Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menolak Jadi Tumbal Proyek Geotermal

Masyarakat adat Wae Sano di Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, menolak proyek geotermal. Ruang hidup masyarakat adat menjadi tumbal. 

27 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat adat yang tinggal di titik-titik eksplorasi panas bumi di Flores menentang ambisi menjadi Pulau Geotermal.

  • Pemerintah dan perusahaan diduga tak transparan mengenai risiko yang ditimbulkan.

  • Ada campur tangan Keuskupan Ruteng.

NADA bicara Yosef Erwin Rahmat langsung meninggi saat mengutarakan argumennya untuk menolak proyek pembangkit geotermal di desanya. Tokoh masyarakat adat Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu menyampaikan pandangannya yang berbeda dengan perusahaan yang merasa cukup mengganti rugi tanah warga yang digusur. “Bagi kami, perkampungan adat, lahan pertanian-perkebunan, mata air, tempat-tempat adat, hutan, dan danau itu adalah kesatuan utuh ruang hidup," katanya melalui sambungan telepon, Kamis, 25 November lalu.

Sikap keras Yosef bukan tanpa sebab. Ia dan warga Wae Sano lain merasa aspirasi mereka tak diperhatikan. Pada 2017, ketika berlangsung konsultasi pertama, masyarakat tidak menolak karena perusahaan hanya akan melakukan eksplorasi. Saat itu, Yosef mengungkapkan, perusahaan tak pernah menyebutkan ihwal relokasi desa. Masyarakat mulai curiga pada 2018, saat perusahaan menentukan titik-titik sumur bor dan instalasi proyek, seperti tempat pembuangan limbah yang sangat dekat dengan permukiman dan fasilitas umum. Kini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ngotot melakukan eksplorasi mulai tahun depan.

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wae Sano dimulai dari ambisi Kementerian Energi menjadikan Flores sebagai “Pulau Geotermal”. Pulau ini memiliki potensi energi panas bumi sebesar 902 megawatt (MW) atau 65 persen dari total potensi panas bumi di Nusa Tenggara Timur. Ada 16 lokasi panas bumi yang tersebar dari Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Ndetusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma-Ujelewung, hingga Oyang Barang.

PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)—badan usaha milik negara di bawah Kementerian Keuangan—pengelola dana hibah Geothermal Energy Upstream Development Project sebesar US$ 55 juta dari Bank Dunia, ditunjuk sebagai pelaksana proyek. PT Geo Dipa Energi bergabung belakangan. PT SMI menentukan lokasi sumur bor (WS) di Wae Sano di tiga kampung adat: WS-A terletak di Lempe; WS-B, WS-B1, dan WS-B4 di Nunang; serta WS-D dan WS-E (alternatif) di Dasak.

Di Kampung Lempe, jarak titik bor dengan mata air hanya 20 meter dan jarak instalasi pembuangan limbah dengan rumah warga hanya 150 meter. Di Kampung Dasak, jarak titik bor dengan tempat pembuangan limbah hanya 50 meter dari sekolah. Adapun di Kampung Nunang, jarak titik bor dengan compang takung (rumah adat) hanya 30 meter, 10 meter dari kantor desa, dan tak lebih dari 50 meter dari permukiman.

Hal yang membuat masyarakat adat kian ketar-ketir adalah kejadian yang menimpa warga di dekat PLTP Mataloko di Ngada dan PLTP Ulumbu di Manggarai. "Kami sudah mendengar informasi bagaimana (PLTP) Mataloko bermasalah dan menjadi bencana. (PLTP) Ulumbu juga tidak berdampak positif bagi masyarakat," tutur Yosef. Peristiwa semburan gas PLTP Sorik Marapi di Desa Sibanggor Julu, Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menelan korban jiwa lima orang pada 25 Januari lalu, makin membuat warga Wae Sano khawatir.

Menurut peneliti Sunspirit for Justice and Peace, Venansius Haryanto, penolakan warga Wae Sano yang terbesar adalah terhadap isi dokumen Geothermal Energy Upstream Development Program yang menjabarkan rencana pengelolaan lingkungan dan sosial, juga rencana aksi pembebasan lahan dan pemukiman kembali. "Mereka sudah nyaman tinggal di sana, dan memindahkan mereka sama saja dengan mencerabut mereka dari akar budaya, sosial, sejarahnya," ucap Venansius, Selasa, 23 November lalu.

Rencana PT SMI, Venansius melanjutkan, adalah masyarakat akan digusur ke lokasi Hutan Mbeliling yang berjarak 1 kilometer di belakang desa. Mbeliling adalah hutan terluas di Flores yang statusnya meliputi 7.240 hektare hutan lindung, 4.180 hektare hutan konservasi, dan 12 ribu hektare hutan produksi terbatas. Menurut Venansius, hutan ini memiliki tiga peran penting, yaitu sumber air bersih bagi masyarakat di Pulau Flores, daerah resapan untuk menahan tanah longsor, dan wilayah konservasi.

Menurut catatan Yayasan Burung Indonesia pada 2019, Hutan Mbeliling merupakan habitat bagi lima burung endemis Flores, yakni elang Flores (Nisaetus floris), serindit Flores (Loriculus flosculus), kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), gagak Flores (Corvus florensis), dan celepuk Flores (Otus alfredi). Dari 272 jenis burung di Flores, sebanyak 171 di antaranya mendiami Hutan Mbeliling. Elang Flores dan celepuk Flores, misalnya, masuk Daftar Merah Spesies yang Terancam Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) dengan status kritis.

Persoalan lain adalah letak geografis Wae Sano yang berada di lembah cenderung akan memerangkap penduduknya bila gas beracun keluar dari pembangkit panas bumi. Risiko makin besar jika kejadian tersebut berlangsung pada malam hari, ketika warga terlelap. Itu belum menghitung risiko pencemaran sumber air dari limbah pembangkit dan penyakit gangguan pernapasan yang disebabkan oleh paparan gas asam sulfida.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLTP Ulumbu di Wewo, Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, 8 Oktober 2021/Ernest Teredi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penolakan juga terjadi terhadap proyek PLTP Ulumbu yang dikembangkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang, PLTP Ulumbu beroperasi berdasarkan surat keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi tertanggal 28 Oktober 2009. Pembangkit listrik ini diresmikan pada 11 November 2011. Pada 2013, tanggung jawab pengelolaan PLTP Ulumbu, yang memiliki lahan seluas 18.280 hektare, diserahkan ke PT Cogindo Daya Bersama, anak perusahaan PLN.

PLTP Ulumbu memiliki empat pembangkit yang masing-masing berkapasitas 2,5 megawatt dengan sumber panas bumi dari tiga sumur. Listrik yang dihasilkan mengalir ke sistem Ruteng. Kapasitas tersebut akan ditingkatkan menjadi 40 megawatt dengan mengembangkan eksplorasi ke wilayah-wilayah di sekitar PLTP Ulumbu. Salah satunya di lanskap Poco Leok, yang merupakan kawasan tiga desa, yakni Lungar, Mocok, dan Golo Muntas, yang terdiri atas 13 kampung adat.

Ernest L. Teredi, peneliti Anamnesis Indonesia yang juga warga Poco Leok, mengatakan sejak 2016 warga di tujuh kampung adat menolak rencana eksplorasi tersebut. Menurut Ernest, masyarakat Poco Leok belajar dari peristiwa 1991. Saat itu, penduduk sebuah kampung bernama Tantong dipindahkan ke lahan yang berjarak 1 kilometer dari lokasi semula. "Relokasi ini untuk kepentingan pembangunan PLTP Ulumbu, tanah mereka lepas. Saat ini kehidupan mereka tidak lebih baik," kata Ernest, Rabu, 17 November lalu.

•••

PADA 29 Mei 2021, Keuskupan Ruteng mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi rekomendasi terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Wae Sano, khususnya eksplorasi di WS-A. Yosef Erwin Rahmat sangat kecewa. "Kami melihat Keuskupan tidak konsisten melindungi dan memperjuangkan kami," ucapnya. Menurut dia, surat itu bukan yang pertama. Pada Juni 2020, Uskup Ruteng Monsinyur Siprianus Hormat menyampaikan keberatan warga Wae Sano atas proyek geotermal di sana. "Setelah itu, Uskup berdialog dengan presiden tanpa melibatkan kami," tuturnya.

Pada 2 Oktober 2020, Uskup Siprianus menandatangani nota kesepahaman dengan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lagi-lagi warga tak dilibatkan. Kedua lembaga itu terus bekerja sama hingga akhirnya membentuk Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi.

Vikaris Jenderal Keuskupan Ruteng Alfons Segar, melalui siaran pers pada 12 Juni lalu, menyatakan Keuskupan Ruteng mengutamakan dialog intensif yang transparan. Dalam siaran pers itu disebutkan pula Keuskupan Ruteng mendesak agar panas bumi dimanfaatkan dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan menjamin keselamatan masyarakat di Wae Sano.

Menurut Venansius Haryanto, sikap ini mempertegas pengabaian suara masyarakat. Ia mencatat, demi kelancaran proyek, warga dibuat berkonflik satu sama lain. Di lapangan, hanya masyarakat di tiga kampung di Wae Sano yang akan terkena dampak langsung, yaitu Dasak, Nunang, dan Lempe, yang menolak proyek. "Namun PT SMI dan pemerintah mendekati masyarakat kampung lain (tujuh kampung) untuk berpihak pada proyek," ujarnya.

Di Poco Leok, cara berbeda diterapkan oleh pelaksana proyek PLTP Ulumbu. Berbagai cara, dari pertemuan terbuka dengan semua tetua adat hingga pendekatan dari kampung ke kampung, tak membuahkan hasil. Para tetua adat bersepakat menolak proyek. "Terakhir, mereka melakukan pendekatan secara personal ke pemilik lahan," kata Ernest L. Teredi. Namun pendekatan mereka sembrono. Misalnya, ada yang langsung membabat pohon pisang dan pohon jambu serta membangun tenda tanpa izin adat dan pemilik tanah.

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar, yang ikut mengadvokasi masyarakat di Poco Leok, mengatakan tak ada rencana pemanfaatan tambang panas bumi untuk pembangkit yang murni berangkat dari kepentingan warga lokal. "Semua ditentukan dari Jakarta yang ujungnya untuk menjawab kebutuhan industri, bukan untuk masyarakat," ucapnya.

Sementara itu, masyarakat Wae Sano menduga proyek panas bumi ini akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan energi listrik di kawasan wisata super-premium Labuan Bajo dan Komodo. Namun dugaan itu segera dibantah oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana. Menurut Dadan, problem jarak membuat hitungan pengadaan listrik itu menjadi tidak ekonomis.

Dadan juga menjelaskan bahwa energi panas bumi adalah energi yang bersih, ramah lingkungan, dan dapat beradaptasi harmonis dengan alam. Ia memberi contoh lokasi proyek panas bumi Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang merupakan habitat hidup elang Jawa. "Terbukti hingga saat ini satwa-satwa tersebut dapat berkembang biak dengan baik," tuturnya.

Menurut Melky, energi panas bumi, yang pemanfaatannya menimbulkan konflik di masyarakat, tak dapat disebut sebagai energi yang “baik”. Ia mengatakan hampir di semua lokasi proyek panas bumi saat ini bermasalah. PLTP Sokoria di Kabupaten Ende, Nusa Tengara Timur; PLTP di Blawan, Ijen, Jawa Timur; PLTP Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah; dan PLTP Rimbo Panti di Pasaman, Sumatera Barat, adalah sedikit contoh yang disebutkan Melky.

PT Sarana Multi Infrastruktur dalam jawaban tertulis yang diterima Tempo pada Jumat, 26 November lalu, mengatakan sedang memperbarui desain teknis serta kajian dampak lingkungan dan sosial, juga menyiapkan pemberian kompensasi penggunaan lahan dan aspek teknis konstruksi. PT SMI juga menyatakan akan berkomunikasi dengan pihak penolak proyek geotermal. “Melakukan dialog yang sejajar dan transparan dengan pihak yang mengajukan keberatan terhadap proyek,” tulis Head of Corporate Secretary PT SMI Ramona Harimurti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus