Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI gedung DPR Senayan, Kamis malam lalu, Indra Setiawan seakan-akan hadir seorang diri menghadapi ratusan wartawan. Berkali-kali ia memanggil anak buahnya, tapi sang anak buah justru meninggalkan ruang sidang satu per satu. Sekali lagi Direktur Utama PT Garuda Indonesia itu mencoba. Kali ini ia minta Direktur Operasi, Kapten Rudy A. Hardono, mendampinginya. Rudy, yang hanya berjarak tak sampai lima meter dari bosnya, seperti tak hirau. Ia sibuk bersalaman dengan satu-dua wakil rakyat dan beberapa wartawan. Semenit kemudian ia tak tampak lagi di ruang milik Komisi III DPR itu.
Direktur Perencanaan dan Strategi Garuda, Wiradharma Oka, sama saja. Ia bahkan lebih dulu menghilang. Hal yang sama juga diam-diam dilakukan juru bicara perusahaan, Pujobroto, yang lebih memilih mengatur soal-soal teknis konferensi pers yang digelar seusai rapat dengan tim gabungan DPR untuk Kasus Munir. Tinggallah Indra sendirian menghadapi lampu sorot puluhan kamera televisi, jepretan juru foto yang tak henti-henti, dan lebih banyak lagi alat perekam di meja.
Akhirnya Indra ?menyerah?. Setelah sadar tak seorang pun anak buahnya mau mendampingi, dia mulai memberikan keterangan tentang kasus pembunuhan aktivis hak asasi Munir. Tak jauh dari tempatnya duduk, tepatnya tiga meja di belakang Indra, ada Ramelgia Anwar, Wakil Direktur Bidang Keamanan Perusahaan, yang juga banyak ditanya soal pembunuhan Munir. Sesekali Indra sampai harus memutar badan untuk bisa menunjuk pada Ramelgia, ketika memberikan keterangan menyangkut anak buahnya itu.
Indra lama bertahan di DPR. Setengah jam lagi tengah malam, dan Indra masih juga belum selesai. Dia telah berbicara hampir tanpa henti selama sekitar satu jam. Para wartawan mulai memperlihatkan gelagat bosan dengan keterangan bos Garuda Indonesia yang terus diulang-ulang. Tapi Indra tak putus asa. Ada banyak klarifikasi dia sampaikan.
Maklum saja. Berita di media massa, sejak Senin pekan lalu, ketika ia diperiksa tim pencari fakta di Markas Besar Polri, begitu menyudutkannya. Meski tak langsung menuding, aneka pernyataan jelas mengarah kepadanya: ada indikasi Indra dan beberapa bawahannya terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir pada 7 September lalu dalam penerbangan GA 974 dari Singapura ke Amsterdam.
Munir meninggal di atas langit Hungaria, hanya dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandar Udara Schipol, Belanda. Nyawanya melayang akibat racun arsenik yang menjalari tubuhnya. Dokter dan tim dari Lembaga Forensik Belanda (NFI) Amsterdam, yang mengotopsi jenazah Munir, menemukan timbunan racun warangan dalam darahnya. Kandungan itu mencapai 3,1 miligram per liter. Padahal, ambang batas yang bisa ditoleransi tubuh manusia hanya 1,7 miligram per liter. Di lambungnya masih tersisa 465 miligram lagi yang belum tercerna. Setelah masuk lambung, racun sebanyak itu hanya butuh waktu beberapa jam untuk membunuh Munir.
Kemungkinan racun itu masuk sebelum Munir meninggalkan Jakarta dibantah oleh Suciwati, istrinya. ?Apa yang dimakan dan diminum Munir di Bandara Soekarno-Hatta juga saya konsumsi,? katanya. ?Kalau ada apa-apa, saya pasti ikut kena.? Seorang sumber di Garuda membisikkan, racun itu masuk melalui makanan yang disajikan untuk Munir di pesawat dari Jakarta menuju Singapura.
Indra Setiawan tentu tak ingin namanya dikait-kaitkan dengan pembunuhan keji itu. Dia tak membuang kesempatan berbicara malam itu. Suasana hati Indra agak berbeda dengan ketika dia diperiksa di Markas Besar Polri, Senin pekan lalu. Ketika itu, jangankan memberikan keterangan yang runtut kepada pers, ia masih tampak panik dengan cecaran pertanyaan yang dilontarkan para pemeriksa. Tak hanya suaranya yang bergetar setiap memberikan jawaban, tapi juga badannya tak henti bergerak menyembunyikan cemas, menurut sumber yang memeriksanya.
Ia sudah berada di mobilnya yang berpendingin kuat ketika para wartawan tetap memburunya, tapi keringat seperti tak henti bercucur di wajahnya, membasahi kerah baju, hingga tembus sampai lengan-lengan jasnya. ?Saya tak menduga akan jadi ruwet begini,? kata Indra Setiawan ketika diwawancarai Tempo pada Jumat pekan lalu. Situasi makin tak menentu bagi Indra. Sebab, tiga hari setelah pemeriksaan di Markas Besar Polri, tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?pada 23 Desember lalu?melaporkan temuannya ke Istana.
Seusai bertemu Presiden, Ketua TPF Brigadir Jenderal Polisi Marsudhi Hanafi mengatakan bahwa pihaknya berkesimpulan pembunuhan Munir merupakan kejahatan konspiratif. ?Kami tidak menemukan indikasi pembunuhan ini dilakukan perseorangan dengan motif pribadi,? katanya dalam jumpa pers bersama Wakil Ketua TPF Asmara Nababan dan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Anggota TPF yang ikut bertemu Presiden adalah Hendardi, Usman Hamid, dan Dokter Mun?im Idris. ?Dari dua kali pertemuan, ada indikasi kuat keterlibatan anggota direksi dan oknum Garuda, baik secara langsung maupun tidak,? Marsudhi menambahkan.
Bukti yang dimaksud antara lain tiga lembar surat yang dikeluarkan Garuda yang dianggap penuh kejanggalan. Satu ditandatangani sendiri oleh Indra, yang kedua oleh Ramelgia Anwar, dan satu lagi sebuah nota yang diteken sekretaris kepala pilot Airbus 330, Rohainil Aini. Semuanya berhubungan dengan satu orang, yakni pilot bernama Pollycarpus Budihari Priyanto.
Nama Pollycarpus sendiri sejak awal sudah disebut-sebut terkait dengan kasus Munir. Pilot pesawat Airbus 330 yang sudah 19 tahun berkarier di Garuda ini diketahui beberapa kali mencoba menghubungi Munir sebelum keberangkatannya ke Belanda untuk melanjutkan studi. ?Nomornya bahkan tercatat masuk ke telepon seluler Munir hanya seperempat jam sebelum boarding,? kata sumber kepolisian.
Tak hanya mendekati Munir, dengan modus yang sama, Polly juga mencoba mendekati Hendardi dan Yenny Rossa Damayanti, dua aktivis lain yang dikenal vokal (lihat Rachland Nashidik: Tongkat Sudah Mengarah ke Atas). ?Pernah ia datang ke kantor masih dengan seragam pilot lengkap. Tujuannya tak jelas, dan sering hanya bicara ngelantur tentang ini-itu,? kata Hendardi beberapa waktu lalu.
Pilot yang pernah bergabung sebagai penerbang Associated Mission Aviation di Sentani, Papua, ini semakin santer disebut lantaran dialah yang memberikan kursinya yang bernomor 03K di kelas bisnis kepada Munir, yang hanya mengantongi tiket ekonomi kursi nomor 40 G. Berbeda dengan keterangan Polly kepada media maupun polisi, seorang saksi lain yang diperiksa mengatakan sempat melihat Polly dan seorang penumpang pria lain tengah duduk ngobrol bersama Munir di dekat kedai kopi ketika pesawat transit di Bandara Changi, Singapura.
Dalam pertemuan dengan Tempo, yang datang ke rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang, beberapa waktu lalu, Polly membantah keras semua dugaan menyangkut dirinya itu. Dengan bersumpah ia juga menolak kabar yang mengatakan ia merupakan seorang agen dari sebuah lembaga intelijen. Ia juga menolak tudingan bahwa dia diberi senjata, lengkap dengan surat izin penggunaannya. Pada Kamis malam pekan lalu, Tempo menemuinya lagi di ruang rapat Komisi III DPR, sebelum pertemuan dimulai. Kali ini ia menolak sama sekali berkomentar tentang kasusnya, dan lebih suka bercerita tentang kecelakaan kendaraan yang baru saja ia alami.
Marsudhi maupun anggota TPF lain memang tak pernah menyebut secara eksplisit nama Polly. Tapi tiga salinan surat yang mereka rujuk dan dimiliki Tempo jelas sekali menyebut nama pilot ini. Surat yang ditandatangani Indra Setiawan adalah surat penugasan bertanggal 11 Agustus 2004. Bagi TPF dan tim gabungan DPR, tak lazim penunjukan seorang pilot untuk menjadi tenaga bantuan di unit keamanan perusahaan ditandatangani langsung oleh direktur utama. ?Ini hanya satu-satunya, tak pernah ada surat lain seperti itu. Ini aneh,? kata Slamet Effendi Yusuf, wakil ketua tim DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Surat kedua yang dikeluarkan Ramelgia Anwar membuat kecurigaan para anggota TPF memuncak. Surat itu mencantumkan tanggal 4 September, dua hari sebelum pesawat yang ditumpangi Munir terbang. Tanggal itu jatuh pada hari Sabtu, tatkala kantor Garuda tutup dan tak mungkin mengeluarkan surat sejenis itu. Belakangan terungkap, setelah melalui proses interogasi polisi, ternyata surat itu sebenarnya dibuat pada 15 September, dan baru ditandatangani Ramelgia pada 17 September. Artinya, sepekan lebih setelah Munir meninggal.
?Ada dua kemungkinan dengan surat yang dibuat antidatum (dimajukan tanggalnya) itu,? kata Munarman, salah satu anggota TPF. ?Pertama karena administrasi Garuda yang amburadul. Atau memang merupakan kesengajaan untuk menutupi fakta tertentu yang terkait dengan pembunuhan Munir.?
Tak seperti saat ia diperiksa oleh TPF, Indra sudah lebih siap ketika harus memberikan keterangan di DPR. Ia mengatakan bahwa penanggalan surat yang dibuat maju itu hanya merupakan perkara administrasi biasa. Tujuannya untuk keperluan pengakuan atas biaya yang timbul dari perjalanan ?dinas? Polly ke Singapura pada 6 September itu (lihat Indra Setiawan: Kalau Konspirasi, Pasti Lebih Rapi). ?Memang, pemajuan tanggal itu bisa tidak dilakukan. Ramelgia sudah mengakui kesalahan itu. Tapi ini kan hanya soal ad-ministrasi. Kenapa dihubungkan dengan pembunuhan?? katanya.
Ramelgia sendiri menolak mengomentari keterangan bosnya. Kepada Tempo, dia menyesalkan kenapa tudingan miring begitu cepat diarahkan. ?Ini sangat merepotkan saya, terutama di depan keluarga. Saya minta mereka tak begitu saja percaya pada kabar yang tidak benar itu. Proses masih berjalan di polisi, kenapa sudah ada kesimpulan begitu?? ia mengeluh.
Selembar lagi surat masih dimiliki TPF untuk memperkuat dugaan mereka tentang ketidakberesan di Garuda. Nota bertanggal 6 September itu diteken oleh Rohainil Aini. Sebagai sekretaris, staf administrasi ini jelas bukan orang yang memiliki wewenang menandatangani surat berisi perubahan jadwal terbang bagi Pollycarpus. Otoritas itu ada pada kepala pilot Airbus 330, Kapten Karmel S., yang ketika itu tengah bertugas ke luar negeri.
Dalam pemeriksaan, terungkap bahwa Polly datang ke kantor pusat Garuda di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, menemui Rohainil hari itu pada pukul 16.30. Menjelang tutup kantor itu Polly mendesak agar diberi surat ?pengubahan jadwal? terbang, agar ia bisa ikut naik pesawat GA-974 menuju Singapura, dan kembali ke Jakarta dengan penerbangan paling pagi. Tak ada yang diubah sebenarnya, karena tak ada jadwal awal yang tercantum di situ.
Tentang surat ini, Indra mengakui tak semestinya Rohainil menandatanganinya. Ia mengatakan bahwa sekretaris itu melakukannya karena Polly berjanji akan menghubungi sendiri kepala pilot untuk meminta izin. ?Kadang-kadang itu dilakukan. Memang akan menjadi masalah kalau jadinya begini,? katanya.
Tapi tak semua setuju dengan jawaban Indra, termasuk Kapten Rudy A. Hardono. Beberapa anggota TPF mengatakan bahwa di depan tim, Rudy dengan jelas mengatakan Polly telah terbang tanpa izin. Bahkan karena itu Rudy telah memberikan sanksi skors pada pilot itu. Sayang, Rudy yang ditemui Tempo saat rapat di DPR itu hanya tersenyum dan memilih bungkam. ?Tanya Pak Indra saja,? katanya.
Rudy memang tak bicara. Tapi caranya memilih tempat duduk di belakang para anggota Dewan, dan membiarkan Indra Setiawan ?kesepian? di meja seberang, juga sendirian menghadapi serbuan wartawan, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo