Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN ini seharusnya Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati sudah berada di Paris. Bukan untuk jalan-jalan di Champ de Elysses, melainkan untuk merundingkan sebuah komitmen bantuan yang besar dari salah satu lembaga internasional untuk pembangunan Aceh. Namun, situasi Tanah Air yang memanas setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak membuat rencana itu ditunda. "Presiden minta saya siap di Jakarta," ujarnya.
Rekonstruksi Aceh jelas bakal menjadi proyek raksasa dalam lima tahun ke depan. Ibarat magnet, banyak orang ingin terlibat. Motifnya beragam: ada yang tulus membantu, tapi ada pula yang sekadar "mencari kesempatan". Tak jarang sebagai "koordinator" perencanaan pembangunan Aceh, Ani?begitu panggilan akrabnya?menemukan satu proyek yang diklaim lebih dari satu pihak. Potensi kebocoran juga ditemukannya di sana-sini.
Di tengah kesibukan mempersiapkan rencana rekonstruksi Aceh, Sri Mulyani menerima wartawan Tempo Arif Zulkifli, Hanibal W.Y. Wijayanta, Y. Tomi Aryanto, dan fotografer Bernard Chaniago, Kamis sore pekan lalu.
Bekas Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) itu tampak lebih ramping dari biasanya. Katanya, pekerjaannya mengurus Aceh dan bahan bakar minyak (BBM) telah membantunya mengurangi berat badan. "Kalau ada yang bilang saya lebih langsing, itu sebenarnya hanya untuk mengatakan kasihan," kata wanita kelahiran 26 Agustus 1962 itu.
Meski sibuk, ia tampak cerah dan sedikit modis. Dalam dua kali wawancara?terputus oleh jeda rapat Ani dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla?ia mengenakan dua busana: blus warna hijau cerah dan batik lengan panjang dengan kerah sanghai. "Di sini saya bahkan diberi ajudan khusus yang mengatur pakaian," tuturnya tersenyum.
Siapa yang menyusun cetak biru rekonstruksi Aceh?
Kerjanya simultan. Setelah Presiden meninjau dampak tsunami yang sangat dahsyat, yang terpikir kemudian adalah kebutuhan akan usaha rekonstruksi luar biasa. Rekonstruksi benar-benar bersifat fisik dan institusional karena masyarakat maupun lembaga pemerintah daerah semua terkena dampak. Jadi, kami langsung membuat kerja simultan dan tidak usah saling menunggu.
Dulu sempat akan dibuat badan otorita, lalu mengapa tidak jadi?
Diskusi tentang Badan Otorita Aceh muncul formal dalam proses politik. Lebih dari satu setengah bulan para menteri terserap perhatiannya hanya untuk Aceh. Lalu, muncul kebutuhan untuk membentuk Badan Otorita Aceh: badan setingkat menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Ia bisa mengkoordinasi menteri yang lain agar bisa melaksanakan tugasnya dengan efektif. Tapi ini menimbulkan beragam reaksi, terutama dari Aceh. Badan-badan di sana menolak.
Mereka takut badan otorita itu menghapus otonomi Nanggroe Aceh Darussalam?
Aceh memiliki otonomi khusus. Ada juga undang-undang tentang desentralisasi dan status darurat sipil hingga pertengahan tahun ini. Itu menimbulkan komplikasi. Majelis perwakilan umat, perwakilan adat, DPRD, dan Pemda Aceh merasa bakal tak memiliki fungsi jika badan otorita berdiri. Secara substansial, badan otorita telah dibatalkan dan sekarang diubah menjadi badan pelaksana. Idenya, badan ini semacam pemimpin proyek besar urusan teknis dan manajemen. Masa tugasnya maksimum tiga tahun, tapi bisa diperpanjang. Dia bertanggung jawab ke presiden.
Apakah penolakan juga datang dari TNI?
Sejauh ini tidak.
Untuk membangun Aceh dengan efektif, mana yang lebih baik, badan otorita atau badan pelaksana?
Tergantung bentuk badannya. Kalau mau efisien dan efektif, mestinya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Tapi, untuk menghindari benturan politik, badannya diputuskan lebih rendah saja, yakni penetapan presiden (penpres). Tapi, jika DPR konsisten atas permintaannya dulu (membentuk badan otorita), perpu sebenarnya tidak bermasalah.
Ada kesan pemerintah lambat menangani Aceh?
Saya keberatan jika dinilai lambat. Dunia internasional sangat memberi apresiasi. Terlebih jika melihat besarnya korban dan kerusakan yang ditimbulkan. Kami dengan cepat menangani situasi darurat. Bahkan kami dianggap ambisius karena melakukan perencanaan dalam waktu tiga bulan. Banyak negara donor mengatakan akan membantu perencanaan. Tapi bagaimana membantu perencanaan, wong perencanaan sudah mau selesai.
Di lapangan, kesannya pemerintah jalan sendiri-sendiri, juga TNI?
Begitu situasi darurat muncul, pemerintah meminta saya mendeskripsikan penanganan Aceh: masa darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Keadaan darurat itu 12 bulan terhitung sejak mulainya bencana. Rehabilitasi mulai bulan keenam hingga tahun kedua. Rekonstruksi perlu lima tahun, terhitung mulai tahun pertama.
Ternyata itu berubah cepat. Kondisi darurat tak selama yang dibayangkan. Bahkan, sesudah satu bulan, masyarakat mulai terpenuhi makanan, obat-obatan, dan harapan mulai muncul. Permintaan rehabilitasi datang begitu cepat. Rehabilitasi lalu ditangani masing-masing sektor, juga oleh TNI. Untuk pekerjaan yang dikatakan sementara itu, pelaksanaannya mirip rekonstruksi.
Apakah TNI menggunakan anggaran sendiri?
Sekarang tagihan dari polisi, TNI, Departemen Pekerjaan Umum, dan yang lain-lain mulai masuk. Menteri Keuangan mulai pusing karena ia harus merevisi APBN. Pos itu tak mungkin ditutup dengan anggaran bencana 2005 yang hanya Rp 2 triliun. Sekarang Menteri Keuangan minta Bappenas mengkonsolidasi agar revisi bujet bisa segera disampaikan ke DPR.
Mungkinkah TNI atau sebuah departemen mengambil uang bantuan dari negara luar secara langsung?
Variasinya luar biasa. Banyak lembaga kita yang bingung bagaimana memakai uangnya. PMI atau Palang Merah Internasional (ICRC) sepanjang sejarah belum pernah mempunyai uang tunai US$ 400 juta yang harus dihabiskan. Donor paling aman memberikannya ke NGO. Mereka lalu datang ke Bappenas agar bisa menghabiskan uang. Saya katakan, kita samakan saja dengan perencanaan pemerintah.
Pembangunan jembatan balley oleh TNI kabarnya sempat ramai. Ada apa?
Ada 118 jembatan yang harus dibangun. Antara Lhok Nga dan Banda Aceh ada 11 titik. Tiba-tiba saya ditelepon Departemen Pekerjaan Umum, Menteri Koordinator Kesra Alwi Shihab, TNI, dan World Food Program. Mereka bilang soal sumbangan 11 jembatan. Saya bilang bagus, dan saya hanya mencatat. Tiba-tiba saya mendapat surat dari Duta Besar Belanda. Ia mengatakan mau menyumbang gratis jembatan serupa. Lho, ini kan jembatan di lokasi yang sama, jembatannya sama, dari supplier yang sama, bagaimana ini? Untungnya, semuanya mengecek ke Bappenas. Saya bertanya ke Duta Besar Belanda, apakah ini benar-benar gratis. Jawabnya ya. Ini komitmen dari NATO dan Uni Eropa. Terus saya bilang ke Dubes Belanda, saya minta surat bahwa sumbangan ini gratis. Angkanya persis. Surat ini yang saya pakai untuk mengatakan ke menteri lain, "hei jangan klaim ini, ya".
Bagaimana kelak badan pelaksana mengatasi hal seperti itu?
Pertama, ia dilengkapi sistem informasi dan perencanaan. Termasuk juga detail assessment yang akurat. Jika badan itu punya kewenangan, kepemimpinan, dan kredibilitas, dia tentu diterima masyarakat, pemerintah, dan TNI.
Kapan badan pelaksana mulai bekerja?
Presiden meminta agar master plan diselesaikan pertengahan Maret. Tapi agaknya susah menyelesaikan pertengahan Maret. Proses menulis dan membuat laporan mungkin baru minggu ketiga. Jadi, akhir bulan inilah. Juni, badan itu sudah harus ada.
Berapa dana riil yang diperlukan untuk Aceh?
Dana riil itu seperti telur dan ayam. Donor mengatakan akan memberi konfirmasi jika sudah jelas perencanaannya.
Anda sendiri sudah punya rancangan berapa dana yang dibutuhkan?
Terus terang saya belum mendapat nilai konsolidasinya. Yang sekarang muncul bersifat sporadis. Beberapa yang besar sudah kita pegang. Jepang masih akan melihat komitmen yang ia taruh dalam Consultative Group on Indonesia (CGI). Jepang sudah memberikan US$ 147 juta tunai langsung. Australia dan Uni Eropa sudah pasti angkanya. Belum lagi Inggris, Belgia, dan banyak lagi. AS memberikan US$ 400 juta dan telah disetujui Kongres.
Dari sekian bantuan itu, mana yang bantuan murni dan mana yang berupa utang?
Sebagian besar utang, seperti dari Inggris dan Amerika Serikat. Australia separuh hibah, separuh lagi utang. Jepang sebagian hibah. Ada hibah dari Bank Pembangunan Asia sebesar US$ 300 juta-400 juta.
Bisakah bantuan itu dialihkan ke provinsi lain?
Secara politis tidak elok. Secara teknis, jika sudah masuk ke APBN, sangat sulit untuk melihat apakah uang itu benar-benar untuk Aceh atau tidak. Kecuali secara agregat, misalnya Aceh dicadangkan dana sekian.
Benarkah dalam soal Aceh, hubungan Presiden-Wakil Presiden kurang harmonis?
Saya justru melihat beliau berdua saling melengkapi.
Kepada siapa Anda lebih suka melaporkan pekerjaan soal Aceh?
Kami sebagai menteri memang memiliki judgement sendiri. Bukan soal mana lebih disukai, tapi ada prosedur yang kadang sedikit lebih rumit terkait dengan kesibukan Presiden, sementara Wakil Presiden yang lebih aktif dan lebih mudah. Tapi, dalam setiap sidang kabinet, Presiden selalu menyatakan secara eksplisit agar beberapa hal dilaksanakan langsung oleh Wakil Presiden.
Jadi, persoalan itu tidak ada?
Setiap laporan yang kami sampaikan ke Wakil Presiden akan dibahas juga dengan Presiden, cepat atau lambat. Di antara mereka pun pasti lebih dari lima kali saling telepon dalam sehari.
Beralih ke soal BBM, berapa dana yang diperoleh dari pemotongan subsidi itu, dan berapa yang dialihkan menjadi dana kompensasi?
Pengurangan subsidi Rp 20 triliun. Tapi yang betul-betul keluar untuk realokasi dan kompensasi Rp 10,5 triliun. Itu terbagi, untuk beasiswa pendidikan Rp 4,134 triliun, dan Rp 1,176 triliun untuk kesehatan. Yang besar lagi untuk pembangunan infrastruktur desa tertinggal Rp 3,3 triliun.
Berapa yang bisa diserap tahun ini?
Saya optimistis beasiswa relatif cepat karena sistemnya mapan dan sudah dilakukan sebelumnya. Tingkat suksesnya sangat tinggi, dan kesalahan target relatif rendah. Memang ada kerawanan. Semua program ini akan lebih banyak dilakukan di daerah tingkat II, dan jangan lupa, kita akan melakukan pemilihan kepala daerah. Jadi, para bupati memiliki godaan untuk menggunakan dana ini sebagai alat. Tapi sebetulnya untuk pendidikan dan kesehatan relatif ultra-ketat pengawasannya. Dana kompensasi untuk infrastruktur ditujukan pada 11 ribu desa. Jadi, nanti desa miskin yang dapat, dan ada yang tidak. Jadi di sini bupati akan memilih mana yang dapat, mana yang tidak. Hal ini bisa jadi rawan kalau dikombinasikan dengan pemilihan kepala daerah.
Mengapa hanya 11 ribu desa?
Tadinya 26 ribu desa, masing-masing mendapat Rp 125 juta. Tapi jumlah uang segitu sangat kecil untuk membangun infrastruktur, sehingga dinaikkan menjadi Rp 300 juta per desa. Akibatnya, jumlah desanya yang dikurangi.
Sisa dana kompensasi lainnya untuk apa?
Dari Rp 20 triliun, setelah diambil Rp 10,5 triliun untuk mengurangi defisit, dipakai untuk Aceh. Kita ingin defisit lebih kecil karena dalam jangka menengah kita berencana menurunkan utang. Defisit kita Rp 30 triliun itu artinya pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Jumlah itu harus didanai, misalnya dengan utang baru.
Bagaimana dengan subsidi kesehatan?
Kesehatan itu pakai asuransi. Menurut data sensus sosial dan ekonomi nasional (Susenas, 2003), ada 36 juta penduduk miskin. Mereka yang layak mendapatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan gratis. Caranya berobat, mereka harus ke puskesmas atau rumah sakit kelas III. Semua biaya pengobatan diganti oleh Asuransi Kesehatan (Askes). Premi asuransi Rp 5.000 per bulan itulah yang dibayar pemerintah. Total biaya premi Rp 2,1 triliun.
Dr Sri Mulyani Indrawati
Lahir:
- Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962
- 1981-1986 Universitas Indonesia, Jakarta, Sarjana Ekonomi
- 1988-1990 University of Illinois Urbana-Champaign, USA, Master of Science of Policy Economics
- 1990-1992 University of Illinois Urbana-Champaign, USA, Ph.D of Economics
- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu
- Executive Director IMF mewakili 12 negara Asia Tenggara (2002-2004)
- Konsultan USAid di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (2001-2002)
- Dewan Ekonomi Nasional (1999-2001)
- Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE-UI), Juni 1998-2001
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo