Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan perkembangan kasus korupsi minyak goreng.
Apa alasan untuk tidak memproses kasus korupsi di bawah Rp 50 juta?
Benarkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Paniai didorong permintaan Presiden?
DALAM satu-dua tahun ini Kejaksaan Agung menyidik sejumlah kasus korupsi yang menjadi sorotan publik. Sepanjang 2021, Kejaksaan menyidik 1.849 perkara korupsi. Sebanyak 946 perkara sudah berkekuatan hukum tetap dan dieksekusi. Salah satunya dugaan korupsi minyak goreng pemberian izin ekspor minyak sawit mentah, bahan baku minyak goreng, pada Januari 2021-Maret 2022. Kejaksaan menetapkan empat orang sebagai tersangka dan mulai memeriksa mantan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mendapatkan penjelasan mengenai penanganan kasus minyak goreng dan sejumlah kasus lain, Tempo mengajukan permintaan wawancara kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, tapi ia tak bersedia diwawancarai secara langsung. “Jaksa Agung hanya bersedia menjawab pertanyaan secara tertulis,” kata Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Ketut Sumedana pada Senin, 20 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo kemudian mengirim sejumlah daftar pertanyaan. Dalam jawaban tertulis kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, pada Selasa, 28 Juni lalu, Burhanuddin menjelaskan perkembangan penyidikan kasus minyak goreng, dari status Lutfi, pasal yang dipakai dalam penyidikan, hingga tudingan adanya nuansa politis dalam penyidikan kasus ini.
Pria yang mendapatkan gelar profesor dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, pada 2021 ini juga membeberkan perkembangan penyidikan pelanggaran hak asasi manusia di Paniai, Papua, dan peluang penyelesaian kasus HAM berat lain.
Belakangan ini Kejaksaan Agung banyak menyidik kasus korupsi. Apa penyebabnya?
Kejaksaan memiliki kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kejaksaan. Apa yang kami lakukan dalam penanganan tindak pidana korupsi tersebut bukan untuk berkompetisi dengan penegak hukum lain, tapi lebih pada pelaksanaan undang-undang.
Dalam kasus korupsi minyak goreng, apakah mantan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, akan menjadi tersangka?
Pada Rabu, 22 Juni lalu, tim penyidik Kejaksaan memeriksa mantan Menteri Perdagangan. Statusnya masih sebatas saksi. Saya tidak mau berspekulasi. Kami biarkan proses penyidikan ini berjalan.
Pasal yang digunakan dalam kasus ini adalah merugikan perekonomian negara. Bagaimana menghitungnya?
Pasal yang akan digunakan tetap Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada dasarnya menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Sifat kerugian negara di sini bisa bermakna kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang masing-masing memiliki makna yang berbeda. Terobosan Kejaksaan dalam pembuktian unsur “perekonomian negara” pertama kali dilakukan pada 2020 dalam kasus korupsi impor tekstil di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun anggaran 2018-2020. Saat itu, kerugian perekonomian negara dihitung berdasarkan dua elemen, yakni kerugian dari penurunan aktivitas industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang yang diselidiki dan potensi pengeluaran rumah tangga yang hilang akibat pemutusan hubungan kerja dari industri. Laporan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) pada 2020 menunjukkan delapan perusahaan melakukan PHK selama 2016-2019. Kerugian perekonomian dari aktivitas industri sebesar Rp 65,35 triliun. Kerugian perekonomian akibat pengeluaran rumah tangga dari pekerja yang terkena PHK adalah Rp 19,73 miliar. Semua hitungan ini menggunakan pendekatan irreducible minimum approach, yang artinya kerugian yang terjadi tidak mungkin lebih rendah dari angka tersebut, tapi sangat mungkin lebih tinggi dari angka tersebut.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyampaikan keterangan pers terkait kerjasama pembuatan tim gabungan audit tata kelola industri kelapa sawit, di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, 27 Juni 2022/ANTARA /Dhemas Reviyanto
Apakah Kejaksaan meminta bantuan BPK/BPKP untuk menghitung kerugian perekonomian negara ini?
Dalam menghitung kerugian perekonomian negara, sebenarnya Kejaksaan dapat saja meminta bantuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Keduanya memiliki core business dalam menghitung kerugian negara, meskipun, menurut surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) dari Kamar Pidana, BPK-lah yang berhak melakukan declare (pengumuman) terhadap besaran kerugian negara. Walaupun demikian, SEMA tersebut menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan bagi BPKP untuk mengaudit kerugian negara. Pada akhirnya, semuanya akan dilakukan melalui pembuktian di depan hakim di persidangan.
Bagaimana tudingan adanya nuansa politis dalam pengusutan kasus ini?
Saya tegaskan bahwa Kejaksaan bertindak profesional dalam semua langkah yang perlu dilakukan dalam tahap penyidikan. Sebab, dalam tahap inilah tim penyidik akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi berdasarkan minimal dua alat bukti, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sekali lagi, saya tegaskan, kami bertindak profesional dan menjaga integritas dalam semua penanganan perkara. Kami tetap menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan.
Kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, akhirnya naik ke tahap penyidikan. Atas permintaan Presiden?
Komitmen pemerintah dalam penegakan, penuntasan, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban ataupun seseorang yang diduga sebagai pelaku. Berkas hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM secara yuridis belum memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM. Namun Kejaksaan tetap melakukan penyidikan umum guna menjamin terwujudnya prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Setelah menyidik cukup lama, akhirnya tim penyidik menyatakan berkas perkara pelanggaran HAM berat Paniai telah memenuhi syarat formil dan materiil atau dinyatakan lengkap berdasarkan surat pemberitahuan hasil penyelidikan sudah lengkap (P-21) dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor B-1069/F/FH.2/05/2022 tanggal 13 Mei 2022. Penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari penyidik ke penuntut umum dilaksanakan pada Selasa, 24 Mei lalu, di Kejaksaan Agung; Kejaksaan Negeri Biak, Papua; dan Kejaksaan Negeri Makassar secara hibrida. Pada Rabu, 15 Juni, perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar.
Dalam penanganan perkara HAM berat ini, Kejaksaan tetap bersikap profesional dan transparan. Dalam penyelesaian perkara ini tidak ada yang namanya political will. Tim penyidik menetapkan tersangka (saat ini berstatus terdakwa) berpegangan pada dua alat bukti dari hasil penyidikan yang meneruskan penyelidikan Komnas HAM.
Bagaimana peluang penyidikan kasus pelanggaran HAM berat lain, seperti kasus 1965 dan Trisakti?
Sepanjang perkara tersebut didukung fakta dan alat bukti, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menaikkannya ke tahap penyidikan. Hal tersebut amat bergantung pada hasil penyelidikan Komnas HAM. Untuk itu, kami mengharapkan dukungan dari semua pihak dalam penyelesaian perkara-perkara tersebut.
Komnas HAM menilai mandeknya penyidikan kasus HAM berat bukan karena masalah hukum, tapi political will pemerintah.
Kami tegaskan bahwa penanganan perkara HAM berat dilaksanakan oleh Kejaksaan dengan menjunjung tinggi profesionalitas dan integritas, bukan berdasarkan political will atau lobi-lobi politik. Sekali lagi, saya sampaikan, sepanjang perkara tersebut didukung fakta dan alat bukti, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menaikkannya ke tahap penyidikan dan hal tersebut amat bergantung pada hasil penyelidikan Komnas HAM.
Pada Januari lalu, Anda meminta kejaksaan tidak memproses hukum kasus korupsi yang merugikan keuangan negara di bawah Rp 50 juta. Apa pertimbangannya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya sedikit saya luruskan. Dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Januari lalu, beberapa anggota Komisi III mengajukan pertanyaan dan pernyataan kepada Jaksa Agung. Anggota Komisi III, Benny K. Harman, pada pokoknya menyampaikan, “Kasus korupsi di bawah 1 juta janganlah diproses. Tapi, sampai saat ini, kami dapat data banyak kasus korupsi di bawah Rp 1 juta masih diproses. Ini yang kemudian dibilang hukum kita ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Alangkah baiknya bila Jaksa Agung membuat kebijakan supaya kasus korupsi Rp 1 juta ke bawah tidak diproses. Lebih baik memproses kasus besar daripada kasus kecil.”
Anggota Komisi III, Supriansa, juga menyampaikan, “Tidak sedikit kasus dana desa dengan nilai rendah, yang anggaplah hanya beda Rp 7 juta, beda Rp 5 juta, tapi karena masuk pengadilan mesti ada tuntutan dan akhirnya diputus hukumannya sekian tahun penjara. Kalau dipikir-pikir, kalau nilainya kecil seperti itu, saya mengharapkan Jaksa Muda Pidana Khusus ada terobosan pengembalian uang daripada orang ini dipenjara. Lebih banyak biaya makan dia di dalam (penjara) ketimbang apa yang kita kejar. Toh, bangsa ini memiliki keterbatasan dalam ketersediaan lembaga pemasyarakatan, yang sudah kekurangan kapasitas. Luar biasa kalau kita paksa (mereka) masuk (penjara) tapi nilai (kerugiannya) rendah. Apa ada solusi atau memang kita harus lurus tegak memenjarakan orang meskipun nilainya cukup kecil?”
Bertolak dari dua pernyataan dan pertanyaan tersebut, dalam rapat kerja pada 27 Januari, kami menjelaskan bahwa dalam perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara Rp 1 juta, sesuai data yang kami terima, ada satu penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resor Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar yang melibatkan seorang wasit dengan nilai Rp 2,2 juta. Perkara tersebut masih ditangani Kejaksaan Negeri Pontianak. Perkara itu tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, tapi terkait dengan program sapu bersih pungutan liar (Saber Pungli).
Kejaksaan Agung telah memberikan wacana kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp 50 juta untuk diselesaikan dengan pengembalian kerugian keuangan negara. Ini sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Jawaban yang kami berikan tersebut merupakan respons dan wacana yang sifatnya umum untuk menjadi pertimbangan bersama dan memperoleh solusi yang tepat. Dalam penindakan kasus korupsi, hal ini menyentuh masyarakat di level akar rumput. Secara umum ini dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil. Pernyataan kami saat itu adalah wacana untuk dijadikan renungan bersama. Penegakan hukum kasus korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif, selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Namun wacana tersebut bukan bentuk impunitas terhadap pelaku.
Jadi ada pertimbangan keekonomian atas suatu kasus?
Analisis nilai ekonomi dalam kasus korupsi juga perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum. Dapat dibayangkan bila korupsi senilai Rp 50 juta harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai eksekusi) dengan biaya penanganan perkara yang bisa melebihi kerugian negara yang ditimbulkan. Biaya penanganan perkara ini tentu saja menjadi beban pemerintah. Saya beri contoh kasus korupsi di Kabupaten Nias, Sumatera Utara. Persidangannya harus dilaksanakan di Kota Medan dengan menggunakan moda transportasi udara. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan pemerintah. Belum lagi akomodasi bagi saksi-saksi dan penuntut umum selama menjalani persidangan. Semua biaya ini tidak sepadan dengan pengembalian keuangan negara jika kerugian keuangan negara senilai Rp 50 juta. Dengan demikian, analisis cost and benefit penanganan perkara korupsi juga penting menjadi pertimbangan untuk mencapai keadilan masyarakat dan kemanfaatan hukum.
Anda juga pernah mengimbau terdakwa tidak memakai atribut keagamaan saat dalam sidang. Mengapa?
Imbauan saya tersebut sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan atau memberikan citra yang buruk kepada atribut keagamaan tertentu. Bukan seperti itu. Jangan sampai ketika terdakwa dihadirkan di persidangan memakai atribut keagamaan padahal di luar persidangan terdakwa justru tidak pernah memakai atribut-atribut seperti itu. Kan, tidak benar. Jadi jangan sampai (atribut keagamaan) disalahgunakan, kecuali jika memang dalam kesehariannya (terdakwa) sudah biasa menggunakannya. Untuk itu, dalam persidangan di muka pengadilan, terdakwa diminta menggunakan pakaian sopan dan rompi tahanan sesuai dengan standar di lingkungan Kejaksaan.
Apa arahan Presiden ihwal penanganan kasus korupsi?
Secara umum, Bapak Presiden Joko Widodo pernah memberikan arahan kepada kami agar membenahi institusi Kejaksaan. Seketika itu juga saya langsung berfokus dan mulai mengidentifikasi beberapa permasalahan serta program apa saja yang sedang berjalan di Kejaksaan. Kemudian saya juga mulai berpikir bagaimana mengembalikan marwah Kejaksaan. Prioritas utama kami untuk memperbaiki kinerja Kejaksaan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melakukan reformasi birokrasi, dan mewujudkan kejaksaan digital. Ini sebagai tindak lanjut salah satu program prioritas nasional sekaligus kebutuhan utama agar sumber daya manusia Kejaksaan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Upaya-upayanya meliputi penjeraan bagi pelaku tindak pidana khusus (korupsi) dan efek penjeraan (deterrent effect) kepada masyarakat; optimalisasi pemulihan aset sebagai upaya penyelamatan dan pemulihan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana khusus (korupsi); serta peningkatan penerimaan negara bukan pajak sebagai kemanfaatan praktis pencegahan dan penindakan tindak pidana khusus (korupsi).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo