Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Tidak Aman, Saya Sudah Digugat

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto:

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terawan Agus Putranto. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENUNJUKAN Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan pada 23 Oktober lalu menjadi sorotan publik. Polemik mencuat berkaitan dengan metode “cuci otak” yang digagasnya memantik kontroversi.

Pro-kontra tak lepas dari perseteruannya dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) setelah keluarnya keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 12 Februari 2018. PB IDI menilai metode “cuci otak” untuk pengobatan -stroke belum pernah diuji klinis pada manusia. Adapun Majelis menyarankan izin praktik Terawan dicabut karena dianggap melanggar etik berat lantaran ia mengiklankan diri soal terapi “cuci otak” dengan metode digital subtraction angio-graphy (DSA) dan intra-arterial heparin flushing (IAHF). Saat Terawan muncul sebagai kandidat pengganti Nila Djuwita Moeloek, Majelis pun melayangkan surat yang menolak merekomendasikan dia sebagai Menteri Kesehatan.

Terawan, 55 tahun, mengklaim metode “cuci otak”-nya itu dapat membersihkan penyumbatan pembuluh darah otak—yang menjadi penyebab stroke—dengan injeksi heparin, obat pengencer darah. Pasiennya dari kalangan awam, pejabat, hingga selebritas. Sejak mempraktikkan metode itu lebih dari satu dasawarsa silam, Terawan mengatakan pasiennya terus membeludak, termasuk ribuan orang dari beberapa negeri jiran.

Terawan memilih cuek menghadapi pro-kontra yang muncul. Pensiunan jenderal bintang tiga yang pernah menjabat Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, ini mengatakan hubungannya dengan PB IDI tidak ada masalah. “Kalau ini menjadi polemik terus, tidak menyehatkan,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Rabu, 20 November lalu.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Aisha Shaidra, Nur Alfiyah, dan Raymundus Rikang, Terawan menjelaskan perihal terapi “cuci otak” dan disertasinya yang menuai kontroversi. Ia juga membicarakan tugasnya dalam mengatasi stunting, karut-marut pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan harga obat yang kian mahal.

 

Bagaimana sebenarnya hubungan Anda dengan PB IDI?

Lha wong enggak ada persoalan kok dipersoalkan. Inilah persepsi yang kebetulan dilakukan kelembagaan atau organisasi. Semua regulasi jangan bersandar pada asas kekuasaan. Apalagi menyangkut etik, kok pendekatannya kekuasaan. Itu tidak masuk akal. Kalau ini menjadi polemik terus, tidak menyehatkan.

Metode “cuci otak” dipermasalahkan karena seharusnya hanya digunakan untuk mendiagnosis penyakit pembuluh darah, tapi Anda menggunakannya sebagai metode pengobatan.

Lha itu kan tergantung ilmunya. Dia ilmunya sampai mana. Kalau ilmunya baru sampai diagnosis, ya, pandangan dia diagnosis. Kalau ilmunya sudah sampai ke terapi, treatment, ya, dia akan membuka itu semua. Itu hanya alat. Misalnya saya melakukan kateterisasi, lalu ketemu (penyumbatannya), apakah saya berhenti? Kan, tidak. Saya lanjutkan. Bahwa ini ada ancaman, ya, harus saya kerjakan.

Bagaimana Anda mengetahui itu keputusan tepat?

Kami evaluasi sebelum dan sesudahnya, ternyata hasilnya menguntungkan. Kalau hasilnya menguntungkan, kenapa terapinya ndak diberikan kepada pasien?

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran menyatakan Anda telah melakukan pelanggaran etik berat.Pembelaan Anda?

Kalau orang menyelesaikan riset S-3 harus lulus bioetik dulu oleh universitas. Universitas itu lembaga terpandang, lho. Saya lebih percaya lembaga pendidikan dong, yang telah mengeluarkan ethical clearance, sehingga saya bisa melanjutkan riset dan sudah selesai S-3.

Anda mengantongi ethical clearance dari kampus mana?

Universitas Hasanuddin, Makassar.

Tapi lulus tahap bioetik berbeda dengan melakukan uji klinis.

Ini berbeda lagi. Uji klinis yang Anda maksud kan uji pada binatang. Itu ndak perlu karena risetnya sudah ada. Riset bisa dimulai dari bawah, tengah, atau ujung. Kalau dari bawah, waktu bisa habis hanya sampai uji binatang. Lha wong orang lain sudah sampai manusia kok Anda masih sampai binatang. Orang lain sudah penerapan, sudah menjual, lha kita kapan mau jadi leader.

Berarti ada tahap yang Anda lewati dalam riset metode “cuci otak”?

Ada tahap yang bisa dilewati kalau sudah diriset orang lain. Bahwa DSA itu aman, ya sudah, titik. Seluruh dunia memakai DSA sebagai diagnostik dan sebagainya. Kemudian riset yang lain mengatakan heparin yang aman adalah pada kisaran dosis tertentu. Ya sudah, pakailah dosis yang itu, tidak melebihinya. Berarti itu aman.

Apa riset yang Anda jadikan rujukan untuk pemakaian heparin?

Tinggal di-Google saja mengenai efektivitas dosis heparin intra-arterial. Zaman sekarang ndak ada yang bisa ditutupi. Kemudian DSA angiografi pada otak. Lalu dilihat spesifikasi, sensitivitas, efek samping, dan komplikasinya. Itu semua pasti ada.

Berdasarkan penelusuran kami, salah satu rujukan yang Anda pakai untuk menyatakan metode ini aman adalah di Jerman.

Sebenarnya di Jerman tidak juga. Sebab, di Jerman itu hanya menyepakati apa yang saya kerjakan. Kalau ada satu-dua pasien dikerjakan di sana, itu sifatnya kebetulan. Bukan lantas ilmu saya dipakai di sana. Tapi mereka mengamini tindakan saya aman.

Benarkah literatur yang Anda kutip adalah tentang uji klinis terhadap hewan di sana?

Ndak ada. Sudah langsung manusia. Jangan salah kaprah. Pasien dari Vietnam saja sudah seribuan orang. Sebentar lagi 3.000 pasien dari Malaysia akan datang.

Menurut informasi yang kami temukan, Anda tidak secara terbuka menjelaskan dalam disertasi bahwa penelitian soal efek heparin dilakukan terhadap anjing.

Biarin saja. Aku enggak akan jawab, karena terserah universitas. Disertasi itu kan sudah melalui sidang. Ini diduga terus, lak repot aku.

Apakah Anda sebelumnya mencoba mendaftar program doktoral di Universitas Gadjah Mada?

Saya mendaftar di UGM untuk inovasi lain, yaitu membuat teknik pengukuran dari usus yang terstenosis (tersumbat) dengan cara membuat kateter khusus yang saya modifikasi. Hobi saya kan memodifikasi, sehingga dengan harga yang semula Rp 30 juta bisa menjadi Rp 500 ribu.

Bagaimana hasilnya?

Mereka menganggap inovasi yang saya ajukan lebih baik digarap oleh biomedik atau di engineering. Waktu itu saya mikir, aduh repot. Nah, saya kan punya banyak ide. Kalau itu ditolak, ya, saya punya ide lain. Saya kan researcher. Ide tidak berhenti di ilmu saya di bidang brainwash atau ilmu intra-arterial heparin flushing.

Inovasi Anda yang lain itu apa saja?

Pekerjaan saya banyak yang inovasi, termasuk intra-arterial cell therapy, sel yang saya masukkan ke organ. Itu pun saya harus mendapat ethical clearance. Tidak boleh sembarangan. Lalu TACHI (trans-artery chemotherapy infusion) yang saya kembangkan sekarang dipakai di seluruh daratan Cina.

Anda dokter satu-satunya yang menerapkan metode DSA dan IAHF di Indonesia?

Enggak. Semua murid saya di seluruh Indonesia mengerjakannya, hanya tidak terekspos. Di Solo ada yang mengerjakan empat hari lalu.

Tindakan medis untuk metode ini hanya bisa dilakukan di sini?

Seharusnya bisa di seluruh dunia, tergantung mau memakai atau tidak. Sing penting kan terbukti aman. Kalau tidak aman, saya sudah digugat. Ini sudah puluhan ribu pasien, lho.

Semuanya sembuh?

Tidak ada kata sembuh. Saya sebagai dokter belum pernah menyembuhkan pasien.

Lalu?

Ya pasiennya membaik saja. Saya tidak punya kewenangan sepenuhnya atas kesembuhan pasien. Ini tindakan multidisiplin yang harus melibatkan orang lain. Kalau pasien merasa belum membaik pun harus dicek penyebabnya dari mana. Jangan-jangan penyebabnya bukan dari otak saja, tapi bisa dari pencernaan atau dia mengidap penyakit autoimun.

Berapa dokter yang menangani pasien dengan metode “cuci otak” di RSPAD?

Delapan dengan saya. Tapi saya sebagai Menteri Kesehatan hanya mengawasi.

Anda masih berpraktik mengobati pasien?

Masih, sebatas konsultasi. Kalau memang ada emergency yang butuh teknik khusus, ya, saya turun.

Sejak kapan Anda menjalankan metode “cuci otak” ini?

Saya sudah mengerjakannya pada 2005-2006. Mungkin lebih dari 13 tahun. Selama ini saya diam saja. Begitu ada yang merasa terusik, ya ributlah, karena itu mendatangkan income yang luar biasa. Income yang besar selalu menggelitik orang lain.

Berapa biaya yang dikeluarkan seorang pasien untuk menjalani terapi ini?

Tergantung. Ilmu kawelasan juga ada. Kalau saya bilang enggak usah dibayar kan bisa.

Ada yang gratis?

Lho, banyak. Karena itulah kita di rumah sakit tidak boleh berorientasi bisnis, tapi sosial.

Paling murah berapa biayanya?

Tindakan DSA-nya sendiri sebenarnya murah. Yang mahal itu bahan habis pakainya. Kalau bahan habis pakainya mahal, ya, jatuhnya mahal. Seperti Anda ingin duct occluder (alat penutup) yang sekali pakai, bukan yang bisa dipakai ulang, atau tidak mau yang bikinan Jepang, tapi Jerman. Otomatis naik biayanya.

Pasien Anda beragam, dari orang biasa sampai pejabat dan figur publik. Bagaimana mematok harganya?

Pasien saya yang orang enggak punya juga banyak. Kiai juga ada. Patokannya kan rumah sakit. Jadi tarif itu ditentukan oleh Kementerian Keuangan, karena rumah sakit kan badan layanan umum. Tidak boleh mematok sendiri. Malah kalau menggratiskan boleh. Kalau pasien enggak mampu memangnya harus bayar? Padahal dia butuh untuk sembuh.

Jadi Anda tidak mengurusi soal biaya terapinya?

Saya enggak ngerti. Kalau kalian ingin mengetahui harganya, ya, lihat saja di RSPAD. Saya mana hafal. (Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, tarif terapi DSA saja di RSPAD berkisar Rp 24-25 juta.)

Apakah penerapan metode “cuci otak” bisa berdampak fatal?

Kalau fatal berhenti saja.

Apa efek samping terburuknya?

Paling tidak alergi. Kami bisa ambil tindakan. Maka itu dokter anestesi dan sebagainya duduk di situ mengawasi.

Bagaimana Anda menjelaskan risiko metode “cuci otak” kepada pasien?

Dia harus menandatangani selembar kertas yang isinya penjelasan oleh dokter, baru dia informed consent. Namanya otonomi pasien.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bersama Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas yang membahas program kesehatan nasional di Kantor Presiden, Jakarta, 21 November 2019. ANTARA/Wahyu Putro A

Apa saja yang dijelaskan kepada pasien?

Ya semuanya, termasuk efek samping, kemungkinan alergi. Itu dijelaskan detail kepada pasien. Kalau terjadi alergi, akan kami berikan obat ini, misalnya. Enggak usah khawatir. Di situlah kejujuran harus dikemukakan. Bahkan keluarga boleh masuk ruang operasi dan melihat tindakannya.

Pasien dalam kondisi sadar saat ditangani?

Sadar, bisa diajak mengobrol. Keluarganya juga boleh mengajak ngomong, berkomunikasi apa yang dirasakan. Itulah yang namanya keterbukaan dan transparansi dalam tindakan. Jadi jelas-jelas sangat etis.

Anda tetap menawarkan opsi tindakan meskipun kondisi pasien sudah stadium parah?

Kami jelaskan kondisinya. Apa keuntungan dan kerugiannya. Apa yang bisa dicapai dengan tetap melakukan (terapi DSA). Apakah peluangnya naik 5 persen, 70 persen, atau 100 persen. Itu dikemukakan. Yang penting ada risiko atau tidak. Kalau tidak ada risiko, do no harm, ya tidak jadi masalah.

Apa risiko terburuk yang pernah disampaikan kepada pasien?

Ya kematian kalau ndak bisa diatasi.

Kementerian Kesehatan membentuk satuan tugas untuk mengusut dugaan pelanggaran dalam metode “cuci otak”. Anda sudah mengetahui hasilnya?

Saya sudah disurati. Isinya saya bacakan, ya, “Tindakan Anda silakan dilanjut dengan research by services.” Bu Nila (Moeloek) yang tanda tangan. Jadi bukan dilarang, tapi diminta melakukan research by services, artinya pelayanan jalan terus.

Kapan Anda menerima suratnya?

Tahun lalu. Surat itu saya jadikan jimat, he-he-he....

Bagaimana penerapannya?

Saya menghasilkan banyak jurnal dari DSA. Tahun ini saja sudah delapan jurnal. Saya juga mengegolkan penanganan DSA untuk penyandang autisme. Ada dua orang yang mengerjakannya di Universitas Padjadjaran, Bandung, satu orang intervensi seperti saya, satu orang lainnya neurolog. Proposalnya sudah diterima, risetnya sudah jalan. Kemudian jurnal-jurnal internasionalnya sudah mulai terbit.

Prosedurnya memang seperti itu?

Ya, memang begitu seharusnya. Ini menunjukkan saya mengikuti perintah Menteri Kesehatan sebelumnya dengan melakukan research by services, dan itu sudah di-publish.

Salah satu poin penting dari investigasi satgas adalah ketidakpatutan Anda dalam mengutip sejumlah literatur untuk disertasi.

Itu kan menurut dia. Persepsi yang diterima adalah versi lembaga universitas. Universitas menerima, kok, dan itu sah.

Anda langsung memverifikasi ke anggota satgas?

Saya ngomong ke mereka, “Lho, kalau kamu enggak setuju, kalimatnya apa?”

Ada titik temu?

Saya ndak peduli titik temu karena tujuan saya adalah membawa itu ke ranah universitas sebagai lembaga yang sah. Jangan sampai kita seperti lembaga jalanan. Menurut saya enggak baik. Harus lembaga yang betul-betul kredibel, yaitu universitas.

 

Defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 32 triliun. Anda sepakat dengan kenaikan iuran hingga 100 persen mulai tahun depan?

Kalau dilihat laporannya, angka rasio klaim untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) di atas 400 persen. Bahkan ada yang nyaris 500 persen. Artinya, penggunaannya empat-lima kali lipat. Solusinya ya uang. Kalau hanya disubsidi tapi penggunaannya segitu, bayangkan apa yang terjadi. Disubsidi empat kali lipat saja belum mencukupi.

Dengan skenario seperti itu, defisit bisa ditekan sampai berapa persen?

Ya namanya doa, upaya.

Bagaimana perhitungannya?

Dewan Jaminan Sosial Nasional dan BPJS Kesehatan yang harus menghitung. Urusan saya sebagai Menteri Kesehatan mensosialisasi bahwa pemerintah mendorong pembiayaan yang besar, mendukung pelaksanaan BPJS melalui penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta penerima upah (PPU). Dari PBI saja sudah Rp 37,5 triliun. Sebelumnya Rp 26,7 triliun.

Faktanya sekarang banyak peserta BPJS yang menolak kenaikan iuran atau memilih turun kelas.

Negara wajib memelihara fakir miskin dan anak telantar. Mereka betul-betul dibiayai negara melalui PBI dan sebagainya. Artinya, negara ini sudah berbuat banyak.

Tapi jika belum melunasi premi tidak bisa mengakses layanan kesehatan.

Itu konsekuensi. Jadi harus dibedakan antara konsekuensi dan kewajiban.

Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menurunkan angka stunting. Bagaimana Anda menjawabnya?

Kan, terbukti angka stunting turun dari 37 persen menjadi 27 persen. Tinggal diperkuat lagi sehingga bisa merosot sampai di bawah keinginan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di bawah 20 persen. Melihat trennya pasti tercapai.

Caranya bagaimana?

Kami melanjutkan program Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat). Pemberdayaan kesejahteraan keluarga dan pos pelayanan terpadu bergerak bersama untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya asupan gizi. Usaha mikro, kecil, dan menengah didorong maju agar menyokong ketersediaan isi piring masyarakat. Yang berbeda, saya akan mengembalikan lagi fungsi pusat kesehatan masyarakat menjadi promotif dan preventif.

Daerah mana yang angka stunting-nya masih tinggi?

Menyebar dari Sumatera, Kalimantan, Jawa sendiri ada, bahkan di Papua. Saya tidak bisa menunjuk satu, nanti akan memunculkan preseden buruk.

Apa lagi tugas dari Jokowi untuk Anda?

Soal harga obat yang mahal dan penggunaan alat kesehatan produksi dalam negeri. Bagaimana obat enggak mahal, wong belum dibayar. Rumah sakit butuh obat, sudah dikasih. Dipasok lengkap, tapi belum dibayar. Ini dikeluhkan oleh gabungan pengusaha farmasi, obat, ataupun alat kesehatan. Mereka menanggung investasi dan jutaan karyawan. Supaya mencukupi, ya, harga obatnya dinaikkan.

 


 

Terawan Agus Putranto

Tempat dan tanggal lahir:
Yogyakarta, 5 Agustus 1964

Pendidikan:
Sekolah Perwira Militer Sukarela (1988-1989); S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1990); S-2 Spesialisasi Radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya (2000); S-3 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar (2013)

Karier:
Dokter Batalion 742, Mataram (1990-1992); Kepala Perawatan Kedaruratan Rumah Sakit Pusat Pendidikan Kesehatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1999); Anggota Tim Dokter Kepresidenan (2009-sekarang); Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (2015-2019); Menteri Kesehatan (2019-sekarang)

Penghargaan:
Bintang Mahaputra Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, Satya Lencana Dwidya Sistha, Penghargaan Penemu DSA dan Pengerjaan DSA Terbanyak dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (2017)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus