangnya fungsi ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 1998. Pengurai limbah/bioremediasi ini menjinakkan unsur kimiawi.
Biaya Hilangnya Unsur Hara [Biaya kerugian ekologis] Rp 10,5 juta/ha.
Biaya hilangnya unsur ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 2004. Jika hutan ditebang, 16 unsur hara hilang, dari nitrogen hingga magnesium.
Biaya Pemulihan Ekologis
Jumlah biaya penyediaan air melalui pembangunan reservoir, pengendalian erosi dan limpasan, pendaur ulang unsur hara, pengurai limbah, keragaman biodiversitas, sumber daya genetik, dan pelepasan karbon.
Biaya Fungsi Penampungan Air (biaya kerugian ekologis) Rp 100 ribu/m3
(biaya fungsi penampungan air) ditambah Rp 200 ribu/ha biaya pemeliharaan reservoir sampai menjadi hutan selama 100 tahun.
Kerugian oleh PT Keang Nam Development Indonesia Rp 2,02 triliun
Biaya Pelepasan Karbon (biaya kerugian ekologis) Rp 90 ribu/ha.
Biaya pelepasan karbon ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 1998.Diketahui, setiap daun yang jatuh akan membusuk dan melepaskan karbon.
Nilai Kayu Tegakan Hutan (Biaya kerugian ekonomi) Rp 3,3juta/m3.
Nilai kayu ini dikalikan dengan potensi tegakan hutan dan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 2003.
Umur Pakai Lahan dan Hutan (biaya kerugian ekonomi) Rp 32 juta/ha.
Nilai pakai lahan sekitar 100 tahun ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 2002.
Kerugian oleh PT Inanta Timber Trading Rp 225 triliun
Biaya Pemulihan Genetik (biaya kerugian ekologis) Rp 410 ribu/ha.
Biaya pemulihan genetik ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 1998.
Biaya Pengaturan Tata Air (biaya kerugian ekologis) Rp 19,1 juta/ha. (nilai budidaya tanaman) dikali Rp 3,17 juta/ha.
(penyediaan air minum) dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan lahan hutan dan tahun 1999.
Biaya Pemulihan Biodiversity (biaya kerugian ekologis) Rp 2,7 juta/ha.
Biaya pemulihan biodiversity ini dikalikan dengan indeks harga konsumen pada tahun terjadinya perambahan hutan dan tahun 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo