Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Masyarakat adat yang tinggal di titik-titik eksplorasi panas bumi di Flores menentang ambisi menjadi Pulau Geotermal.
Pemerintah dan perusahaan diduga tak transparan mengenai risiko yang ditimbulkan.
Ada campur tangan Keuskupan Ruteng.
NADA bicara Yosef Erwin Rahmat langsung meninggi saat mengutarakan argumennya untuk menolak proyek pembangkit geotermal di desanya. Tokoh masyarakat adat Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu menyampaikan pandangannya yang berbeda dengan perusahaan yang merasa cukup mengganti rugi tanah warga yang digusur. “Bagi kami, perkampungan adat, lahan pertanian-perkebunan, mata air, tempat-tempat adat, hutan, dan danau itu adalah kesatuan utuh ruang hidup," katanya melalui sambungan telepon, Kamis, 25 November lalu.
Sikap keras Yosef bukan tanpa sebab. Ia dan warga Wae Sano lain merasa aspirasi mereka tak diperhatikan. Pada 2017, ketika berlangsung konsultasi pertama, masyarakat tidak menolak karena perusahaan hanya akan melakukan eksplorasi. Saat itu, Yosef mengungkapkan, perusahaan tak pernah menyebutkan ihwal relokasi desa. Masyarakat mulai curiga pada 2018, saat perusahaan menentukan titik-titik sumur bor dan instalasi proyek, seperti tempat pembuangan limbah yang sangat dekat dengan permukiman dan fasilitas umum. Kini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ngotot melakukan eksplorasi mulai tahun depan.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wae Sano dimulai dari ambisi Kementerian Energi menjadikan Flores sebagai “Pulau Geotermal”. Pulau ini memiliki potensi energi panas bumi sebesar 902 megawatt (MW) atau 65 persen dari total potensi panas bumi di Nusa Tenggara Timur. Ada 16 lokasi panas bumi yang tersebar dari Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Ndetusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma-Ujelewung, hingga Oyang Barang.
PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)—badan usaha milik negara di bawah Kementerian Keuangan—pengelola dana hibah Geothermal Energy Upstream Development Project sebesar US$ 55 juta dari Bank Dunia, ditunjuk sebagai pelaksana proyek. PT Geo Dipa Energi bergabung belakangan. PT SMI menentukan lokasi sumur bor (WS) di Wae Sano di tiga kampung adat: WS-A terletak di Lempe; WS-B, WS-B1, dan WS-B4 di Nunang; serta WS-D dan WS-E (alternatif) di Dasak.
Di Kampung Lempe, jarak titik bor dengan mata air hanya 20 meter dan jarak instalasi pembuangan limbah dengan rumah warga hanya 150 meter. Di Kampung Dasak, jarak titik bor dengan tempat pembuangan limbah hanya 50 meter dari sekolah. Adapun di Kampung Nunang, jarak titik bor dengan compang takung (rumah adat) hanya 30 meter, 10 meter dari kantor desa, dan tak lebih dari 50 meter dari permukiman.
Hal yang membuat masyarakat adat kian ketar-ketir adalah kejadian yang menimpa warga di dekat PLTP Mataloko di Ngada dan PLTP Ulumbu di Manggarai. "Kami sudah mendengar informasi bagaimana (PLTP) Mataloko bermasalah dan menjadi bencana. (PLTP) Ulumbu juga tidak berdampak positif bagi masyarakat," tutur Yosef. Peristiwa semburan gas PLTP Sorik Marapi di Desa Sibanggor Julu, Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menelan korban jiwa lima orang pada 25 Januari lalu, makin membuat warga Wae Sano khawatir.
Menurut peneliti Sunspirit for Justice and Peace, Venansius Haryanto, penolakan warga Wae Sano yang terbesar adalah terhadap isi dokumen Geothermal Energy Upstream Development Program yang menjabarkan rencana pengelolaan lingkungan dan sosial, juga rencana aksi pembebasan lahan dan pemukiman kembali. "Mereka sudah nyaman tinggal di sana, dan memindahkan mereka sama saja dengan mencerabut mereka dari akar budaya, sosial, sejarahnya," ucap Venansius, Selasa, 23 November lalu.
Rencana PT SMI, Venansius melanjutkan, adalah masyarakat akan digusur ke lokasi Hutan Mbeliling yang berjarak 1 kilometer di belakang desa. Mbeliling adalah hutan terluas di Flores yang statusnya meliputi 7.240 hektare hutan lindung, 4.180 hektare hutan konservasi, dan 12 ribu hektare hutan produksi terbatas. Menurut Venansius, hutan ini memiliki tiga peran penting, yaitu sumber air bersih bagi masyarakat di Pulau Flores, daerah resapan untuk menahan tanah longsor, dan wilayah konservasi.
Menurut catatan Yayasan Burung Indonesia pada 2019, Hutan Mbeliling merupakan habitat bagi lima burung endemis Flores, yakni elang Flores (Nisaetus floris), serindit Flores (Loriculus flosculus), kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), gagak Flores (Corvus florensis), dan celepuk Flores (Otus alfredi). Dari 272 jenis burung di Flores, sebanyak 171 di antaranya mendiami Hutan Mbeliling. Elang Flores dan celepuk Flores, misalnya, masuk Daftar Merah Spesies yang Terancam Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status kritis.
Persoalan lain adalah letak geografis Wae Sano yang berada di lembah cenderung akan memerangkap penduduknya bila gas beracun keluar dari pembangkit panas bumi. Risiko makin besar jika kejadian tersebut berlangsung pada malam hari, ketika warga terlelap. Itu belum menghitung risiko pencemaran sumber air dari limbah pembangkit dan penyakit gangguan pernapasan yang disebabkan oleh paparan gas asam sulfida.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo