Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ini Lebih dari Sekadar Urusan Uang

Rutinitas joging dan renang lima kali sepekan Budi Gunadi Sadikin hilang total dalam beberapa bulan terakhir. Waktu Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)--dikenal dengan Inalum--itu habis untuk mengurus divestasi saham PT Freeport Indonesia. Walhasil, bobot pria 54 tahun asal Bogor, Jawa Barat, itu membengkak.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Budi Gunadi Sadikin -TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama proses berlangsung, Budi wira-wiri menemui para menteri yang terlibat, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. ”Saya pesuruh ketiganya,” kata mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk itu di kantornya di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, Senin pekan lalu.

Menurut Budi, tugas terberatnya sebagai pemimpin holding BUMN industri pertambangan itu bukanlah menjembatani kepentingan lintas kementerian, tapi menjelaskan soal pembelian mayoritas saham perusahaan tambang tembaga dan emas di Mimika, Papua, tersebut kepada pihak nonpemerintah. Dia mesti menemui satu per satu penentang rencana itu untuk menjelaskan tujuan divestasi saham. ”Ini yang menghabiskan banyak sekali waktu,” ucap alumnus Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung itu.

Pada Kamis sore dua pekan lalu, Budi bisa bernapas lega. Inalum dan Freeport-McMoRan akhirnya meneken kesepakatan jual-beli saham Freeport Indonesia. Dengan penandatanganan itu, pemerintah melalui Inalum menguasai 51 persen saham dengan cadangan emas mencapai 33,8 juta ounce (992,2 ton) tersebut. Dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus, Khairul Anam, dan Angelina Anjar, Budi menjamin seluruh proses divestasi dilakukan serapi mungkin. ”Yang kami lakukan ini murni yang terbaik,” ujarnya.

Dengan menguasai mayoritas saham Freeport Indonesia, menurut Budi, ada tiga keuntungan yang didapat Indonesia. Pertama, tambang Freeport menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Papua. Kedua, tambang Freeport bisa menjadi pusat industri hilir berbasis mineral. Ketiga, tambang Freeport yang merupakan tambang bawah tanah terbesar serta terkompleks di dunia itu dapat menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi tambang bawah tanah dunia.

Bagaimana Anda menjembatani pemikiran Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN sejak divestasi dimulai tahun lalu?

Saya bukan jembatan, melainkan pesuruh ketiganya, ha-ha-ha.... Transaksi ini sangat high profile. Sudah direncanakan 50 tahun tapi tidak pernah bisa terjadi. Kami beruntung sekali seluruh tim yakin bahwa transaksi ini harus dijalankan. Dari Presiden Joko Widodo hingga menteri-menteri memiliki pandangan yang sama bahwa transaksi ini harus dilaksanakan. Pemerintah kompak. Buat kami, pesuruhnya, jadi enak. Kalau tidak, berat buat saya menjalaninya.

Adakah momen tertentu saat persepsi lingkup internal pemerintah tidak sejalan?

Ada beberapa. Selain ketiga menteri tadi, kan ada Bu Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Dinamikanya banyak, cerita lucunya banyak. Tapi dari atas sampai bawah ingin transaksi ini terjadi. Justru yang perlu dijembatani adalah pemerintah dengan nonpemerintah.

Mengapa?

Karena dari awal selalu memandang negatif. Jadi kami temui dan ajak mereka mengobrol. Banyak sekali yang kami ajak berdiskusi, mungkin lebih dari 20 kali pertemuan. Itu yang menghabiskan banyak waktu. Sampai sekarang pun belum semuanya yakin.

Anda menemui siapa saja?

Wartawan, pemimpin redaksi media, orang-orang media sosial, alumnus-alumnus universitas, politikus, aparat hukum, para ahli, dan sebagainya. Banyak orang yang belum tahu. Sedikit orang yang tidak mau tahu.

Siapa yang paling susah diberi pemahaman?

Orang yang tidak mau tahu. Kalau sudah tidak mau tahu kan susah. Akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa orang-orang ini tidak bisa ditangani. Yang penting kami berniat baik dengan memberikan penjelasan kepada mereka. Kalau orang yang belum tahu, selama kami transparan, mereka paham. Ketika ada yang menentang, pertanyaan saya adalah siapa orang Indonesia yang tidak suka Freeport kembali? Saya bertanya kepada sepuluh orang, ada sebelas orang yang menjawab suka. Hanya, mereka mempertanyakan, kok tidak transparan, kok panggungnya dipakai sendirian, semacam itu. Jadi ada rasa iri. Karena itu, semuanya kami temui, dari DPR, DPD, hingga KPK.

Pihak oposisi pemerintah juga?

Ya, kami temui.

Pertanyaan yang banyak muncul adalah kenapa pemerintah tidak menunggu saja hingga 2021 saat kontrak Freeport habis, sehingga bisa diambil alih secara gratis.…

Sampai sekarang pertanyaan itu memang masih ramai. Itu adalah keputusan pemerintah, bukan Inalum. Saat penandatanganan framework agreement pada Agustus 2017, pemerintah sudah mengambil posisi bahwa Freeport akan diberi perpanjangan kontrak hingga 2041 asalkan mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus, meningkatkan pendapatan negara, membangun smelter dalam lima tahun, dan divestasi saham 51 persen. Nah, Inalum diminta melakukan satu dari empat komponen itu, yakni divestasi.

Mengapa pemerintah ingin memperpanjang hingga 2041?

Karena terjadi dispute antara pemerintah dan Freeport mengenai apakah kontrak itu berakhir pada 2021 atau 2041. Dalam kontrak Freeport pasal 31-2, ada beberapa kalimat yang multi-interpretasi. Pertama, ”this agreement shall have an initial term of 30 years from the date of the signing of this agreement”. Secara hukum, ”shall have an initial term of 30 years” berbeda sekali dengan ”shall have 30 years term”. Masih ada yang lain, ”the company shall be entitled to apply for two years extensions of such terms”. Artinya, pemerintah harus memberi kesempatan bagi Freeport untuk memperpanjang hingga 2041. Memang ada penjelasan, ”subject to government approval”, tapi ada kalimat tambahan, ”the government will not unreasonably withhold or delay such approval”. Jadi ini multi-interpretasi.

Jika dibawa ke sidang arbitrase, pemerintah akan kalah?

Belum tentu menang, belum tentu kalah, 50 : 50. Tapi ada risiko untuk kalah. Risiko lain adalah Freeport akan berhenti beroperasi saat sidang arbitrase berlangsung. Biasanya sidang arbitrase memakan waktu 3-30 tahun. Sementara itu, tambang bawah tanah Freeport tidak boleh berhenti karena memakai teknologi block caving. Kalau berhenti, mampet. Untuk menjalankannya kembali, butuh US$ 30 miliar. Selain itu, jika operasi Freeport berhenti, royalti tidak akan masuk. Padahal sekitar 45 persen pendapatan Pemerintah Provinsi Papua berasal dari situ. Apa dampaknya ke rakyat? Reputasi Indonesia pun bisa rusak sehingga investor tidak lagi mau masuk.

Penandatanganan perjanjian sempat ditunda dari Rabu menjadi Kamis. Betulkah karena ada kekhawatiran keputusan ini bisa dipidanakan seperti mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan?

Transaksi ini memang business to business, tidak memakai uang negara. Walaupun begitu, tetap ada sensitivitasnya. Apalagi transaksi ini high profile. Jadi kami ingin menjaga supaya serapi mungkin. Saat melakukan transaksi ini, kami bisa menatap mata orang satu per satu dan menjamin tidak ada apa-apa. Kami pun sudah memastikan ke beberapa institusi hukum.

Termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi?

Itu kata Tempo, ha-ha-ha.... Intinya, kami sudah berkonsultasi dengan banyak pihak, termasuk lembaga yudikatif. Tapi kan tidak mungkin lepas dari kemungkinan adanya kesalahan administrasi di sana-sini. Mudah-mudahan sistem hukum Indonesia ke depan benar-benar bisa membedakan mana yang iktikadnya buruk dan mana yang iktikadnya baik. Kalau ada kekurangan administrasi, jangan kemudian dilihat bahwa iktikadnya buruk. Dalam melakukan transaksi yang sangat besar ini, kami tidak minta apa-apa. Kami hanya minta tolong untuk jangan dicari-cari kesalahannya secara administratif karena iktikad kami baik.

Saat tanda tangan, Anda yakin seratus persen tidak ada masalah?

Saya yakin tidak ada apa-apa. Yang kami lakukan ini murni yang terbaik.

Kapan pembayaran divestasi akan dilakukan?

Menurut jadwal, uang akan masuk pada November. Tapi sebenarnya yang kritis bukan pembayarannya, melainkan pengurusan izin-izin.

Izin apa saja?

Segala macam izin. Yang paling lama adalah izin anti-trust dari Cina. Jadi Freeport harus mendapat clearance dari institusi anti-trust di Cina karena mereka menjual kepada Cina.

Inalum meminjam kepada sebelas bank swasta asing untuk membeli saham Freeport. Salah satunya dari Cina?

Tidak ada bank Cina. Bunga yang mereka tawarkan tidak kompetitif.

Mengapa tidak meminjam dari bank dalam negeri?

Kalau uangnya dari dalam negeri dan lari ke luar negeri, akan menekan kurs.

Inalum tetap akan mengeluarkan surat utang?

Sebenarnya struktur pembiayaan divestasi masih dalam proses finalisasi. Kalau kami memakai pinjaman dari bank, bunganya relatif lebih rendah. Tapi, jeleknya, bunganya variabel. Misalnya, tahun ini empat persen, tiga tahun lagi bisa tujuh persen. Jarang ada bank yang memberi bunga tetap. Sementara itu, kalau kami memakai obligasi, bunganya tetap. Tapi, jeleknya, prosesnya lebih lama dan syaratnya paling ketat.

Cadangan tambang terbuka Freeport Indonesia habis tahun depan sehingga transisi ke tambang bawah tanah mulai dilakukan. Bagaimana progresnya?

Itulah masa yang kritis, pada 2019-2020. Pada 2019, produksi turun. Tapi, pada 2020-2022, produksi sudah mulai naik.

Saat produksi turun, bagaimana Inalum membayar utang?

Itu sebabnya, kalau bisa, kami hanya membayar bunganya. Pokok pinjamannya kami tunda ke belakang. Sebenarnya, untuk membayar pinjaman itu, kami tidak memerlukan hasil dari Freeport Indonesia. Hasil dari Inalum dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk saja cukup. Saat ini cash flow Inalum sendiri sebesar US$ 1,2-1,5 miliar.

Kapan pinjaman akan lunas?

Masih kami simulasikan.

Masalah pengelolaan lingkungan, termasuk tailing, jadi tanggung jawab siapa?

Masalah tailing adalah kewajiban Freeport Indonesia. Di situ ada kami juga, yang sebelumnya memiliki 9,36 persen saham mereka.

Artinya, Inalum akan ikut menyelesaikan?

Ya, harus kami bereskan itu. Freeport Indonesia pun sudah berkomitmen untuk melakukan perbaikan-perbaikan berdasarkan peta jalan dan panduan yang nantinya akan dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Akan ada perubahan manajemen Freeport Indonesia setelah pemerintah menguasai mayoritas sahamnya?

Walaupun nantinya akan dominan, kami tetap mengajak Freeport dalam pengambilan keputusan. Yang jelas, kami tidak ingin jago-jagoan. Saya pernah menjadi bankir. Saya melihat perusahaan yang berhasil itu pemegang sahamnya kompak. Sedangkan perusahaan yang tidak berhasil itu pemegang sahamnya berantem. Jadi pemegang saham harus kompak. Apalagi tambang bawah tanah terbesar dan terkompleks di dunia ini sedang dalam transisi karena cadangan di tambang terbukanya sebentar lagi habis. Tahun ini dan tahun depan, infrastruktur yang cukup besar akan dibangun. Kalau Inalum dan Freeport ribut, itu tidak akan jadi. Selain itu, investasi ini memakai pinjaman. Kalau terjadi sesuatu dengan produksi, kami bingung bagaimana membayar pinjaman. Freeport pun akan bingung.

Budi Gunadi Sadikin pada penandatanganan Pokok-Pokok Perjanjian penjualan saham PT Freeport Indonesia di Jakarta, 27 September lalu. -TEMPO/Tony Hartawan

Dengan menguasai mayoritas saham Freeport Indonesia, apa saja keuntungan yang akan didapatkan Indonesia?

Pertama, tambang Freeport bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Papua. Dividen akan masuk ke pemerintah daerah. Kami pun ingin membangun kehidupan di sana. Hasil tambang kan hanya sekali diberikan oleh Tuhan. Kalau sudah dikeruk, tidak bisa tumbuh lagi. Jadi, karena sudah mengambil dan mendapatkan keuntungan dari situ, kita harus memberikan hasilnya kembali bagi rakyat sekitar. Kedua, tambang Freeport bisa menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi tambang bawah tanah dunia. Kami ingin mengajak kampus-kampus untuk riset di situ. Kalau bisa, lulusannya bekerja di situ. This is beyond money. Ketiga, tambang Freeport bisa menjadi pusat industri hilir berbasis mineral.

Maksudnya?

Dalam penghiliran, ada dua biaya yang dibutuhkan. Satu, biaya mineralnya. Papua punya mineralnya. Dua, biaya listriknya. Papua banyak air karena gunungnya tinggi-tinggi. Saat ini biaya listrik bisnis smelter Inalum dari air hanya 1,7 sen per kWh. Harga itu diketahui sebagai yang paling murah di dunia. Itulah mengapa bisnis penghiliran di Papua akan kompetitif secara global.

Apa bedanya dengan yang dilakukan Freeport selama ini?

Freeport melihat hanya sebagai perusahaan tambang, hanya dari aspek operasional dan keuangan. Margin EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) bisnis tambang itu paling tinggi, di atas 40 persen. Sementara itu, margin EBITDA bisnis penghiliran hanya sekitar 10 persen. Jadi masuk akal jika mereka tidak mau bikin smelter. Mereka tidak punya fungsi sebagai agen pembangunan seperti kami. Jadi yang mereka pikirkan hanya profit maksimal yang bisa mereka dapatkan. Tidak salah juga.

Perspektif ini juga diberlakukan di bisnis tambang lain di bawah Inalum?

Saya ingin tambang kami tidak hanya dikembangkan dari sisi keuangannya. Banyak orang bertanya, ”Kenapa sih mesti membeli Freeport? Royaltinya saja dinaikkan menjadi 10 persen. Dengan begitu, pendapatan negara meningkat.” Saya balik bertanya, ”Kalau pendapatan negara naik, uangnya ke mana?” Hanya sedikit yang dipakai untuk pembangunan. Jadi, daripada royalti dinaikkan dan masuk ke catatan keuangan negara di mana mengeluarkannya susah, lebih baik diinvestasikan langsung di Papua. Kalau diinvestasikan dalam bentuk smelter, jelas orang Papua bisa kerja. Kalau diinvestasikan dalam bentuk kampus, jelas orang Papua akan pintar. Jadi akan lebih fleksibel dan mudah kalau menggunakan sistem korporasi.

 


 

BUDI GUNADI SADIKIN

Tempat dan tanggal lahir: Bogor, 6 Mei 1964

Pendidikan: Sarjana sains Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung (1988)

Karier: λ Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) Tbk (2017-sekarang), Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (2016-2017), Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (2013-2016), Direktur Perbankan Mikro dan Ritel Bank Mandiri (2006-2013), Executive Vice President Head of Consumer Banking PT Bank Danamon dan Direktur Adira Quantum Multi Finance (2004-2006), Direktur Perbankan Konsumer dan Komersial ABN AMRO Bank Indonesia dan Malaysia (1999-2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus