Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DR (HC) Ir Ciputra wafat pada 27 November dinihari di Singapura. Ia dikenang dari segala sisi. Di antaranya sebagai kolektor seni rupa yang sangat serius dan pencipta infrastruktur kesenian yang punya sangat banyak kelebihan.
Sebelum ia wafat, kelebihan-kelebihan itu sudah berkelindan dalam perbincangan banyak orang. Di antaranya dalam sidang dewan juri Anugerah Adhikarya Rupa 2014 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam sidang itu, Ciputra sebagai pendiri Ciputra Artpreneur diusulkan mendapat penghargaan. Namun sidang menolak usul itu lantaran sebagian juri masih ingin menimbang lebih jauh hubungan bisnis Ciputra dengan proyek keseniannya.
Usul berlanjut. Dua juri menyodorkan realitas betapa Pasar Seni Ancol yang digagas Ciputra pada 1975 telah berjasa menggairahkan apresiasi masyarakat luas terhadap seni rupa, setidaknya selama tiga dasawarsa. Juga betapa Pasar Seni Ancol telah mengajarkan ihwal entrepreneurship kepada ratusan atau bahkan ribuan seniman yang menjadi anggotanya. Eh, usul masih saja mental. Maka Ciputra dan institusi seninya tidak masuk daftar penerima anugerah yang diunjukkan pada Oktober 2014 itu.
Saya ikut menyesalkan gagal masuknya “Ciputra & Co” ini. Namun Menteri Mari Elka Pangestu berbisik menghibur, “Anugerah ini terlalu kecil untuk Pak Ciputra....” Adapun mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika, yang didapuk sebagai ketua dewan juri, berkata, “Jangan-jangan pada saatnya Ciputra yang memberi hadiah kepada kita,” katanya.
Entah kebetulan entah tidak, pada Agustus 2018 Ciputra memberikan trofi Ciputra Artpreneur kepada sejumlah institusi dan individu. Di antara penerima trofi itu tampak dua juri Anugerah Adhikarya Rupa. Dalam momen itu Ciputra berpidato, “Ini hadiah seni tertinggi dari saya. Itu sebabnya trofinya saya rancang sendiri sebagus-bagusnya.”
Ciputra adalah pengamat seni yang tak pernah putus. Ia pembaca sejarah seni yang cermat sehingga tahu titik historis mana yang pantas diangkat sebagai aksen. Salah satu yang dianggap aksentuatif adalah kritik pedas Sudjojono atas lukisan-lukisan Mooi Indie (Indonesia Jelita), yang “mazhab”-nya ditokohi Basoeki Abdullah. Kritik Sudjojono, yang mengatakan lukisan Basoeki dan konco-konconya hanya mengabdi kepada duit, dan ketenangan Basoeki dalam menerima kritik mengusik pikiran Ciputra.
“Saya ingin mempertemukan Pak Sudjojono dan Pak Basoeki, yang katanya berseteru selama 50 tahun,” ucapnya pada 1985. Atas ide itu, para petinggi Pasar Seni Ancol terpana. Agak mustahil, kata mereka. Pada masa penjajakan, saya mengatakan kepada Ciputra bahwa Basoeki itu aristokrat alot, sementara Sudjojono koppig sehingga mereka bakal susah dipertemukan. Ciputra berkata, seperti halnya membebaskan lahan yang sulit, semua ada cara positifnya. Ia lantas mengajak Affandi menjadi penengah.
Syahdan, Basoeki-Sudjojono-Affandi “terpaksa” setuju. Ciputra gembira sekali. Namun rasa sukses itu terganggu ketika Affandi tiba-tiba mengabarkan bahwa istrinya, Maryati, ingin ikut dalam pameran. “Pak Affandi mengatakan bahwa Maryati, yang ternyata tidak suka lukisan suaminya, adalah penggemar Basoeki Abdullah.” Ciputra pun bersidang mencari jalan agar kehadiran karya Maryati tidak merusak kurasi sejarah. Kesungguhan Ciputra dalam perhelatan ini sekali lagi ditunjukkan lewat kegusarannya ketika melihat katalog pameran “Tiga Maestro Menguak Takdir” tersebut tercetak jelek.
Ciputra tidak ingin ketinggalan sepur seni rupa. Pada 1996, ia mencuatkan ide kompetisi desain patung untuk sejumlah kompleks perumahan yang ia bangun. Patung-patung itu disyaratkan bisa untuk monumen, taman publik atau rumah, sampai interior.
“Pilih sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, tambah hadiahnya,” ujarnya kepada dewan juri.
Kehadiran Ciputra mengejutkan peserta pertemuan lantaran sesungguhnya sang bos tidak perlu-perlu amat datang dalam acara itu. Melihat ada Ciputra, salah seorang juri mengontak Joop Ave, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Dengan ilmu cepat, Joop tiba-tiba nongol dalam pertemuan. Kini balik Ciputra yang terkejut. Melihat Ciputra terperangah, Joop menjawab tangkas, “Saya ingin bertemu dengan Pak Ci, the master of beauty Indonesian housing complex.” Ciputra berkeyakinan, yang menelepon Joop adalah Nyoman Nuarta.
Beberapa bulan setelah itu, Ciputra meminta saya memberikan nama-nama perupa (pelukis, pematung, pegrafis) Indonesia terkenal yang sudah almarhum serta klasifikasi karier dan reputasi karya mereka. Ciputra menyatakan ingin menamai jalan-jalan di kompleks perumahan yang ia bangun dengan nama perupa. Lalu tersusunlah nama-nama itu, dari Raden Saleh sampai Trubus. Nama pelukis hebat untuk jalan besar, sementara yang bagus tapi berkarier pendek untuk jalan buntu. Adapun Hendra Gunawan, pelukis kesayangannya, selalu diposisikan untuk jalan raya. Beberapa saat setelah itu, muncul kabar suram. Pemerintah menyeleksi nama-nama tersebut. Nama seniman yang dianggap terindikasi berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia dan Sukarnois dilarang dipakai. Hendra Gunawan, yang pernah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat, onderbouw PKI, tentu saja dicoret.
“Saya kira ide ini kita hanguskan saja. Nanti kita teruskan kalau sudah ketemu waktunya,” kata Ciputra dengan bersungut.
Soal Ciputra “tidak tahan” tak berkumpul dengan komunitas seniman tergambar dalam peristiwa-peristiwa lain. Nama Ciputra beberapa kali dicantumkan sebagai Juri Kehormatan Jakarta Art Awards. Tugas juri ini hanya meninjau hasil akhir materi yang dinilai. Tapi Ciputra selalu ingin terlibat dalam kelengkapan penjurian. Agar tidak sendirian, ia lantas mengundang Fauzi Bowo, Gubernur Jakarta. Hebatnya, sang Gubernur datang.
“Jangan pernah berpikir penilaian kami berdua bisa mempengaruhi penilaian Anda semua, ha-ha-ha…. Di sini kami cuma mau menikmati seni,” kata Ciputra.
Ciputra dan seni rupa memang tidak ada matinya.
“Pak Ci kalau sudah ketemu lukisan koyo wong kesurupan asmara,” tutur Agustinus Teddy Darmanto, perupa yang dipercaya Ciputra menggarap Dunia Fantasi. Dan tahap kesurupan itu terlihat ketika ia berhasil mengumpulkan puluhan lukisan Hendra.
“Pak Teddy, saya ingin memajang lukisan-lukisan ini di plafon rumah saya sehingga kalau saya berada di situ bisa melihat semuanya.”
Teddy tentu saja bingung. Namun, lantaran ia anak buah, perintah sang bos dituruti saja. Puluhan lukisan Hendra lantas di-display menghadap lantai ruang makan dan ruang pertemuan di kediaman Ciputra, Pondok Indah, Jakarta. Ciputra mengatakan display itu lebih menggerakkan hati dibanding mural Michelangelo di kubah Sistine, Roma. Walau demikian, akhirnya semuanya dicopot karena urusan daya rekat cat dan gravitasi.
Kedekatan Ciputra dan Hendra sempat terdokumentasi beberapa lama dalam bentuk surat-menyurat. Saya beruntung bisa mengintip surat-surat itu. Dan lebih beruntung lagi saya boleh menyimpannya dalam bentuk fotokopi. Namun Ciputra meminta saya tidak pernah mempublikasikannya. Sebab, sebagian isinya dirasa confidential dan sensitif, terutama yang menyangkut negosiasi harga lukisan.
Pada suatu hari, terdengar kabar bundel surat-surat asli Ciputra-Hendra itu hilang. Sampai akhirnya Rina Ciputra Sastrawinata, putri Ciputra, mendapat jalan: meminta copy dari fotokopi yang saya simpan. Saya tentu tidak keberatan, meskipun untuk itu saya mengajukan permintaan surat tersebut boleh dipublikasikan. Setelah dua minggu tak ada kabar, jawaban pun muncul: “Pak Ciputra bilang boleh.”
Inilah sepotong surat Ciputra-Hendra yang ditulis pada akhir Februari-akhir Maret 1983.
Surat Ciputra:
Bapak Hendra yang terhormat.... Betapapun besarnya kekaguman saya terhadap karya-karya Bapak, namun untuk membayar sebuah lukisan dengan harga Rp 20 atau Rp 30 juta saya tidak sanggup.
Surat Hendra:
Untung yang menawar adalah manusia yang telah menolong ratusan seniman, manusia yang dengan air mata saya hormati. Itu sebabnya dalam kontrak pembelian lukisan yang sekarang ini saya adakan perobahan. Kalau tidak cocok dikembalikan. Demikian perobahannya... “Odalan”, 4 x 2,10 m, Rp6.000.000. “Ngonjing”, 4 x 2,10 m, Rp6.000.000. “Udang”, 3 x 1,45 m, Rp1.500.000. “Mekutu”, 3 x 1,45 m, Rp1.500.000.
Beberapa waktu setelah potongan surat itu saya publikasikan, Ciputra tampak bahagia dan berkomentar.
“Saya bergembira akhirnya lukisan Hendra tak henti dihargai. Tempo hari, lukisan Hendra yang 3 meter terjual Rp 56 miliar di lelang Sotheby’s Hong Kong. Bisa Pak Agus bandingkan dengan harga ketika saya beli,” tutur Ciputra pada pertengahan 2016.
AGUS DERMAWAN T., KONSULTAN SENI CIPUTRA ARTPRENEUR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo