Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabut asap yang melanda sebagian wilayah Indonesia membuat Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek harus mondar-mandir Jakarta-Sumatera-Kalimantan selama dua pekan terakhir. Nila harus melakukan itu karena ingin memastikan pelayanan kesehatan di daerah terdampak asap dilakukan dengan baik. "Saya tiga kali pergi ke Palangkaraya selama dua pekan ini," kata Nila, Selasa pekan lalu.
Sudah lebih dari empat bulan kebakaran hutan di dua pulau itu belum juga teratasi. Korban pun mulai bertumbangan, baik yang jatuh sakit maupun meninggal, karena dampak langsung paparan asap. Di antara korban itu terdapat bayi. Kementerian Kesehatan tak pelak menuai sorotan tajam dan dinilai lamban dalam mengantisipasi bencana kemanusiaan ini.
Dokter kelahiran Jakarta 66 tahun silam ini membantah kantornya bereaksi lamban. Menurut dia, serangkaian kerja sudah dilakukan, dari menyiagakan puskesmas, mendirikan tenda isolasi, hingga mendrop obat-obatan. "Silakan menganggap kami enggak kerja," kata Nila.
Wartawan Tempo Stefanus Pramono, Cheta Nilawaty, Mitra Tarigan, Nur Alfiyah, Raymundus Rikang, Rusman Paraqbueq, videografer Ryan Maulana, dan fotografer Frannoto menemui Nila dalam dua kali kesempatan untuk wawancara di ruang kerjanya. Istri mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek ini antusias menjawab semua pertanyaan seputar dampak kabut asap dan kinerja kementerian yang ia pimpin.
Namun, saat ditanya ihwal kasus gratifikasi terhadap kalangan dokter dari perusahaan obat, bahasa tubuhnya berubah. Berkali-kali Nila mengubah posisi duduknya. "Jangan membuat polemik," kata dia.
Dalam setiap sesi wawancara itu, Nila selalu didampingi Staf Khusus Menteri Bidang Peningkatan Kemitraan dan Pelayanan Kesehatan Primer, Diah Saminarsih. Pada kesempatan kedua, Nila juga mengajak Staf Khusus Menteri Bidang Tata Kelola Pemerintahan Yudhi Prayudha Ishak, yang ikut diminta memberi pendapat tentang kasus gratifikasi dokter.
Bencana asap sudah berlangsung beberapa bulan. Apa yang sudah dikerjakan Kementerian Kesehatan?
Saya berkunjung ke Sumatera dan Kalimantan beberapa kali, sebelum Presiden Joko Widodo pergi ke Amerika Serikat dan mendampingi selama beliau berkantor di daerah terdampak asap sepulang dari lawatan itu.
Saya memastikan puskesmas sangat siap menangani pasien infeksi saluran pernapasan. Alat yang tersedia juga representatif. Rumah sakit juga bagus dalam melayani pasien. Saya juga menjumpai ada rumah singgah di Palangkaraya milik Kementerian Sosial yang menampung warga terdampak. Akhirnya, kementerian juga mendirikan tenda isolasi.
Apa yang terdapat di tenda isolasi ini?
Di tenda isolasi, udara betul-betul murni dan bersih. Dibuat dengan dua lapisan sehingga asap tak bisa masuk. Jadi, dokter berjaga sambil mencari pasien yang diajak masuk ke tenda lokasi agar mendapat udara yang murni. Sayangnya, tenda isolasi harus pakai penyejuk udara sehingga perlu aliran listrik.
Berapa tenda isolasi yang didirikan kementerian?
Total ada sembilan, yang sifatnya temporer dan bisa dibongkar jika sudah tak dibutuhkan. Kementerian juga memanfaatkan pemondokan haji di sana untuk rumah singgah. Di pemondokan haji banyak kamar dan sudah ada tempat tidurnya. Kami tinggal menambahkan area permainan anak saja di pemondokan.
Bagaimana dengan obat-obatan?
Kami memberikan 48,2 ton obat-obatan dan masker. Kami telah mengirim surat untuk mengantisipasi dampak asap sejak April. Pusat penanggulangan krisis kesehatan juga sudah berdiri di Sumatera dan Kalimantan. Semua kebutuhan seperti makanan tambahan, obat, dan oksigen tetap kami carikan dan kami penuhi. Silakan menganggap kami enggak kerja.
Lalu kami membagikan 7.556.160 lembar masker. Dengan jumlah sebanyak itu, masih mau disebut Kementerian tak bergerak? Kami sampai tak punya persediaan masker dan obat lagi. Habis.
Persediaan masker habis, bagaimana jika sewaktu-waktu butuh lagi?
Pak Luhut juga tanya begitu. Saya bilang Kementerian harus selalu punya stok. Makanan tambahan juga harus tersedia. Biar distributornya yang mencari dan kalau diminta mesti ada.
Harga oksigen dikabarkan melonjak drastis di Sumatera dan Kalimantan?
Itu pasti. Perasaan saya mengatakan demikian. Mohon maaf sebelumnya, kalau berjiwa bisnis, saya akan berjualan. Mengingat kebutuhan sedang tinggi, orang akan berjualan dengan harga tinggi. Itu namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Pemerintah mengerahkan kapal perang untuk mengevakuasi warga. Bagaimana menurut Anda?
Sewaktu rapat memang heboh karena Panglima TNI mengerahkan kapal, sehingga seolah-olah seluruh warga kota mau dievakuasi. Saya justru bilang tak mungkin mengevakuasi dengan metode itu karena berisiko. Pertimbangannya soal jarak. Kalau pasien meninggal di jalan, saya yang kena. Tenaga medis saya yang harus bertanggung jawab.
Jadi, Anda tak sepakat dengan kebijakan evakuasi yang diterapkan pemerintah?
Tidak sepakat. Memangnya mau berapa banyak yang bisa dievakuasi?
Lalu, apa solusi Kementerian?
Kalau perlu perawatan ringan ke puskesmas dahulu saja. Puskesmas itu ujung tombak. Kalau infeksi sudah sampai ke paru-paru, barulah dirujuk ke rumah sakit, sehingga penanganannya berjenjang.
Kami juga minta agar ruangan berpenyejuk udara dipakai sebagai ruang evakuasi atau sebagai rumah singgah. Tapi tetap saja lokasi itu sepi.
Kenapa demikian?
Pertama, warga tak bisa meninggalkan rumah mereka. Kedua, jika pergi ke rumah singgah atau lokasi evakuasi, mereka harus mengajak satu keluarga. Ini yang bikin masyarakat Sumatera dan Kalimantan enggan meninggalkan rumah.
Sejauh ini ada berapa balita yang meninggal karena asap?
Tak bisa saya mungkiri bahwa ada balita yang meninggal karena asap. Ada yang usianya baru sebulan dan lahir prematur, karena paru-parunya belum baik dan enggak kuat. Catatan saya terakhir ada 20 balita. Angka ini juga berbeda-beda. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sudah meminta agar data itu diklarifikasi.
Apa dampak jangka panjang bagi balita atau warga yang terpapar asap?
Saya belum berani menjawab. Namun tipe kebakaran itu berbeda-beda. Hutan di Indonesia terbakar harus dilihat tanahnya di mana, mengandung pestisida atau tidak. Kalau kebakaran di Amerika atau Australia kebanyakan ilalang saja. Faktor itu yang menentukan jenis partikel di dalam asap. Sejauh ini tak ada hubungan antara kebakaran dan penyakit kronis.
Banyak yang beranggapan bahwa asap bisa memicu kanker...
Itu belum bisa dibuktikan. Sekarang Kementerian sedang meneliti hipotesis itu, yang melibatkan dokter spesialis paru-paru dan Pusat Penelitian Kementerian. Tapi kanker merupakan penyakit multifaktor. Perubahan selnya tak bisa diprediksi karena beragam sebab.
Pemerintah daerah termasuk cepat atau lambat menangani dampak asap untuk kesehatan?
Dinas kesehatan di provinsi dan kabupaten bekerja ekstrakeras menangani masalah ini. Dokter-dokter bersiaga 24 jam. Sampai-sampai saya menampung curhat dari dokter dan perawat yang punya keluarga dan ikut terdampak asap juga.
Bagaimana penanganan bencana asap dari sisi kesehatan di masa mendatang?
Kementerian tetap menentukan tindakan preventif. Jadi, kalau melihat ada kebakaran atau asap dan tahu ada dampak kesehatannya, alangkah baiknya segera diatasi apinya. Misalnya, Anda punya dapur dan terbakar. Apakah Anda tetap diam? Tentu tidak. Diam boleh tapi risikonya rumah Anda ludes dilalap api.
Pemda tetap digandeng untuk mengatasi masalah asap ini di masa depan?
Saya berharap pemda bisa bergerak lebih cepat. Sejauh ini mereka berpikir memadamkan api dahulu. Penanganan kesehatan masih menjadi prioritas kesekian karena fokus memadamkan api. Intinya, masalah kesehatan ini berada di hilir. Sementara masalah yang di hulu ialah pemadaman api.
Majalah Tempo edisi 2-8 November 2015 menurunkan laporan investigasi tentang harga obat yang meroket dan persekongkolan perusahaan farmasi dengan dokter. Kenapa harga obat di sini mahal sekali?
Harga obat di Indonesia menjadi mahal karena perusahaan farmasi masih mengimpor bahan baku. Kegiatan impor ini sangat bergantung pada nilai tukar rupiah terhadap dolar. Jika harga dolar naik, harga bahan baku obat juga meningkat.
Analoginya, pabrik obat itu beli tepungnya, ramu, bungkus, dan jual. Tapi lupa untuk belajar dan membuat tepung itu di dalam negeri. Mereka terlena dan itu diakui oleh pabrik obat. Setelah harga bahan baku mahal, barulah mereka kaget.
Ada faktor lain?
Perusahaan membeli bahan baku obat dari luar negeri harus bayar pajak impor. Mereka membuat obat lalu dikenai pajak produksi. Ditambah lagi saat dipasarkan ada pajak penjualan. Jadi, ada tiga kali pajak sepanjang rantai produksi hingga distribusi obat.
Apa terobosan untuk menyiasati dua faktor itu?
Saya minta Gabungan Perusahaan Farmasi membuat bahan baku obat di dalam negeri. Saya tantang mereka begitu karena Indonesia punya banyak tanaman yang bisa menjadi bahan baku obat. Namun varian obat itu banyak sekali sehingga tak semua bahan bisa dibuat sendiri.
Mengapa perusahaan farmasi dalam negeri belum mampu membuat bahan baku sendiri?
Tanaman dan bahan baku obat perlu diteliti lebih lanjut dan memerlukan clinical trial yang cermat. Proses ini yang berat karena harus membuktikan obat itu aman dikonsumsi. Negara tertentu tak melewati proses percobaan itu. Mereka punya evidence base yang membuktikan obat aman dan berkhasiat untuk tubuh. Contohnya di Indonesia yakni jamu. Tapi tak semua obat bisa seperti jamu itu karena perlu pengujian yang panjang.
Investigasi Tempo menemukan ada dokter yang menerima komisi setelah meresepkan obat dari perusahaan farmasi tertentu....
Bukan. Jadi, misalnya, bisa juga saya diberi hadiah agar pakai obat merek A. Tapi saya tak perlu diberi hadiah dengan memakai obat merek A karena tahu obatnya bagus. Jangan menuduh semua dokter menerima komisi.
Artinya, memang ada komisi untuk dokter yang meresepkan obat tertentu?
Saya rasa sebenarnya ada uang promosi. Tapi saya menghendaki diberikan secara adil. Misalnya untuk sekolah, pendidikan, dan menambah keahlian dokter. Apakah itu salah? Intinya harus diatur dengan jelas.
Anda sepakat dengan pemberian komisi untuk dokter dari meresepkan obat?
Saya setuju sepanjang itu diatur dengan ketat dan tidak individual. Kalau individual, semuanya berantakan. Misalnya begini: saya dokter bergelar profesor mau mengadakan presentasi makalah ke luar negeri. Nanti bisa-bisa minta ke perusahaan farmasi agar membayari anggota keluarga yang ikut. Jadinya semena-mena.
Bagaimana cara mengaturnya?
Jadi, pemberian itu sebaiknya tak langsung ke dokter, tapi bisa lewat perhimpunan, rumah sakit, atau kampusnya. Institusi ini akan menilai bahwa dokter yang bersangkutan memang bagus dan makalahnya layak dipresentasikan di forum internasional untuk membawa nama Indonesia, sedangkan dokter tersebut kebetulan tak punya biaya.
Kementerian sudah merancang aturan tentang komisi dari perusahaan farmasi?
Saya belum memutuskan. Menurut saya, jika pabrik obat ada uang promosi, harus dan wajib diatur dengan baik. Tidak individual. Tidak juga untuk jalan-jalan, tapi untuk menambah pengetahuan dan memberi apresiasi pada dokter dan tenaga medis yang punya karya bagus.
Menggandeng lembaga lain untuk mendiskusikan soal komisi yang diterima para dokter?
Kementerian sudah berdiskusi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai apa yang disebut gratifikasi. Apa yang boleh dan apa yang tak boleh. Ikatan Dokter Indonesia juga sudah kami ajak diskusi. Tapi belum sampai pada keputusan yang solid.
Saran KPK?
Saya sudah berdiskusi dengan KPK sewaktu masih dipimpin Abraham Samad. Pada dasarnya bisa ada komisi tapi untuk pendidikan dokter dan dibuatkan aturan yang transparan. Tapi, kalau dipakai untuk menambah kekayaan, jelas dilarang.
Saya rasa, kalau pemerintah mau mengatur, bisa saja. Tapi persoalan ini belum beres. Lebih baik setelah selesai dan ada aturan yang jelas baru kita bicara. Maka saya ingin duduk bersama KPK dan IDI. Lebih-lebih IDI membawahkan semua dokter. Bila mereka setuju dengan adanya pengaturan itu, mari dikeluarkan dan disosialisasikan bersama. Jika belum beres, bisa jadi polemik dan para dokter marah. Jangan menyalahkan dokter terus karena dokter itu masih punya hati nurani.
Anda yakin ide pengaturan komisi ke institusi bisa berhasil?
Ya, kalau diberikan individu per individu bisa ada ekses. Sementara bila hadiah ini dikelola oleh organisasi bisa untuk dipakai keperluan organisasi, seperti seminar nasional yang mendatangkan tenaga kesehatan masyarakat dari daerah terpencil. Ide ini juga sedang kami diskusikan dengan KPK.
Tapi ada kecenderungan pasien membayar obat yang mahal karena pemberian resep yang tak perlu?
Betul, maka tadi saya bilang ada ekses. Saya sedang mencoba mengurangi ekses itu. Pemberian komisi sudah dari dahulu berlangsung namun tak pernah diributkan. Padahal mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
Apakah banyak yang menolak sehingga Kementerian sulit menegakkan aturan tentang gratifikasi itu?
Pasti banyak yang resisten.
Menurut investigasi Tempo, dokter yang terlibat kebanyakan pegawai negeri...
Semua dokter pegawai negeri, susah sekarang cari dokter yang bukan pegawai negeri. Jangan dipukul rata seperti itu. Kasihan dokter yang baik-baik. Dokter enggak mau kerja lagi nanti.
Ada dokter yang mengakui pernah menerima komisi dari perusahaan farmasi...
(Itu soal) hati nurani dia. Barangkali untuk membawa makalah penelitiannya ke seminar internasional.
Ada juga anggapan, sebagian dokter main mata dengan pabrik obat untuk mengembalikan biaya sekolah yang mahal?
Saya paling enggak senang dengan anggapan itu. Fakultas Kedokteran UI pernah menghitung biaya uang kuliah per semester. Hasilnya ialah ongkos pemakaian fasilitas studi selama satu semester lebih besar daripada biaya kuliah. Ada subsidi pendidikan dan intangible cost yang dipikirkan oleh masyarakat.
Pemberian komisi dari meresepkan obat apakah juga ada kaitannya dengan kompetisi perusahaan farmasi?
Kalau dokter melihat praktek enggak benar, ya, jangan diterima. Maka, jika mengacu pada sistem yang saya jelaskan di atas, dokter tak boleh dan tak perlu tahu dari mana makalahnya disponsori. Uang itu disimpan dan dikelola oleh organisasi.
Faktanya, harga obat tetap mahal...
Saat saya menjadi menteri, sudah ada yang namanya e-catalogue. Sistem ini sangat menolong mengatur spesifikasi dan harga obat dan alat kesehatan. Mulanya beberapa perusahaan obat mendaftarkan produknya lewat Formularium Nasional. Lalu Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menentukan produk mana yang baik dengan harga termurah. Produk itu masuk daftar barang e-catalogue.
Jika saya punya rumah sakit dan mau beli obat, tinggal buka saja e-catalogue itu dan pesan obat yang harganya murah. Setiap rumah sakit harus membeli obat dari e-catalogue. Sistem ini menghindari pembelian obat yang lebih mahal di luar sistem.
Harga obat itu sudah sama dan tak bisa dinaikkan untuk bayar dokter. Lebih-lebih pada 2019 ada Universal Health Coverage, yang menjamin pemerataan layanan kesehatan.
Anda yakin pada 2019 tak ada lagi obat mahal karena resep yang tak perlu?
Kalau semua warga Indonesia sudah terdaftar di BPJS, pembelian obat itu harus lewat e-catalogue.
Berarti e-catalogue ini kunci mengurangi pemberian komisi perusahaan farmasi untuk dokter?
Pasti berkurang.
Nila Djuwita F. Moeloek Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 11 April 1949 | Pendidikan: Guru besar Fakultas Kedokteran UI (2007); S-3 Pascasarjana Fakultas Kedokteran UI (2003); Konsultan Onkologi Mata (1998); Superspesialisasi, Kobe University, Jepang (1989); Superspesialisasi, University of Amsterdam, Belanda (1980); Spesialis Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran UI (1974); S-1, Fakultas Kedokteran UI (1968) | Karier dan Organisasi: Menteri Kesehatan RI (2014-sekarang); Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (2011-sekarang); Ketua Umum Yayasan RS Mata Aini (2011-sekarang); Ketua Umum Persatuan Dokter Mata Indonesia (2010-sekarang); Utusan Khusus Presiden RI untuk MDG's (2010-2014); Ketua Medical Research Unit Fakultas Kedokteran UI (2007-2011); Staf pengajar Departemen Mata, Fakultas Kedokteran UI (1974-sekarang) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo