Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RADIX malorum est cupiditas. Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, perlu merenungi pepatah Latin ini. Artinya, akar kejahatan adalah nafsu. Untuk memenuhi nafsu, seseorang perlu menginjak hukum dan etika. Lili kembali harus berurusan dengan sidang etik karena diduga menerima gratifikasi fasilitas menonton balapan MotoGP di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini bukti gratifikasi itu lebih telak dibanding pelanggaran etika kasus di Tanjungbalai, Sumatera Utara, tahun lalu. Pada waktu itu ia bertemu dengan orang yang beperkara. Lili hanya mendapat sanksi pemotongan gaji yang tak seberapa. Gratifikasi MotoGP melibatkan lembaga badan usaha besar di Indonesia.
Jika dulu ia bisa “memitigasi” pelanggaran etik karena berkaitan dengan kasus yang ditangani KPK dan orangnya telah ditahan, kali ini tidak. Bahkan ini melibatkan orang yang lebih banyak. Bisa jadi itu penyebabnya ia mundur dari jabatan Wakil Ketua KPK dengan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Alih-alih karena rasa bersalah, mundurnya Lili lebih terasa sebagai upaya menghindari sidang etik Dewan Pengawas KPK.
Ada setidaknya tiga bola panas yang dilemparkan Lili Pintauli Siregar dari keputusannya mundur. Pertama, bola panas ke arah Dewan Pengawas KPK. Pilihan Dewan Pengawas menghentikan perkara itu terasa rapuh. Memang, pada satu sisi, Dewan sangat mungkin berdalih mereka tak bisa mengadili Lili karena ia bukan lagi komisioner KPK.
Dewan melupakan satu tugas besar dalam konteks membangun etika internal KPK dalam penegakan etik yang memadai. Dewan seakan-akan hanya mau memenuhi pelaksanaan tugas, bukan menegakkan etika organisasi KPK. Padahal sangat terbuka kesempatan bagi Dewan Pengawas untuk menafsirkan peraturan mereka sendiri tentang pemeriksaan semacam ini.
Begitu pula alasan Dewan Pengawas KPK tak perlu lagi ada sidang etik karena ujung pengadilan ini adalah pejabat seperti Lili mundur dari KPK. Ini menunjukkan betapa lemah cara pandang Dewan Pengawas dalam menegakkan etik. Tentu ada perbedaan penekanan jika mereka merekomendasikan Lili mundur dengan bukti bersalah secara etik. Bukan soal harus mengatakan seseorang bersalah, Dewan Pengawas KPK akan menunjukkan betapa serius lembaga ini menegakkan etik di KPK.
Kasus terdahulu Lili seharusnya menjadi pembelajaran betapa mandulnya sistem pengawasan di KPK. Kala itu Lili mendapat sanksi. Kesalahannya terbukti dan seharusnya ini bisa menjadi bekal Dewan Pengawas menyatakannya sebagai pelanggaran pidana. Di KPK, bertemu seseorang yang punya perkara hukum terancam sanksi pidana, hukuman bui. Tapi Dewan Pengawas KPK berdalih mereka bukan pihak yang bisa melaporkan pelanggaran Lili Pintauli Siregar ke polisi meski kesalahannya fatal. Di kepolisian sama saja. Ketika masyarakat sipil mencoba melaporkannya, polisi menolak laporan karena pelanggaran tersebut merupakan bagian yang harus diselesaikan di Dewan Pengawas KPK.
Gagap Dewan Pengawas KPK sudah bisa ditebak. Dewan ini punya problem dalam melaksanakan tugas kelembagaan. Pasal 37B Undang-Undang KPK yang berlaku saat ini memberi mandat pembentukan Dewan Pengawas tanpa jelas kewenangannya. Coba bandingkan dengan Pasal 12 dalam Undang-Undang KPK yang sama untuk para komisioner, yang lebih merincikan wewenang dalam menjalankan tugas. Itu hanya salah satu dari sekian banyak kelemahan dan involusi Undang-Undang KPK setelah direvisi pada 2019.
Kedua, bola panas Lili Pintauli Siregar seharusnya meluncur ke aparat penegak hukum. Akankah dugaan pidananya, setidaknya kemungkinan gratifikasi, akan dilanjutkan oleh penegak hukum kita? Jika berkaca pada kasus sebelumnya, kemungkinan itu sangat kecil, kecuali jika ada faktor lain yang membuat aparat penegak hukum lebih berani mengusut pelanggaran hukum Lili.
Padahal perkara pelanggaran etika seperti ini tidak boleh dibiarkan, baik oleh Dewan Pengawas maupun penegak hukum. Makin permisif, apalagi melibatkan lembaga yang pernah diharapkan memberantas korupsi dengan baik, beban kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi makin berlipat.
Jika membandingkan Undang-Undang KPK sebelum direvisi, kita mudah menemukan bahwa memang pemberantasan korupsi makin buruk. KPK bukan lagi lembaga yang dianggap memiliki kepercayaan tinggi. Survei Indikator Politik pada Juni 2022 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan agenda pemberantasan korupsi menurun. Pemberantasan korupsi, jika dipetakan menjadi baik, sedang, atau buruk, mayoritas masyarakat Indonesia menganggapnya sedang-buruk (36,2 persen).
Lebih dari setahun tren negatif ini terus terjadi. Adapun tingkap kepercayaan publik kepada KPK terus menurun sejak undang-undang diubah dan komisioner baru masuk. Sekarang kepercayaan atas KPK sudah memasuki nilai terendah di antara aparat penegak hukum lain. Belum lagi indeks persepsi korupsi Indonesia yang memang turun drastis. Perkara Lili, bisa jadi, semacam pembuktian masuknya komisioner berkualitas abal-abal.
Ketiga, bola panas kepada Presiden. Dalam Undang-Undang KPK diatur, jika terjadi kekosongan komisioner, penggantinya adalah satu dari lima kandidat yang tidak terpilih. Presiden punya kewajiban menyodorkan dua kandidat untuk dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Masalahnya, dari nomor urut pilihan di DPR yang lalu, dari lima yang tidak terpilih, dua di antaranya tak punya dukungan. Kandidat nomor 6, Sigit Danang Joyo, adalah orang yang belum cukup umur jika dikaitkan dengan syarat menjadi komisioner KPK minimal 50 tahun dalam Undang-Undang KPK versi revisi.
Ini akan menjadi ujian bagi konsistensi Presiden dan DPR karena Nurul Ghufron, komisioner yang menjabat sekarang, belum berusia 50 tahun ketika ia terpilih pada 2019. Artinya, salah satu komisioner di KPK saat ini tidak memenuhi syarat usia menjadi komisioner KPK menurut undang-undang. Pada waktu itu alasan pembenaran tetap menerima Ghufron adalah Undang-Undang KPK sebelum revisi mensyaratkan usia minimal menjadi komisioner KPK adalah 40 tahun. Jika Presiden dan DPR konsisten, kandidat nomor 6 yang belum cukup usia 50 tahun bisa menggantikan Lili. Sebab, proses seleksi komisioner KPK 2019-2024 menggunakan undang-undang sebelum revisi.
Akan menarik melihat apakah kandidat nomor 6 mendapatkan dukungan Presiden atau DPR. Sejauh mana konsistensi pemerintah dan DPR ihwal tafsir “cukup umur” menjadi komisioner KPK ini? Jika mereka menyatakan usia kandidat nomor 6 belum cukup, mudah mengatakan bahwa ia bukan “jagoan” pemerintah dan DPR. Sebaliknya, jika pemerintah dan DPR mencari alasan pembenaran seperti saat menerima Ghufron, berarti dia adalah “jagoan” pemerintah dan DPR.
Soal “jagoan” ini kita semua paham jebakan pemilihan komisioner ala KPK sebenarnya memperlihatkan pengkubuan kandidat komisioner. Komisioner KPK yang terpilih nyaris selalu berinduk pada partai atau kelompok tertentu untuk lolos menjadi komisioner dan terpilih dalam fit and proper test. Artinya, untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Lili, pertanyaan menariknya adalah apakah kursi kosong Lili akan diisi oleh kandidat partai/lembaga tempat Lili berinduk ataukah akan diganti dengan konfigurasi baru partai di DPR yang punya relasi dengan pemerintah.
Masuknya orang baru belum tentu mengubah sistem yang korup. Mengapa? Karena KPK sudah makin jauh dari harapan publik. Kemampuan KPK menangani perkara korupsi makin mengkhawatirkan. Nyaris tidak ada lagi perkara yang terselesaikan dengan baik. Jika indikator penyelesaian perkara adalah kemampuan mengungkap perkara secara detail, membawa semua yang terkait pada perkara ke proses hukum, dan menciptakan cara agar kejadian koruptif tersebut tidak berulang, KPK saat ini tidak masuk kualifikasi.
Beberapa kasus yang berkaitan dengan jabatan tertentu di partai politik menguap tanpa detail-detail peta kasusnya. Gegap gempita program pencegahan korupsi tak jelas tolok ukur kinerjanya. Sektor-sektor unggulan dalam mencegah dan menindak korupsi kini tak lagi jadi fokus kerja KPK, seperti menangani korupsi sektor sumber daya alam. Dulu, KPK serius menangani korupsi di sektor ini dengan melibatkan ahli dan lembaga swadaya masyarakat untuk memetakan, mengendus, menindak, dan mencegahnya.
Pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar sudah membuktikan KPK makin lemah. Tiga bola panasnya akan menantang pembuktian seberapa serius negara membangun sistem pemberantasan korupsi. Pengganti Lili akan menjadi penentu apakah ia mewarnai KPK kembali menjadi lembaga terhormat yang bisa diandalkan dalam memberantas korupsi atau hanya pelengkap komisioner yang sekarang ada saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo