Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan koran sore menghentikan langkah Syamsul Muarif. Headline koran terbitan Jakarta itu membuat Menteri Komunikasi dan Informasi kabinet Megawati itu tergoda membacanya. "Pemerintah Diminta Netral dalam Munas Golkar", begitu kepala berita koran tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar ini menarik kursi kosong di dekatnya, lalu duduk tekun membaca. Hiruk-pikuk kesibukan Rapat Pimpinan Partai Golkar di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Jumat pekan lalu, tak membuat Syamsul terusik.
Tak berapa lama, Syamsul seakan sadar, koran itu ditaruh lagi di meja. "Ini koran Senin kemarin kok diedarkan. Kenapa bukan koran hari ini saja?" gerutu Syamsul. "Sengaja, Pak. Yang penting kan bukan harinya, melainkan pesan di judul koran itu," celetuk seorang staf kantor itu. Syamsul tersenyum simpul.
"Pesan" khusus itu memang sengaja diedarkan panitia rapat pimpinan. Tak satu pun meja dan kursi para peserta luput dari "pesan" khusus itu. Tak terkecuali meja-meja di ruang rehat kopi dan meja makan para peserta. Wartawan pun disuguhi "pesan" serupa.
Rapat penuh pesan itu dihadiri pengurus Partai dari 33 provinsi se-Indonesia, anggota Dewan Penasihat Golkar, dan pengurus pusat Partai Golkar. Materi rapat: tata tertib Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar dan mekanisme pemilihan ketua umum Partai. Forum tertinggi di partai pemenang pemilu legislatif 2004 itu akan digelar pekan ini di Nusa Dua, Bali.
Kepada siapa pesan itu sebenarnya ditujukan? Tentu kepada kandidat yang dianggap "dekat" dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat ini ada enam kandidat yang maju, tiga di antaranya adalah pesaing Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, dalam konvensi pencalonan presiden pada April silam. Mereka adalah pengusaha Surya Paloh, mantan calon presiden Partai Golkar Jenderal Wiranto, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Yang maju belakangan adalah Ketua Golkar yang juga Ketua DPR, Agung Laksono. Sebelumnya, Marwah Daud Ibrahim, fungsionaris Partai Beringin, juga maju ke pentas pemilihan.
Di antara kandidat itu, Surya boleh dibilang paling gencar melobi para pengurus daerah Golkar. Pemilik Metro TV yang sudah lama "merapat" ke lingkaran SBY ini aktif menggalang dukungan ke daerah-daerah sejak awal November silam. Surya merasa didukung Yudhoyono untuk berlaga. Soal bagaimana bentuknya dukungan itu, ia enggan menjelaskan secara terperinci. "Tolong Anda terjemahkan sendiri. Secara common sense, istilahnya, ada pertemanan yang mendukung. Kalau Anda di posisi saya, Anda sudah bisa menjawab," kata Surya kepada Tempo, November silam.
Hingga menjelang musyawarah nasional ini, setidaknya tiga kali sudah Surya mengaku bertemu Presiden SBY. Tim sukses pun sudah dibentuk dan siap diadu. Surya meminta "teman yang lain", yaitu Jusuf Kalla, untuk bersama mantan Sekjen AMPI ini memimpin Golkar. Kalla akan ditawari posisi ketua dewan penasihat jika Surya terpilih. "Ada kesepahaman visi dan misi Surya dengan Pak Kalla dalam soal masa depan dan pembaruan Golkar," kata Tadjudin Noorsaid, orang dekat Surya.
Kesepahaman itu dengan catatan. Posisi ketua dewan penasihat itu, kata Aksa Mahmud, orang dekat Jusuf Kalla, akan lebih ditingkatkan perannya. Pemikiran ketua dewan penasihat akan dipakai dalam pengambilan keputusan strategis partai. Tawaran itu diterima Kalla. Jadilah Surya dipaketkan dengan Kalla.
Paket Surya-Kalla ini disosialisasi ke berbagai daerah. Di atas kertas, Surya mengklaim mengantongi dukungan dari 20 provinsi. Itu belum terhitung dukungan dari ratusan pengurus kota dan kabupaten. Di Jawa Tengah saja, ada 28 pengurus daerah yang telah berikrar menyokong Surya sebagai Ketua Umum Golkar dan Kalla sebagai Ketua Dewan Penasihat Golkar. Agar suara mereka terakomodasi, anggota pengurus kabupaten menuntut hak suara mereka?satu hal yang belum diputuskan panitia musyawarah nasional.
Soal suara kabupaten belum putus, Surya mengundang pendukungnya dari berbagai provinsi ke Jakarta. Rabu pekan silam, mereka ditraktir makan malam di Gemini Room, Hotel Hilton, Jakarta. Dari 20 dewan pimpinan provinsi yang diundang, 19 provinsi datang. Di Jakarta, Surya mengajak 19 DPD itu bertandang ke kediaman dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Selain Surya, juga hadir tim sukses Surya dan bos grup usaha Bosowa yang juga ipar Kalla, Aksa Mahmud.
Namun, tak semua pendukung Kalla setuju dengan paket Surya-Kalla. Beberapa hari sebelumnya, para politisi Golkar dari Indonesia Timur menemui Kalla dan menanyakan kenapa Kalla tak maju saja sebagai ketua umum. Surya dikhawatirkan tidak banyak diterima di Timur. "Pasangan Surya-Kalla pun tak ada jaminan bisa membawa suara Indonesia Timur," kata Marwah Daud Ibrahim, salah satu kandidat ketua.
Belakangan, memang terdengar kabar bahwa Kalla juga melirik Agung Laksono, salah satu Ketua Golkar yang kini menjadi Ketua DPR. Agung dianggap lebih bisa bekerja sama dan lebih luwes dalam menjembatani hubungan partai dengan eksternal. "Dia punya modal di parlemen dan bisa berkomunikasi dengan semua pihak," ujar sumber yang dekat dengan Kalla.
Agung sendiri siap berlaga. Ia telah bertemu dengan Presiden Yudhoyono beberapa kali. Meski topik utama adalah hubungan eksekutif dan legislatif, tak urung soal jabatan Ketua Umum Partai Golkar ikut dibicarakan. "Selama ini SBY menganggap Agung bisa bekerja sama," kata orang dekat SBY. Salah satu "prestasi" Agung di mata Istana adalah melunakkan ketegangan antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan di DPR, November silam.
Gayung bersambut, rupanya. Agung mengundang SBY dalam peluncuran bukunya, Rumah Terindah untuk Rakyat, Senin pekan ini di Golden Ball Room, Hotel Hilton, sekaligus memberikan sambutan. SBY dikabarkan sudah menyanggupi untuk datang. "Acara peluncuran buku itu sekaligus menjadi deklarasi pencalonan Agung sebagai calon ketua umum," kata A.A. Baramuli, salah satu anggota Dewan Penasihat Golkar.
Aksa Mahmud tak serta-merta membenarkan kabar itu. Menurut dia, Kalla akan menyokong siapa pun kader Golkar yang akan maju sebagai kandidat. "Kebetulan saja yang minta duluan Surya. Ya sudah, beliau setuju. Tapi, kalau ternyata yang jadi Wiranto atau Agung pun, beliau juga tidak masalah," kata Aksa.
Tentang jabatan ketua dewan penasihat yang diminati Kalla, kata salah satu politisi Partai, itu adalah pilihan Kalla untuk memelihara hubungan dengan SBY. Hubungan itu akan jauh lebih "sehat" dibandingkan dengan apabila Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar. "Tak mungkin ada matahari kembar. Itu akan merepotkan," kata politisi itu.
Kandidat lain yang menerima "sinyal" dari SBY adalah Wiranto. Awal November silam, keduanya sudah bertemu di Istana Negara. Kepada Tempo, mantan Panglima TNI ini mengatakan bahwa pertemuan selama satu jam itu hanya "silaturahmi" sebagai kolega belaka. Namun, tak urung, kata salah satu sumber Tempo, pertemuan itu sempat membahas suksesi di tubuh Partai Golkar, termasuk siapa kira-kira yang cocok menjadi orang nomor satu partai peraih kursi terbanyak di parlemen itu. "SBY mempersilakan Wiranto untuk maju," kata sumber Tempo.
Sebagai mantan kolega semasa aktif di TNI, Wiranto memang bukan "orang lain" bagi Presiden SBY. Wiranto pernah menjadi komandan SBY di lapangan. Namun, bila Wiranto yang menang di Partai Golkar, SBY seharusnya tahu bahwa bekas bosnya itu akan menjadi pesaing tangguh dalam Pemilu 2009.
Wiranto sendiri seakan tak peduli dengan dukungan Istana. "Saya tak merasa bantuan pemerintah menjadi sangat penting dan efektif. Dukungan pemerintah itu hanya berlaku saat Orde Baru dulu. Masa, kita mengulang hal yang dulu kita kritik," ujarnya kepada Tempo dengan percaya diri.
Benar. Siapa pun yang ingin merebut suara terbanyak seharusnya sadar bahwa pemilihlah yang perlu didekati, dan bukan sibuk mencari restu dan tuah Istana.
Widiarsi Agustina, Fajar W.H., Indra Darmawan, Bernarda Rurit, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo