Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGAVE muncul di ketinggian trap belakang panggung Sendratari Ramayana. Di kejauhan, tampak bayang-bayang Prambanan. Candi Brahma, Syiwa, dan Wisnu kokoh tersorot cahaya. Berdiri sendirian di atas trap pada 29-30 September lalu, Agave memeluk sebuah kepala anak manusia. Menuruni trap satu per satu, ia tampak hati-hati mendekap kepala tersebut.
Di lantai, para wanita pemuja dewa Dionysus, yang disebut Bacchae, menanti kedatangannya. Agave dalam bahasa Jepang berseru, “Wahai Bacchae dari Asia....” Para Bacchae menyambut dengan kor gemuruh dalam bahasa Bengkulu Rejang, “Miling ba, miling ba (Bicaralah, bicaralah).” Suara Agave bergetar, “Aku menyambut teman-teman pengikut dewa.”
Dia lalu memperlihatkan kepala yang ditentengnya sembari mengatakan bahwa ia baru menjerat anak singa dari Gunung Cithaeron. “Lihat anak binatang ini, masih muda dan lembut. Di bawah surai lembut rambutnya menuruni mekar di pipi,” katanya dalam bahasa Jepang. Agave lalu bertanya kepada para Bacchae, “Di mana ayahku Cadmus. Dia harus datang. Di mana Pentheus anakku? Suruh kemari.”
Agave tak sadar bahwa sesungguhnya yang ia tenteng bukan kepala singa, melainkan kepala anaknya, Pentheus. Agave dan para Bacchae terbawa suasana ekstase kemabukan ritual anggur untuk memuja dewa Dionysus. Mereka mengalami trance.- Mereka seolah-olah menjalankan suatu ibadah bersama. Dan anak singa itu adalah korban persembahan Agave. Bersama-sama kemudian mereka mengangkat tangan ke langit. Musik keras bergaung mendaraskan mantra-mantra. Para Bacchae berputar-putar, lalu meninggalkan pentas. Cadmus masuk. Pendiri Kerajaan Thebes itu menyaksikan bagaimana sang putri yang dalam kondisi hilang ingatan menenteng kepala sang cucu, Pentheus, Raja Thebes.
Pentas teater Dionysus di kompleks Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta. -ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Cadmus—dengan bahasa Jawa halus—mengingatkannya, “Mustakane sapa iku kang mbok kekep? Waspadakno. Sawangen. Sak klebatan wae wis cetha. Sawangen kanthi premana Wigatekno kang tenanan. Maksih memper singa? Apa isih kaya singa? (Kepala siapa itu yang kamu dekap? Amatilah. Lihatlah. Lihatlah sekelebat saja sudah cukup. Perhatikan betul-betul. Tatap saksama. Masih miripkah dengan singa? Apakah yang kau bawa itu kepala singa?)”
Itulah klimaks drama Dionysus yang dipentaskan Tadashi Suzuki di Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Suzuki menafsirkan naskah Yunani kuno -Bacchae karya Euripides. Cadmus diperankan Jamaluddin Latif. Agave dimainkan Naito Chieko, aktor Suzuki Company of Toga (SCOT), sementara Pentheus diperankan aktor SCOT lain asal Cina, Tian Chong, yang sepanjang pertunjukan memakai bahasa Cina. Para pendeta Dionysus semuanya dimainkan aktor Indonesia. Demikian juga para perempuan Bacchae. Inilah hasil proses latihan panjang. Berulang kali para aktor Indonesia harus tinggal di kamp Suzuki di wilayah pegunungan Toga, Toyama, Jepang.
Bacchae adalah tragedi keluarga. Naskah ini ditulis Euripides di Makedonia. Euripides lahir di Athena, Yunani, antara tahun 485 sebelum Masehi dan 480 sebelum Masehi. Menjelang akhir hidupnya, pada 408 sebelum Masehi, Euripides meninggalkan Athena. Ia menerima undangan penguasa Makedonia, Raja Arkhelaus, untuk menjadi writer in residence di Makedonia. Ia wafat pada 406 sebelum Masehi di Makedonia. Naskah Bacchae dipentaskan di Athena sesudah kematiannya. Para sejarawan menganggap naskah ini pun kontroversial pada masanya. Naskah ini berkisah tentang kedatangan Dionysus dari daerah -Lydia di Asia Kecil ke Thebes untuk memperkenalkan agama baru. Dionysus menahbiskan dirinya sebagai Tuhan. Ia diikuti para wanita pemujanya. Para perempuan Kota Thebes pun terpikat pada agama baru itu.
Penguasa Thebes, Pentheus, menolak ketuhanan Dionysus. Ia melawan. Ia menangkapi semua perempuan Bacchae. Cadmus mengingatkan kepongahan cucunya. “Siro kudu percaya Dionysus dewa (Kamu harus percaya bahwa Dionysus Tuhan),” ucap Cadmus kepada cucunya. Tapi Pentheus menolak. Pentheus akhirnya dibunuh oleh para pendeta Dionysus. Ekspresi Naito Chieko sangat membekas tatkala ia menyadari bahwa kepala di tangannya adalah kepala anaknya. Malam itu, tanpa banyak gerak, badannya seperti terjengkang ke belakang dan mukanya berteriak seperti mengekspresikan kesakitan dan kepedihan luar biasa.
BUKAN baru kali ini Tadashi Suzuki mementaskan naskah Euripides itu dengan dialog campuran bahasa. Suzuki di Jepang dikenal sebagai sutradara yang mempelopori pertunjukan multibahasa. Namun kolaborasinya dengan aktor-aktor Indonesia ini mungkin bisa dibilang paling rumit karena berbagai bahasa yang digunakan para aktor Indonesia total tak pernah dikenalnya.
Restu Imansari, dari Bali Purnati, yang menjadi produser, menginginkan dialog aktor Indonesia dilakukan dengan bahasa daerah masing-masing, bukan bahasa Indonesia. Ada enam bahasa yang digunakan: Batak, Bengkulu Rejang, Madura, Manado, Sunda, dan Jawa (dengan tiga dialek: Yogyakarta, Banyumas, dan Tegal). Menurut Suzuki, wajah dan tubuh aktor Indonesia mirip satu sama lain, tapi dia bisa merasakan ritme dan warna suara yang berbeda-beda. “Bagi saya, ini pengalaman baru melihat pemandangan orang yang mirip berbicara dengan kata-kata yang berbeda,” tuturnya.
Tantangannya adalah bagaimana dialektika bahasa daerah ini, terutama ketika ada dialog dengan bahasa Jepang dan Cina, menjadi tidak aneh, tapi justru bisa menjadi kekuatan bunyi yang puitis. Dan ini yang terjadi di panggung. Kita melihat kalimat-kalimat Cadmus dalam bahasa Jawa Yogya yang diucapkan Jamaluddin Latif seolah-olah sinkron dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Cina yang dilontarkan Tian Chong sebagai Pentheus. Begitu juga sahut-sahutan Naito Chieko sang Agave dalam bahasa Jepang dengan para Bacchae yang menggunakan bahasa Rejang Bengkulu.
Bukan baru kali ini Tadashi Suzuki mementaskan naskah Euripides itu dengan dialog campuran bahasa. Suzuki di Jepang dikenal sebagai sutradara yang mempelopori pertunjukan multibahasa. Namun kolaborasinya dengan aktor-aktor Indonesia ini mungkin bisa dibilang paling rumit karena berbagai bahasa yang digunakan para aktor Indonesia total tak pernah dikenalnya.
Dalam naskah asli Euripides, Dionysus adalah sosok utama. Secara menarik oleh Suzuki sosok Dionysus diganti menjadi enam pendeta Dionysus. Para pendeta itu ketika berbicara sendiri-sendiri menggunakan bahasa daerah masing-masing, tapi saat koor menggunakan bahasa Batak. Enam aktor yang memerankan pendeta: Anwari, Ari Dwianto, Mohamad Aditia, Selfino Alexandro Sambalao, Washadi, dan Bangkit Sanjaya. Konfrontasi antara kelompok pendeta dan Pentheus merupakan inti cerita. Salah satu pendeta (dimainkan Ari “Inyong” Dwianto) maju dan dengan dialek Tegal mengancam Pentheus. Bahasa ngapak-ngapak Tegal, yang dalam dunia sinetron dan lawak kita biasanya digunakan untuk banyolan, malam itu menjadi tegas dan berwibawa.
“Rika ora ngerti sajatine Rika. Pentheus, sepisan maning rika tekelingaken, aja perang nglawan dewa.”
Sang pendeta mengatakan Pentheus belum cukup memahami sejatinya manusia. Pendeta itu membujuk Pentheus mengintip ritual Dionysus yang dilakukan para wanita dengan syarat mengenakan kostum perempuan. Sebab, bila ketahuan laki-laki, dia akan dibunuh. “Rika kudu mlebu nggango busana wadon. Sebab, angger wong-wong kae ngreti rika lanang, rika bakal dipateni.” Tapi ternyata itu hanya jebakan. Pentheus dibunuh. Adegan pembunuhan itu “indah”. Para pendeta memutari tubuh Pentheus, lalu secara slow motion menusukkan, menghunjamkan, menikamkan, dan menyabetkan tongkatnya. Tubuh Pentheus perlahan rebah ke lantai, seolah-olah ususnya brodol. Mayatnya teronggok di lantai.
Adegan pembunuhan Pentheus ini dalam latihan selalu diulang-ulang. Cara memutar ritmenya selalu dikoreksi. Para aktor Indonesia mulai berlatih di Toga pada Agustus-September 2016. Pada April-Mei 2017 mereka kembali berlatih di sana dan pada Oktober 2017 latihan digelar di Ubud, Bali; dan Prambanan selama tiga minggu. Pada Januari 2018, mereka dikarantina di Parung, Bogor, Jawa Barat, selama dua minggu. Latihan terakhir dilakukan pada Agustus-September 2018 di Toga.
Berbagai metode berjalan, dari posisi rendah sampai tegak dengan tangan mengayunkan tongkat, dilatih. Tadashi Suzuki menginginkan kekuatan kokoh kaki, meskipun dalam keadaan diam, bisa memancarkan energi. Suzuki tak ingin badan para aktor terlalu banyak gerak. Ekspresi diefektifkan. Suzuki menyukai blocking sederhana, seperti garis lurus atau dialog tanpa saling banyak menatap tapi stabil. Suzuki sama sekali tak ingin gerak-gerik aktornya realistis dan pemanggungannya naratif.
“Paling berat saat musim dingin. Jalan dari penginapan ke tempat latihan kanan-kiri salju setinggi 6 meter. Dingin sekali,“ kata Jamal—panggilan Jamaluddin Latif. Pada dua bulan terakhir latihan, Suzuki menggembleng para aktor. Bahkan selama dua minggu semua pemain sudah menggunakan kostum lengkap seperti di pentas. Jamal ingat adegan tersulit yang dilakukannya adalah bagian akhir, kala Cadmus melihat Agave membawa kepala Pentheus. “Mulanya emosi saya sedih. Tapi Tadashi terus-menerus memperingatkan, jangan melankolis. Cadmus harus tegar,” ujar Jamal.
Restu Imansari memilih penata kostum Indonesia, Auguste Soesastro, terlibat. Auguste khusus membuat kostum Cadmus dan pendeta. Ia memilih kostum putih-putih untuk Cadmus dan pendeta. “Topi para pendeta saya bikin agak bersaf-saf seperti bentuk Candi Prambanan. Saya buat di perajin wayang di Yogya, bahannya kulit kambing,” ucap Auguste. Adapun untuk kostum Bacchae, Suzuki tetap mengambil model gaun yang dipakai para perempuan dalam upacara di kuil-kuil Jepang. Hanya, gaun itu terhampar panjang di lantai.
Sebelum disajikan di Prambanan, Dionysus dipentaskan perdana secara global di SCOT Summer Session 2018, akhir Agustus lalu. Lokasinya di Toga Grand Theater. Gedung sumbangan pemerintah setempat ini awalnya gimnasium. Suzuki mempermaknya menjadi gedung teater berkapasitas 400 orang. Menurut Bambang Prihadi, asisten sutradara, keinginan Suzuki agar terjadi pembagian ruang cahaya yang jelas antara Cadmus, Pentheus, Agave, pendeta, dan Bacchae secara optimal terpenuhi di sana. Gedung itu memiliki puluhan lampu profile dan fresnel berjajar di sayap kanan dan kiri serta bagian atas panggung.
Suzuki dalam karyanya selalu membuat fokus cahaya yang stabil untuk tiap aktor. Ia seperti membuat ruang dengan presisi ketat untuk tubuh aktor. Cahaya biasanya tanpa warna sehingga tekstur kostum dan makeup aktor terlihat. Untuk pentas di Prambanan, ia sampai membawa 18 lampu yang tidak ada di panggung Sendratari Ramayana. Suzuki juga membawa banyak kru. “Rombongan SCOT 23 orang, termasuk kru,” kata Shigemasa Yoshie, anggota senior SCOT. Tapi hasil pencahayaan, menurut Bambang, belum semaksimal pementasan di Toga. Meski begitu, terlihat beberapa adegan pencahayaan sangat kuat, terutama saat enam pendeta duduk di kursi ditimpa cahaya dan di luarnya gelap. Terangnya enam pendeta, kegelapan, dan bayang-bayang Prambanan di belakang menjadi harmoni.
PADA akhir pertunjukan, setelah Agave sadar bahwa kepala yang ada di pangkuannya adalah milik Pentheus, terdengar rekaman suara Dionysus dalam bahasa Jepang menggema di Prambanan. Dionysus mengutuk Kota Thebes. Dionysus mengancam akan mendatangkan bencana bagi kota mana pun yang mengingkari ke-Tuhan-annya.
Penonton dapat membaca teks kutukan itu dalam terjemahan di kanan-kiri panggung: “Pentheus melarang persembahan-persembahan untukku dalam kerajaannya. Dia tidak pernah membisikkan namaku dalam doa-doanya. Dan aku akan membuktikan kepadanya, dan seluruh kota bahwa aku adalah salah satu kekuatan.”
Sepanjang pertunjukan, hanya dua kali “suara Tuhan” itu menggema di panggung. Pertama ketika Dionysus memerintahkan para perempuan pengikutnya melawan apabila Pentheus tetap melarang ibadah-ibadah dan ritual mereka. Dionysus menyatakan dia sendiri akan turun mewujud dalam bentuk manusia untuk pertempuran ini: “Dan jika orang-orang Thebes dalam kemarahan mereka mengangkat senjata dan mencoba membawa pulang paksa perempuan-perempuan kerasukan itu, aku akan bergabung dengan tentara Bacchae dan memimpin mereka dalam pertempuran. Ini adalah alasanku membatasi keilahianku dalam wujud yang fana dan muncul dalam rupa seorang laki-laki….”
“Dionysus menitis dan merasuk ke dalam tubuh pendeta,” tutur Suzuki. Munculnya suara Dionysus, karena itu, hanya pengejawantahan dari penitisan tersebut. Dalam perspektif Suzuki, konflik yang terjadi dalam pertunjukan ini bukan antara Tuhan dan manusia langsung, tapi antara sebuah sekte agama yang diwakili para pendeta dan kekuasaan politik penguasa yang tak menerima mereka.
Bacchae bagi Suzuki adalah pasukan fanatik yang membabi-buta mengikuti seseorang yang mereka anggap sebagai Tuhan. Pukulan timpani dan genderang perang selalu mengawali kemunculan Bacchae. Adapun Pentheus adalah tiran yang sewenang-wenang. Dia despot anti-demokrasi dan pluralisme religi. Konflik atas nama militansi agama tak terhindarkan. “Di mana-mana di dunia kita melihat kasus seperti ini sampai sekarang,” ucap Suzuki.
Pentas teater Dionysus di Kompleks Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta. - Yohanes
Dan Agave bagi Suzuki adalah tumbal bagi radikalisme ini. Menurut Suzuki, atmosfer arkais dan misterius Prambanan cocok untuk pementasan persengketaan keimanan tersebut. Yang jadi persoalan, lantaran panggung terbuka sedemikian lebar, suara aktor-aktor yang dibiarkan Suzuki tidak menggunakan wireless microphone terasa tidak cukup kuat menguasai ruang tempat duduk sampai ke belakang. Padahal, untuk pertunjukan ini, keragaman bahasa dipertaruhkan. Penonton baru bisa jelas menangkap dan menikmati “saling silang bunyi” bahasa yang tidak mereka pahami itu bila duduk di deretan depan. Selain itu, ada suara bising pesawat terbang yang sesekali melintas rendah—karena Prambanan dekat dengan Bandar Udara Adisutjipto—yang tak terduga. “Itu risiko bermain di outdoor,” ujar -Shigemasa Yoshie. Tapi harus diakui itu tidak mengganggu konsentrasi dan intensitas para pemain.
Suzuki, menurut Jamaluddin Latif, ingin lampu sorot Prambanan bisa dimati-hidupkan. “Ketika penonton masuk, misalnya, Prambanan masih terlihat gelap. Dan tatkala saya sebagai Cadmus muncul, baru menyala. Jadi ada kejutan. Juga di beberapa adegan lampu Prambanan bisa digelapkan dan diterangkan lagi agar dramatis dan spektakuler,” tutur Jamal. Namun hal itu tidak memungkinkan di Prambanan. Seusai pertunjukan, Suzuki menganggap kolaborasinya dengan aktor-aktor Indonesia lebih berhasil dibandingkan dengan beberapa kolaborasi Dionysus sebelumnya. “Komunalitas para pendeta dan pertentangan mereka dengan Pentheus terasa di Prambanan,” ucapnya.
SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo