Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Restu itu datang dari para sesepuh Partai Golkar di ambang bulan ini. Tapi ia, Wiranto, 57 tahun, baru tergerak ketika dukungan dari elemen-elemen partai semakin luas. Puncaknya, Kamis malam pekan lalu, pensiunan jenderal berbintang empat itu menyatakan siap maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar.
Wiranto menyebut langkahnya sebuah ?panggilan?, tapi sejumlah kendala siap menghadangnya dalam Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Bali, 15-20 Desember ini. Sepagi ini, misalnya, sudah ada ancaman Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat II tak akan diberi hak suara. Padahal, DPD II adalah pendukung utama Wiranto, dan merekalah yang meloloskannya sebagai calon presiden dalam Konvensi Golkar, April 2004. Lalu, soal keharusan sang calon jadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) selama lima tahun.
Ada beberapa pesaing, tapi satu yang terberat: Akbar Tandjung, politikus berpengalaman yang sudah enam tahun duduk di pucuk kepemimpinan partai. Bagaimana kans Wiranto? Kepada Tempo yang menemuinya di kantornya, Jalan Teluk Betung, Jakarta, Jumat sore pekan lalu, Wiranto bercerita tentang pencalonannya, strateginya meraih kursi ketua umum, dan banyak lagi. Dengan santai, Wiranto yang berbaju batik cokelat tua dan berpantalon hitam itu menjawab pertanyaan yang dilontarkan wartawan Tempo, Rommy Fibri, Nurdin Kalim, dan Darmawan Sepriyossa.
Apa yang membuat Anda berniat menjadi calon Ketua Umum Partai Golkar?
Saya banyak mendapatkan dukungan agar maju sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Dari sini saya merasa ada rasa keterpanggilan sehingga perlu berperan lebih aktif meningkatkan kinerja Partai Golkar.
Bukankah dukungan hanya datang dari para sesepuh?
Bukan hanya kalangan sesepuh, bahkan anak mudanya juga mendukung. Mulai dari AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia), FKPPI, Ormas Trikarya, SOKSI, dan juga daerah tingkat provinsi dan kota. Nah, karena dukungan itu begitu deras mengalir, saya harus mengambil sikap. Akhirnya saya terima dukungan itu dengan mencalonkan diri. Ini semata demi memperbaiki citra dan kinerja Partai Golkar.
Dulu Anda memenangkan konvensi Partai Golkar. Apakah Anda yakin mengulang sukses dalam Munas mendatang?
Waktu dan kondisinya memang agak berbeda, tapi di dalam partai justru banyak sekali rambu diciptakan untuk menghalang-halangi kader yang potensial. Rambu-rambu ini dibuat sesaat dan justru bertentangan dengan AD/ART partai. Seharusnya tata tertib Munas tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Rambu macam apa yang bakal menjadi batu sandungan pencalonan Anda?
Ada rancangan tata tertib yang akan dipaksakan dalam Munas, bahwa calon Ketua Umum Partai Golkar setidaknya harus lima tahun berturut-turut duduk dalam posisi di DPP Partai. Padahal, AD/ART hanya menyatakan siapa saja yang berjuang selama lima tahun terus-menerus di Partai Golkar.
Ini kan sama saja membatasi calon yang berkualitas, bahkan sudah melanggar hak asasi. Padahal, dalam Munaslub Golkar 1998, saya ikut andil mengantar Akbar ke kursi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saat itu, terjadi pertentangan keras antara kubu Akbar dan Edy Sudrajat. Tapi karena reformasi TNI internal mengharuskan pencabutan dwifungsi dan konsep kekaryaan, maka kehadiran saya di meja makan Akbar Tandjung menjadi faktor penentu kemenangannya.
Anda menilai itu upaya serius kubu Akbar menyingkirkan pesaingnya?
Memang, kekuatan saya saat memenangkan konvensi ada di DPD tingkat II. Ada sih yang dari DPD tingkat I, tapi mayoritas dukungan datang dari tingkat II. Dalam Munas nanti, DPD II tidak akan diikutsertakan dalam pengambilan suara. Padahal, kesepakatan ini diambil pada saat Munaslub Partai Golkar 1998. Saat itu kesepakatan diambil untuk mengatasi jalan buntu. Ada notulensi rapat yang menyatakan, dalam Munas berikutnya DPD II akan mendapatkan hak memberikan suaranya kembali.
Bagaimana Anda mengantisipasi pagar betis yang dipasang kubu Akbar Tandjung?
Ini bukan semata tanggung jawab saya. Ini adalah hak semua anggota Partai Golkar untuk menuntut prinsip-prinsip demokrasi. Jika negeri ini sedang giat-giatnya mengembangkan demokrasi, alangkah anehnya jika Partai Golkar mengingkari hal itu. Bahkan kalau dibandingkan semangat yang muncul pada saat konvensi dulu, DPD II diikutsertakan dalam pengambilan suara. Lha kok sekarang malah mereka tidak boleh ikut.
Saya kembalikan semuanya pada mekanisme anggota. Mereka layak untuk menuntut hak suara. Justru perjuangan mereka yang menentukan keberhasilan perjuangan demokrasi di tubuh Partai Golkar. Sebaliknya, Partai Golkar justru merugi jika langkahnya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang sedang diperjuangkan di Indonesia. Ini sama saja dengan mengebiri kadernya sendiri.
Tapi, jika Anda terpilih, konsep Partai Golkar macam apa yang akan dibangun?
Kita sedang menggalakkan konsep pembaruan. Kita merasa banyak hal harus diubah demi kebaikan Golkar. Pertama, Golkar harus kembali menjadi perekat persatuan bangsa. Seharusnya, ketika partai kita memenangkan pemilu, mestinya mampu menjadi pemersatu bangsa. Dengan kader yang tersebar luas, maka akan lebih baik jika ada political will yang disampaikan agar seluruh kader Golkar menjadi bagian dari pemersatu bangsa. Jangan sampai kita menjadi pemecah persatuan. Dengan kata lain, lebih baik kita menjadi solusi dari suatu masalah, daripada harus ikut bagian dalam masalah tersebut.
Yang kedua, membawa Golkar kembali menjadi partai rakyat. Selama kemarin, terkadang kita lupa akan janji saat kampanye. Manakala kita sudah duduk pada posisi yang diinginkan, kita jauh dari keinginan rakyat. Saya ingin kita konsisten terhadap apa yang dijanjikan saat dulu. Dengan banyaknya kader Golkar yang duduk di jabatan-jabatan strategis, tidak sulit jika kita menginstruksikan agar kita membenahi kebijakan yang lebih menyentuh kepentingan rakyat.
Ketiga, saya ingin agar Golkar kembali menjadi partai kader yang baik. Kita harus membangun sistem kaderisasi yang terarah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kita jangan terjebak pada sistem patronase, budaya ?asal senang? maupun politik uang. Saya khawatir jika hal seperti ini terus berlanjut, kita kehilangan peluang mendongkrak kader berkualitas mengabdi pada kepentingan bangsa melalui partai.
Di samping itu semua, bukankah ada budaya politik uang yang sulit diperbaiki?
Karena berat, ini justru tantangan. Jangan karena berat, lantas kita enggan membenahi. Ini peluang bagi Partai Golkar untuk masuk dalam kontrak politik.
Gebrakan apa yang akan Anda lakukan untuk memperbaiki sistem dan budaya politik yang sudah mengkristal seperti itu?
Bikin rambu-rambu untuk mengatur jalannya partai secara benar. Selain itu, kita juga harus memberikan ketauladanan yang baik.
Titik mana yang paling mendesak untuk dibenahi?
Kadang kita sendiri tidak tahu harus mulai dari mana. Yang jelas, kita punya ketergantungan yang besar terhadap pimpinan. Kita masih menganut paham paternalistik. Ketika pahamnya masih begini, maka ketua umum masih sangat dominan. Jika kebiasaan buruk ini mampu didobrak, mudah-mudahan masyarakat melihat Partai Golkar dengan citra yang lebih baik.
Banyak yang menilai langkah politik Akbar Tandjung di Partai Golkar mengalami antiklimaks. Bahkan sekarang langkah politiknya banyak keliru dan menimbulkan kontroversi....
Kita harus melihat hal ini dengan berimbang. Tidak bisa dipungkiri, Akbar pernah berjasa mempertahankan eksistensi Partai Golkar. Tapi kita harus berani menilai juga, di sana ada kegagalan, sehingga kita tidak mengulangi kegagalan dan mampu memperbaiki kinerja.
Apa saja kegagalan yang Anda maksudkan?
Pertama ketika gagal membawa Pak Habibie ke kursi presiden. Kedua, ketika dia kalah bersaing dalam perebutan kursi wakil presiden. Ketiga, gagal mengantar saya menjadi presiden. Pada saat Golkar pemenang pemilu legislatif, ternyata tak mampu membawa saya ke kursi presiden. Keempat, dalam putaran terakhir pemilihan presiden, tidak mampu menggolkan calon presiden yang didukungnya. Malah, pilihannya salah.
Nah, masalah-masalah ini yang harus dipertanggungjawabkan di Munas Partai Golkar. Kita harus mengakui adanya kelebihan, tapi di sisi lain Akbar juga harus berlapang dada menerima kekurangan. Kepentingan yang lebih besar kalah oleh kepentingan dan misi lain yang lebih pribadi.
Apa yang Anda maksud dengan misi pribadi itu?
Ketika saya terpilih dalam konvensi, ada pengurus Golkar yang menyerang saya, dan ini didiamkan saja. Ketika ada pengurus yang tidak sepaham dengan keputusan untuk mendukung salah satu calon presiden, eh, malah diberi sanksi yang luar biasa beratnya. Hal semacam ini yang harus jadi pelajaran bagi Partai Golkar. Dengan begitu, kita menjunjung tinggi konsistensi dan konsekuensi.
Bagaimana dengan ?bantuan? dari pemerintahan Presiden Yudhoyono? Apakah sangat membantu pencalonan Anda?
Saya tidak merasa bantuan pemerintah menjadi sangat penting dan efektif. Dukung-mendukung dari pemerintah itu hanya berlaku saat Orde Baru dulu. Kita semua kan memprotes hal ini. Masak, kita mengulang hal yang dulu kita kritik sendiri. Melibatkan dalam Munas Partai Golkar merupakan tindakan yang tidak terpuji. Saya tidak menggunakan dukungan semacam itu.
Kabarnya, keluarga Cendana sudah memberikan dukungan....
Saya belum mendengar hal itu. Saya juga tidak meminta restu secara pribadi ke sana-kemari. Karena banyak yang meminta saya mencalonkan diri, akhirnya saya merespons dengan menerima dukungan tersebut.
Pencalonan Anda merupakan reaksi balik atas tidak penuhnya dukungan Akbar Tandjung dalam pemilu presiden silam?
Saya sadar hal semacam ini biasa terjadi. Saya masih senyum dan tertawa, jadi tidak ada masalah. Tidak ada keinginan membalas sama sekali. Ini semata karena keterpanggilan.
Faktor ?gizi? biasanya sangat menentukan. Apa respons Anda jika ada yang minta duit?
Saya percaya dalam keadaan apa pun manusia masih punya hati nurani. Saya percaya setiap kita masih bisa membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Mereka sudah tahu siapa yang baik memimpin partai. Hati nurani tak akan dikalahkan oleh suap dan duit.
Sebenarnya, siapa calon pesaing terkuat?
Semuanya saya anggap berat. Lagi pula, saya tidak tahu calonnya siapa saja. Tapi yang saya tahu, Akbar Tandjung sebagai otoritas penguasa sekarang sudah membangun jaringan-jaringan di daerah. Tentu beliau merupakan figur yang harus diperhitungkan semua calon.
Ketua Umum Akbar Tandjung sudah melakukan gerilya, apakah Anda juga melakukan hal sama?
Ah, saya tidak pakai gerilya-gerilya segala macam. Kalau beliau mau gerilya, terserah. Itu hak ketua umum.
Bukankah itu mengancam pencalonan Anda?
Saya tidak merasa terancam. Selama semua berpegang pada hati nurani dan punya niat memperbaiki partai, saya tidak khawatir.
Apakah kelompok di luar Golkar yang dulu mengganjal Anda dalam pencalonan presiden akan tinggal diam?
Memang, setiap saya tampil dalam satu kompetisi, selalu muncul isu dari pihak-pihak tertentu dan orangnya itu-itu juga. Biasanya soal saya sebagai pelanggar HAM. Tiap kali isunya hanya itu. Saya heran, kok mereka tidak malu. Itu kan isu ketinggalan zaman. Pada saat saya dulu sudah diizinkan sebagai calon presiden, sebenarnya kan sudah dianggap layak memimpin bangsa. Saya sedih dan prihatin jika proses demokratisasi masih diwarnai fitnah dan pembunuhan karakter semacam ini.
Selama ini Anda belum pernah duduk dalam kepengurusan. Apakah ini tidak merepotkan dalam memimpin DPP Partai Golkar?
Ini sama kasusnya dengan Pak Yudhoyono yang tidak pernah duduk dalam kursi kepresidenan, tapi toh tetap menjalankan tugas sebagai presiden. Yang dibutuhkan adalah jiwa kepemimpinan. Kalau seseorang sudah memiliki kualitas sebagai calon presiden, mestinya juga bisa memimpin partai.
Banyak yang menduga Ketua DPR Agung Laksono bakal menjadi kuda hitam pertarungan Anda dan Akbar Tandjung....
Ini pertaruhan kita dalam rancangan tata tertib yang nyata-nyata tidak demokratis. Semua terpulang pada kader Golkar, apakah kepentingan yang sempit lebih dominan daripada nilai-nilai demokrasi. Saya berharap demokrasi lebih dikedepankan. Jika hal ini tidak didobrak, nanti setiap orang dengan seenaknya menafsirkan aturan-aturan dan rambu-rambu sendiri. Ini sama saja dengan monopoli dan kartel, yang tidak bisa ditoleransi di alam demokrasi.
Apakah ini langkah Anda menyambut Pemilu 2009?
Saya belum berpikir ke arah sana. Itu terlalu prematur. Yang penting, bagaimana Partai Golkar punya citra positif dan diakui rakyat.
Jenderal (Purn.) Wiranto
Lahir:
- Yogyakarta, 4 April 1947
Pendidikan:
- Akademi Militer Nasional (1968)
- Sussar Para (1968)
- Sussarcab Infanteri (1969)
- Susjur Dasar Perwira Intelijen (1972)
- Suslapa Infanteri (1976)
- Suspa Binsatlat (1977)
- Sekolah Staf dan Komando TNI AD (1984)
- Lemhannas (1995)
Karier:
- Ajudan Presiden 1989-1993
- Kasdam Jaya 1993-1994
- Pangdam Jaya 1994-1996
- Panglima Kostrad 1996-1997
- Kepala Staf Angkatan Darat 1997-1998
- Menhankam/Pangab, Kabinet Pembangunan VII (1998)
- Menhankam/Pangab, Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999)
- Menko Polkam, Kabinet Persatuan Nasional (1999-2000)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo