Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dionysus, kata Suzuki, adalah naskah Euripides yang sangat relevan dengan situasi sosial sekarang. Dalam tafsirannya, naskah ini berbicara tentang kelompok-kelompok radikal agama yang ditekan pemerintah represif. Keduanya sama-sama tak mau mengalah. Dan terjadilah perbenturan yang membawa korban. Berikut ini cuplikan wawancara dengan Suzuki.
Kapan Anda pertama kali mementaskan Dionysus? Apakah menggunakan naskah Euripides asli, yang ada sosok Dionysus, atau sudah Anda hilangkan?
Saya pertama kali mementaskan Dionysus pada 1979 di Iwanami Hall, Tokyo. Waktu itu judulnya masih Bacchae. Saya masih menggunakan teks asli Euripides, hanya saya padatkan. Saat itu tokoh Dionysus masih saya pertahankan. Aktor utama yang memerankan Dionysus saat itu adalah seorang aktor Noh terkenal bernama Hizao Kanze (Kanze meninggal pada 1978 karena kanker) dan aktris yang memainkan Agave adalah Koyako Shirashi. Pada 1990, baru saya membuat perubahan. Sosok Dionysus saya hilangkan dan saya ganti dengan enam pendeta. Judulnya juga menjadi Dionysus, bukan Bacchae.
Mengapa dalam pertunjukan pada 1979 itu Anda memilih pemain noh memerankan Dionysus?
Pemain noh sangat familiar dengan kisah dewa dan setan-setan. Dalam pementasan-pementasan noh, selalu ada banyak tokoh dewa. Cara aktor noh mengeluarkan suara dewa atau setan juga bukan seperti aktor realis yang menampilkan suara natural atau cara bicara sehari-hari. Karena itulah saya memilih Hizao Kanze.
Mengapa Anda lalu memutuskan menghilangkan sosok Dionysus?
Saya kemudian memiliki tafsiran lain terhadap naskah Euripides ini. Menurut saya, keberadaan Tuhan terdapat dalam diri orang yang mempercayai adanya Tuhan. Tuhan ada dalam kehidupan sehari-hari orang yang percaya. Karena itu, dialog panjang Dionysus dalam naskah asli saya pecah-pecah menjadi dialog enam pendeta agama Bacchus atau pendeta agama Dionysus.
Dalam naskah asli sebenarnya ada sosok pendeta Tiresias, yang menjadi penasihat utama istana Thebes. Tapi Tiresias juga Anda hilangkan....
Ya. Tiresias pendeta tua istana Thebes sejak zaman Cadmus menjadi raja. Dia sahabat Cadmus. Pemikiran-pemikirannya sejalan dengan Cadmus. Itu sebabnya saya memutuskan memasukkan dialog-dialog Tiresias ke dialog-dialog Cadmus. Kalimat-kalimat Tiresias di naskah asli saya buat diucapkan Cadmus. Pemahaman Cadmus sama sekali tidak berbeda dengan Tiresias. Maka, daripada ada dua sosok dengan pemikiran sama, saya jadikan satu saja.
Dalam naskah asli Euripides, saat diminta pendeta menyamar sebagai perempuan, Pentheus dikatakan mengenakan rambut palsu atau memakai semacam wig. Sedangkan Pentheus yang diperankan Tian Chong saat menyamar tidak benar-benar seperti wanita….
Menurut saya, tidak perlu serealis itu. Di naskah asli hanya disebutkan Pentheus diminta berpakaian seperti wanita, tidak disuruh mengubah wajah. Lagi pula, kostum yang dipakai Tian Chong dalam adegan itu sesungguhnya kostum wanita Cina dari desa Tian Chong. Saya tidak ingin pemanggungan saya realis. Kalau realis, Agave dan para Bacchae harus telanjang semua. Dalam pentas-pentas Bacchae di Eropa, saya sering melihat pemain Agave dan Bacchae nyaris telanjang. Tapi rasanya tidak perlu begitu.
Film dokumenter Brian De Palma yang mendokumentasikan pementasan Dionysus in 69 dari Richard Schechner di New York, Amerika Serikat, juga penuh adegan telanjang....
Ya. Saya berlawanan dengan hal itu. Richard Schechner saat itu lebih menekankan sisi orgy atau kebebasan pesta seksual dari para Bacchae. Saya tidak sepaham dengan tafsiran itu. Saya ingin lebih melihat ritual Bacchae sebagai persoalan keagamaan yang sakral. Menyambungkan ritual keagamaan dengan seks itu tidak benar.
Bagaimana tafsir Anda terhadap para Bacchae?
Saya melihat Bacchae sebagai metafora kekuatan wanita yang tidak dimiliki laki-laki. Kekuatan wanita membuat anak. Tapi juga kekuatan menghancurkan anak.
Namun pembunuhan Pentheus dalam pertunjukan Anda dilakukan oleh para pendeta Dionysus, bukan para Bacchae sebagaimana naskah asli....
Ya. Dalam tafsir saya, yang membunuh Pentheus sesungguhnya para pendeta. Tapi mereka membuat pembunuhan seolah-olah dilakukan Agave. Agave hanyalah scapegoat atau kambing hitam. Agave sesungguhnya tidak bersalah. Ia korban. Agave memang percaya pada agama baru Dionysus. Dan dia dijadikan korban oleh para pendeta. Bukankah politik sering kali seperti itu?
Bagaimana karakter Cadmus menurut Anda?
Dia ini seperti politikus (yang oportunistis). Dia mengikuti saja ke mana kekuatan besar politik mengarah. Jadi, dalam drama ini, saya melihat ada tiga karakter: Pentheus yang menolak agama Dionysus, Agave yang mempercayainya, dan Cadmus yang ikut arus semata-mata demi keamanan politik. Menurut saya, dalam semua situasi politik atau konflik, pasti ada tiga ciri manusia seperti ini. Ada yang menolak, ada yang diam menerima saja, ada yang ingin lari dari situasi. Cadmus berusaha realistis. Ia melihat kekuatan agama baru Dionysus sangat besar. Mau tidak mau dia harus menerima. Dalam sejarah Jepang pernah ada masa ketika kekuasaan shogun menolak agama Katolik. Para penganut Katolik ditangkapi. Toh, tetap ada penganut Katolik yang beribadah sembunyi-sembunyi. Sampai sekarang masih ada bukti kuburan-kuburan orang Katolik yang dibunuh di Jepang.
Bagaimana Anda melihat Euripides dibanding penulis tragedi Yunani lain?
Dibanding Aeschylus dan Sophocles, menurut saya, Euripides lebih menekankan pada pentingnya tindakan manusia. Pada naskah-naskah Aeschylus dan Sophocles sering kali pada akhirnya dewa-dewalah yang akan menyelesaikan semua. Menurut saya, dari sudut pandang dunia saat ini, karya-karya Euripides sangat cocok dipentaskan. Dalam Bacchae, saya melihat konflik keimanan muncul dalam satu keluarga. Dan wanita akhirnya jadi korban. Ini sering terjadi di zaman sekarang.
Apakah Anda melihat ada perbedaan dalam kerja sama dengan aktor-aktor Indonesia dibanding kolaborasi sebelumnya?
Rasa kebersamaan aktor-aktor Indonesia kuat. Orang Indonesia lebih mudah dijadikan satu. Sedangkan kalau saya bekerja sama dengan aktor Eropa, terasa unsur individunya. Aktor-aktor Indonesia belum begitu dirusak oleh kapitalisme. Uang bukan segalanya. Belum komersial.
Apakah sistem latihan kaki Anda cocok dengan aktor Indonesia?
Saya melihat dalam kehidupan sehari-hari aktor-aktor Indonesia masih akrab dengan permukaan tanah. Bila duduk, mereka tidak selalu di kursi, tapi juga di lantai. Ini membuat mereka cepat menyerap metode saya, yang bertumpu pada telapak kaki. Saat audisi, saya melihat banyak aktor Indonesia yang suka duduk di lantai (mengelesot). Ini berbeda dengan saat saya melatih 80 aktor di Rusia. Orang-orang Rusia ini semuanya terus-menerus berdiri.
Bagaimana Anda melihat keberagaman bahasa aktor Indonesia?
Saya pernah mementaskan King Lear menggunakan enam bahasa: Jerman, Inggris, Jepang, Cina, dan lain-lain. Untuk aktor-aktor Indonesia ini, mula-mula saya tidak bisa membedakan karakter dialog mereka. Tapi makin lama dalam latihan-latihan saya makin merasakan ada perbedaan.
Anda menyukai atmosfer Prambanan?
Saat pertama kali datang ke Prambanan, tahun lalu, saya langsung merasa atmosfernya cocok untuk pentas Dionysus. Tatkala Agave muncul di ketinggian dengan bayang-bayang Prambanan di kejauhan dan kemudian ia turun di tangga, tampak magis. Konflik antara pendeta Dionysus dan Pentheus juga terasa di sini.
Pada Agustus 2019 Anda akan mementaskan ulang kolaborasi ini dalam Olimpiade Teater yang diselenggarakan di Toga, Jepang. Apakah Anda memiliki rencana mengganti pemeran Agave dan Pentheus dengan aktor-aktor Indonesia?
Ya, akan saya pentaskan ulang di sana (di gedung Unazuki International Hall di Kota Kurobe atau Nanto, Toga). Saya akan mempertahankan formasi ini dalam Olimpiade Teater (Olimpiade Teater didirikan pada 1994 di Athena, Yunani, dengan dewan kurator para dramawan dunia, antara lain Tadashi Suzuki, Yuri Lyubimov, Robert Wilson, Antunes Filho, Tony Harrison, dan Heiner Mueller. Tahun depan mengambil tema Crossing Millennia). Kalau pemain diganti, akan dibutuhkan lagi latihan yang panjang.
Bagaimana Anda melihat proses produksi ini berjalan?
Saya senang sekali. Karya ini sangat berbeda dari segi prosesnya. Restu Imansari sebagai produser sangat besar perannya. Dia mengetahui kondisi internasional dan Indonesia. Produksi semacam ini tidak akan mungkin terwujud bila tidak dengan aktor-aktor Indonesia. Pemain Indonesia belum menerima polusi budaya seperti aktor-aktor Eropa. Kolaborasi dengan kelompok teater atau aktor Eropa sangat kompleks, bahkan dengan aktor Cina. Bila ada masalah, seolah-olah tidak ada jalan ketiga. Sedangkan bekerja sama dengan Restu dan aktor-aktor Indonesia, selalu ada jalan ketiga.
SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo