Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi untuk Tempo
Dalam sebuah artikel dalam rubrik Pendidikan (majalah Tempo edisi 18-24 September berjudul ”Semadi Bagi Sang Dosen”) disebutkan bahwa Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Somantri memutuskan tiga program yang di antaranya adalah Program Sabbatical Life (alinea ke-3). Saya kira program tersebut mestinya Sabbatical Leave dan bukan Life. Leave dalam konteks ini adalah ”cuti”, sedangkan life adalah hidup atau kehidupan. Program ini sudah biasa di mana-mana dan mungkin baru bagi Indonesia, yang tujuannya memberikan kesempatan bagi para akademisi membuat karya ilmiah.
Saya tidak tahu apakah wartawan Tempo salah kutip atau dekan FISIP UI salah memakai istilah. Juga dalam kolom Peristiwa (hlm. 21 Tempo edisi yang sama) nama-nama jurnalis Australia dibalik-balik. Naomi Robson disebut Robson Naomi. Robson adalah surname (nama keluarga). Sistem pengisian formulir memang biasanya surname dulu baru given name. Jadi yang lainnya juga salah, misalnya John (bukan Jhon) David Childs. Mudah-mudahan Tempo lebih jeli.
BASOEKI KOESASI Senior Lecturer in Indonesian School of Language Cultures and Linguistics Monash University, Australia
Nomor Edisi Tempo Keliru
Rebat cekap saja. Saya bingung dengan nomor edisi Tempo yang melonjak dari Nomor 29, 11-17 September 2006, langsung ke Nomor 35, 18-24 September 2006. Ceritanya begini: sebagai seorang pustakawan di universitas tertua di Indonesia, setiap kali majalah Tempo datang langsung saya proses agar bisa untuk dipinjam di tempat. Biasanya—memang harus begitu—yang dilihat adalah halaman judul (daftar isi). Di situ, di edisi terbaru pekan lalu, tertulis No. 35, yang seharusnya No. 30, seperti yang tertera di halaman depan. Itulah biang keladi kebingungan saya. Semoga Tempo tidak salah lagi.
Supribadi Pustakawan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
—Terima kasih atas koreksi Anda.-Red.
Hormati Keputusan dalam Kasus Tibo
Menyusul rencana eksekusi Tibo dan kawan-kawan yang sempat mengalami penundaan, enam daerah dari 10 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah dinyatakan dalam status Siaga 1. Aparat keamanan pun mengerahkan lebih dari 4.000 personel pasukan gabungan untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat di Sulawesi Tengah menjelang dan sesudah eksekusi.
Kesiapan aparat keamanan itu tidak berlebihan mengingat potensi konflik di daerah tersebut masih tetap tinggi. Apalagi, ada indikasi adanya ancaman dari kelompok tertentu yang tidak puas bila eksekusi Tibo cs tetap dilaksanakan.
Apabila diamati, ada kecenderungan yang memprihatinkan berkembang di sekitar kita. Semua sepakat perlunya penegakan hukum demi keadilan, namun ketika keputusan hukum tidak sesuai dengan keinginan yang bersangkutan, maka hukum pun tidak dihormati. Di sini, keadilan diartikan berdasarkan kepentingan sendiri.
Standar ganda seperti itu seharusnya tidak digunakan apabila kita mendambakan keadilan. Sebab, keadilan bisa dicapai melalui proses hukum di pengadilan, bukan berdasarkan dugaan atau pengakuan sepihak.
Bila inginkan keadilan tercipta di negeri ini, alangkah baiknya kita sama-sama menghormati keputusan hukum. Seyogianya kita tidak memberikan reaksi yang berlebihan atas kasus Tibo dan kawan-kawan yang dapat menyusahkan kita sendiri. Berikan ruang agar proses hukum berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku tanpa harus membawanya ke arena politik.
Martinus Perum Bukit Menteng Blok B-10 Citra Indah Jonggo. Bogor
Kejar Terus Pembalak Liar
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, Cina, berhasil menangkap Adelin Lis, tersangka pembalakan liar (illegal logging) dan perusakan lingkungan yang buron sejak Februari 2006. Penangkapan dilakukan saat ia hendak mengurus perpanjangan paspor. Adelin bersama kawan-kawannya telah melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing, Natal, Sumatera Utara, hingga merugikan negara Rp 900 miliar. Mereka juga merusak lingkungan senilai Rp 425 triliun.
Tertangkapnya Adelin Lis mendapat tanggapan dari Menteri Kehutanan M.S. Kaban. Ia menyebut penangkapan itu membuka jalan untuk membongkar kejahatan pembalakan liar. Bukan hanya Adelin, orang-orang yang diduga melakukan tindakan serupa di Jambi, Riau, dan Kalimantan Barat, yang pelakunya sampai sekarang belum tertangkap, agar segera ditangkap.
Bila merunut ke belakang, isu pembalakan liar kembali marak sejak pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003. Maraknya praktek itu mendorong berbagai badan nasional dan internasional mencermati upaya penanganan kasus tersebut. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan, sejak 1985-1997, Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun, dan diperkirakan hanya sekitar 20 juta hektare hutan produksi yang tersisa.
Selama ini, praktek penebangan liar dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum. Penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Mengenai cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Pembalakan liar tak cukup diminimalkan dengan imbauan dan surat keputusan. Mata rantai panjang harus dibenahi, mulai dari penataan tata ruang, tata wilayah, sampai penggunaan lahan. Juga, soal program pemberdayaan masyarakat, jaminan bagi hak-hak hidup dan berusaha untuk masyarakat adat. Kerja sama multilateral dengan lembaga swadaya masyarakat, aparat keamanan, polisi hutan, pemerintah, dan masyarakat adat adalah salah satu cara terbaik untuk meminimalkan praktek tak terpuji itu.
Galuh Utami Banten
Tokoh Agama Perlu Hati-hati Bicara
Kontroversi dan reaksi terhadap Paus Benediktus XVI muncul atas pernyataannya dalam kuliah umum di Universitas Regensburg, Bavaria, Jerman, 12 September lalu. Saat itu, Paus menelaah perbedaan Islam dan Kristen secara historis dan filosofis, dan hubungan kekerasan dengan agama. Kemudian, secara implisit, Paus menyebut keterkaitan Islam dengan kekerasan, khususnya dengan jihad atau perang suci.
Memang, sangat disesalkan pernyataan Paus yang mengkritik konsep jihad dalam Islam, dan menyebut Islam disiarkan dengan pedang. Seharusnya, sebagai tokoh agama, ia berhati-hati dalam mengemukakan suatu pernyataan bila berkaitan dengan agama lainnya. Pernyataan seperti itu sangat potensial mengganggu harmoni yang relatif bagus antara umat Islam dan Katolik.
Menanggapi pernyataan Paus tersebut, umat Islam Indonesia jangan sampai terprovokasi, apalagi melakukan tindakan anarkistis. Umat Islam diharapkan memberikan maaf kepada Paus, baik dia meminta atau tidak. Sebab, apa yang dia katakan lebih dikarenakan keawamannya tentang Islam.
Kita memang patut tersinggung dengan pernyataan Paus. Cuma, karena yang bersangkutan sudah menyadari kesalahan dan menyesali ucapannya, sekali lagi, sebaiknya umat Islam memberi maaf.
Hasanudin Jalan Giring-giring No.12, Depok II
Umat Islam Jangan Terprovokasi
Dari Kastil Gandolfo, Italia, Paus Benediktus XVI menyampaikan permintaan penyesalan pribadi atas kesalahpahaman akibat pidatonya tentang Islam dan kekerasan. Paus sudah memperbaiki ucapannya dan hal itu sudah cukup. Kalau umat Islam tidak menyudahi reaksinya, nantinya justru akan menimbulkan pandangan pembenaran bahwa umat Islam memang ”tukang marah”. Kalau kita marah terus, nanti malah Pausnya yang benar.
Nahdlatul Ulama dan PP Muhammadiyah telah menerima ”permintaan maaf” Paus tentang pernyataannya yang salah tentang Islam. Walau dalam nada hanya menyesal, permintaan ”maaf” itu perlu disikapi dengan laoang dada oleh umat Islam.
Perasaan tersinggung kaum muslimin atas pernyataan salah Paus sangat bisa dipahami, namun hendaknya kondisi itu jangan dihadapi secara tak proporsional. Sebab, hal itu justru akan menguntungkan pihak-pihak yang ingin mencitrakan agama Islam identik dengan kekerasan.
Kita tetap harus bersikap proporsional, jernih dan menjadi solusi yang bermanfaat bagi semua pihak agar menjadi pelajaran berharga untuk kebersamaan di dunia ini. Bereaksi dengan sikap yang arif akan sangat membantu menjelaskan kemuliaan akhlak Islam kepada masyarakat dunia yang belum paham tentang Islam.
Fachri Rifaldi Jalan Lolongok No. 1, Batutulis, Bogor
Keluhan Penghuni Berlan
Berlan adalah kompleks TNI AD, luasnya hampir 20 hektare, dan dihuni 26 ribu orang. Wilayah ini terdiri dari Jalan Kesatrian dan Kesatrian I-X. Pembatasnya Sungai Ciliwung, Jalan Matraman Raya, Jalan Slamet Riyadi, dan Kebon Manggis.
Beberapa minggu terakhir, sebagian besar warga resah karena pemerintah pusat, Pemerintah Daerah DKI, Departemen Pertahanan, dan TNI AD berencana membangun rumah susun 20 lantai di Berlan. Hal lain, sepanjang 2006, terjadi pengambilalihan secara paksa atau terpaksa diserahkan oleh penghuni ke instansi yang mengatasnamakan dinas, seperti Jalan Kesatrian III dan Kesatrian V oleh Direktorat Zeni AD, Matraman Raya oleh Departemen Pertahanan-Inkopad-Perwakilan Kodam Brawijaya, dan lain-lain.
Berkait dengan hal di atas, saya ingin menyampaikan pendapat sebagai berikut:
- Sebagai penghuni, saya menyadari bahwa rumah di Berlan tidak 100 persen milik kami, dan juga tidak 100 persen milik pemerintah. Sebab, kami telah menghuni 46 tahun, dan suami/ayah kami almarhum mendapatkannya tidak gratis, melainkan ”membeli” (biasa disebut over VB). Jadi, bukan gratis diberikan oleh kesatuannya.
- Demi kepentingan negara, saya tidak keberatan rumah tersebut diambil alih untuk rumah susun asal kepentingan penghuni dipertimbangkan secara adil dan bijak.
- Agar pemerintah (Departemen Pertahanan, TNI AD, Pemda DKI) mensosialisasi rencana dan time schedule ke penghuni Berlan.
- Agar ada dialog antara pemerintah dan penghuni sehingga didapat win-win solution.
- Relokasi bagi penghuni seperti diputuskan pada pertemuan antara Wakil Presiden dan Gubernur DKI merupakan satu alternatif. Alternatif lain juga perlu dipertimbangkan, seperti ganti rugi bagi penghuni sebesar separuh harga pasar, tukar guling antara penghuni dengan rumah susun setelah jadi secara adil, pembagian hasil penjualan rumah susun secara proporsional dengan nilai bangunan dan tanah penghuni saat ini, dan lain-lain.
- Mengingat pengambilalihan secara paksa maupun setengah paksa tahun ini agresif sekali, mohon agar pemerintah (instansi terkait) melarang dulu pengalihan hak tersebut meskipun atas nama dinas dan kepentingan ”negara”.
- Apabila Berlan akan dibangun rumah susun, mengapa instansi Departemen Pertahanan, TNI AD (Direktorat Zeni, Perwakilan Kodam Brawijaya, Inkopad, dan lain-lain) mengambil alih hak penghuni lama atas nama dinas yang, toh, sebentar lagi akan dibangun rumah susun? Saya menduga (mudah-mudahan salah) instansi tersebut—atau, oknum yang mengatasnamakan instansi—mencuri start mengganti rugi dengan lebih murah kepada penghuni lama. Selanjutnya, mereka mengharapkan ganti rugi yang lebih mahal di waktu yang akan datang. Mohon Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan dan Angkatan Darat menelitinya.
- Ganti rugi terhadap penghuni lama yang dilakukan oleh Direktorat Zeni TNI AD untuk penghuni di Jalan Kesatrian III dan V, yaitu Rp 75 juta untuk perwira tinggi sampai dengan Rp. 40,5 juta untuk bintara/tamtama/pegawai negeri sipil, saya rasa tidak layak.
- Saya sampaikan juga keberatan terhadap instansi yang mengambil alih dari penghuni lama di Jalan Raya Matraman 94 (hoek antara Jalan Kesatrian dan Matraman), sebab mereka juga mengambil bahu Jalan Kesatrian dua meter lebih sehingga melanggar garis sempadan bangunan Jalan Kesatrian (tidak sesuai dengan tanah sebelumnya).
Nama dan alamat ada pada Redaksi
Cegah Alfredo ke Indonesia
Personel TNI meningkatkan penjagaan pengamanan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste sejak kaburnya pemimpin pemberontakan Timor Leste, Mayor Alfredo Reinado, bersama 56 tahanan lainnya dari penjara Becore.
Penjagaan wilayah perbatasan oleh TNI tersebut sangat tepat untuk mencegah menyeberangnya Mayor Alfredo ke wilayah perbatasan Indonesia. Jangan sampai pemimpin pemberontak beserta 58 tahanan tersebut menyusup ke wilayah Indonesia. Bila ini terjadi, dikhawatirkan akan berbuntut panjang, bahkan tak tertutup kemungkinan melahirkan tuduhan yang menyakitkan, yaitu Indonesia mendukung gerakan pemberontakan di Timor Leste.
Orang masih ingat tentang konflik di Timor Leste pada April lalu. Saat itu, Indonesia dituduh berada di balik kerusuhan itu. Padahal, semua tahu bahwa kerusuhan tersebut merupakan buntut dari dipecatnya Mayor Alfredo beserta sejumlah rekannya dari militer.
Untuk mengalihkan isu yang sebenarnya, maka bekas perdana menteri Alkatiri dengan entengnya menuduh Indonesia berada di balik kerusuhan Dili tersebut. Namun, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam Alkatiri, akhirnya Perdana Menteri Timor Leste itu membela diri. Intinya, ia menyangkal telah menunjuk Indonesia berada di belakang kekerasan yang terjadi di Timor Leste tersebut.
Untuk menghindari adanya tuduhan lagi, langkah TNI dalam meningkatkan penjagaan di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste patut didukung. Bagaimanapun, masuknya pelarian pemberontak Timor Leste ke Indonesia harus dicegah. Indonesia tak ingin dituduh lagi hanya karena lengah membiarkan Mayor Alfredo dan kawan-kawan menyusup ke wilayah perbatasan Indonesia.
Yeni Maryani Kampung Narogong Kecamatan Klapanunggal, Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo