Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ali Ghufron Mukti Menjelaskan Polemik Kelas Rawat Inap Standar

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menjelaskan kelas rawat inap standar (KRIS) dalam Perpres Jaminan Kesehatan.

9 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat wawancara dengan Tempo di kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, 29 Mei 2024/Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mata Ali Ghufron Mukti, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan kerap menjadi target perisakan akibat kabar kibul soal layanan jaminan kesehatan. Direktur Utama BPJS Kesehatan itu yakin lembaganya dirundung karena masyarakat belum memahami informasi yang utuh. Salah satunya soal sistem kelas rawat inap standar (KRIS) setelah Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan terbit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah, kata Ghufron, tak berencana menerapkan kelas tunggal atau menghapus sistem kelas. "Tidak ada satu pun kata dalam peraturan itu yang menyebutkan sistem kelas akan dihapus," ucap Ghufron pada Rabu, 29 Mei 2024. Dia menyatakan sistem KRIS dibuat sebagai pedoman standardisasi layanan medis, seperti kualitas bangunan, suhu kamar, serta jumlah ranjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ghufron juga menyinggung soal kehebohan layanan BPJS Kesehatan akibat unggahan seorang musikus di media sosial. Pesohor itu mengeluhkan antrean layanan jaminan kesehatan di sebuah rumah sakit di Tangerang Selatan, Banten. Padahal duta BPJS Kesehatan—sebutan Ghufron untuk para pegawainya—sudah menerangkan kepada selebritas itu bahwa dia bisa menunggu pelayanan di rumah. "Banyak persepsi yang keliru," ujar bekas Wakil Menteri Kesehatan itu.

Sepanjang wawancara selama dua jam, Ghufron beberapa kali menunjukkan sejumlah terobosannya menangkal hoaks soal BPJS Kesehatan. Ghufron, misalnya, menciptakan lagu berjudul "Belum Tahu" dan mendendangkannya bersama Rektor Universitas Gadjah Mada Ova Emilia. Begini petikan liriknya: "Aku tahu kamu belum tahu, BPJS sudah sangat maju. Banyak negara yang mau tiru, dengan kendali biaya mutu."

Tak cuma mengarang lagu, dokter asal Blitar, Jawa Timur, itu juga menulis buku berjudul Roso Telo Dadi Duren, Biyen Gelo Saiki Keren. Buku itu merupakan catatan pelayanan BPJS Kesehatan dalam satu dekade terakhir. Menurut Ghufron, judul buku itu menjawab sindiran para dokter yang pernah menyerukan kritik "BPJS Kesehatan rasa telo, BPJS Kesehatan gawe gelo". Artinya, BPJS Kesehatan membuat kecewa. "Pekerjaan rumah kami adalah memberi pengertian dan membangun persepsi," katanya.

Ghufron menjelaskan polemik standardisasi jaminan kesehatan kepada Raymundus Rikang, Sunudyantoro, dan Yosea Arga Pramudita dari Tempo di kantor pusat BPJS Kesehatan, Jalan Letnan Jenderal Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Mantan Dekan Fakultas Kedokteran UGM itu juga memaparkan resep lembaganya memperbaiki neraca keuangan yang pernah mengalami defisit sebelum masa pandemi Covid-19.

Bagaimana konsep KRIS yang termuat dalam peraturan presiden tentang jaminan kesehatan?

Dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan, tak ada yang berbicara mengenai penghapusan kelas rawat. Saya tak tahu itu informasi dari mana. Yang diatur dalam regulasi itu antara lain peserta yang masuk kategori penerima bantuan iuran atau tak mampu tidak bisa tiba-tiba naik ke kelas VIP ketika sakit. Kasus lain, orang punya duit tapi ikut iuran untuk kelas III saja. Tapi, begitu sakit, mau ke kelas VIP. Ini praktik ngaco. Hal-hal itu yang diatur dalam Perpres 59.

Anda menjamin tak akan ada penerapan kelas tunggal?

Saya tak tahu istilah itu dari mana. Jika dibaca teliti, tak ada satu pun kata yang menyebutkan kelas tunggal atau penghapusan kelas.

Pemahaman publik telanjur terbentuk bahwa akan diterapkan kelas tunggal.

Memang pernah ada yang menyampaikan itu, tapi kan tak menghapus kelas-kelas. Karena itu, saya membuat lagu "Belum Tahu", berduet dengan Rektor Universitas Gadjah Mada. Ada juga lagu berjudul "Konten Viral". Idenya dari pengalaman BPJS Kesehatan.

Soal apa?

Ada kasus rumah sakit yang fraud. Intinya, ada praktik yang menguntungkan mereka karena tak mengikuti aturan. Kami memutus kerja samanya. Pemilik rumah sakitnya ngamuk. Dia kecewa lalu menghubungi Kementerian Kesehatan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dugaan kami, mereka juga menghubungi kreator konten dan membuat konten. Isinya, gara-gara BPJS Kesehatan memutus hubungan sepihak dengan rumah sakit, bapaknya terancam meninggal. Bagaimana kreator ini bisa tahu masalah itu, pasti ada yang memberi tahu. Kami lantas menghubungi pembuat konten dan bilang bahwa pesan dia itu tak benar. Ia mengakui kesalahannya dan membuat konten koreksi. Namun yang viral tetap konten yang keliru di awal. Jadi saya buatkan lagu.

Apa makna kata "standar" dalam Perpres 59?

Yang perlu dipahami adalah bukan kelas standar, melainkan standardisasi kelas. Selama ini belum ada standar pelayanan medis dan nonmedis. Dalam Perpres 59, makna standar diterapkan dengan membuat 12 kriteria, di antaranya ventilasi, pencahayaan, komponen bangunan, suhu ruangan, kamar mandi, dan kepadatan ruang rawat. Itu standardisasi pelayanan kesehatan yang hendak diatur.

Latar belakangnya apa?

Saya mencontohkan, ada rumah sakit di Tangerang Selatan yang menerapkan sistem tanpa kelas. Saya tanya apa tujuannya. Katanya agar tidak membeda-bedakan. Akhirnya pasien yang berobat ke rumah sakit itu datang dari masyarakat tak mampu. Sedangkan orang kaya pasti pergi ke rumah sakit yang menerapkan sistem kelas. Katanya biar tak membeda-bedakan, tapi ini jelas membedakan.

Apakah standardisasi itu realistis dengan kondisi fasilitas kesehatan yang timpang di berbagai daerah?

Sebanyak 12 kriteria itu awalnya adalah keputusan menteri soal syarat membangun rumah sakit. Dewan Jaminan Sosial Nasional kemudian menyerapnya sebagai standar. Perpres 59 ingin memperbaiki peraturan-peraturan sebelumnya dan bertujuan meningkatkan mutu layanan.

Bagaimana respons rumah sakit atas rencana standardisasi ini?

Berbicara soal sistem KRIS berarti peningkatan mutu. Namun saya tak hanya ingin peningkatan kualitas. Akses terhadap layanan itu juga harus ditingkatkan. Jangan sampai mutunya naik tapi aksesnya berkurang. Dulu ada jargon orang miskin dilarang sakit. Saya ingin mengubah itu menjadi orang miskin dilarang membayar apabila sakit. Asalkan menjadi peserta aktif. 


Ali Ghufron Mukti

Tempat dan tanggal lahir:

  • Blitar, Jawa Timur, 17 Mei 1962

Pendidikan:

  • Sarjana kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988)
  • Magister higiene tropis Mahidol University, Thailand (1991)
  • Doktor ilmu kedokteran University of Newcastle, Australia (2000)

Jabatan publik:

  • Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (2021-sekarang)
  • Wakil Menteri Kesehatan (2011-2014)
  • Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (2015-2019)

Laporan harta kekayaan:

  • Rp 33,37 miliar (2022)

Saat ini ada sekitar 55 juta peserta yang statusnya tak aktif. Apa masalahnya?

Pemberdayaan masyarakat bahwa kesehatan itu penting. Sebenarnya, memberi pemahaman itu bukan ranah kami. Masyarakat Indonesia juga tak menghargai dan tidak menganggap kesehatan mahal harganya. Mungkin mereka anggap penting, tapi tak sampai ke hati.

BPJS Kesehatan dicari ketika mereka sudah masuk rumah sakit.

Karena itu, saya menekankan pentingnya kesehatan publik. Ada empat penentu seseorang sehat atau tidak. Pertama, perilaku masyarakat. Bagaimana mau sehat kalau naik atau turun satu lantai saja selalu naik lift? Itu contohnya. Kedua, lingkungan. Banyak wilayah di Indonesia yang tak layak huni, bahkan harus hidup berdampingan dengan sampah atau sungai kotor. Ketiga, faktor keturunan. Ada seseorang yang punya penyakit karena kemungkinan besar diturunkan dari orang tuanya. Keempat, baru masuk layanan kesehatan. Tiga faktor di awal itu perlu digarap serius.

Publik juga khawatir layanan BPJS Kesehatan disetop bagi karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. Bagaimana tanggapan Anda?

Perpres 59 memberikan jaminan kepada pegawai yang terkena PHK. Mereka tetap bisa memperoleh manfaat selama enam bulan tanpa membayar iuran sejak di-PHK. Yang penting harus ada bukti bahwa dia terkena PHK. Problemnya adalah perusahaan sering tak mau mengeluarkan surat PHK dengan berbagai alasan.

Pada awal tahun, neraca keuangan BPJS Kesehatan disebut berpotensi mengalami defisit. Seperti apa kondisinya sekarang?

Sejak didirikan, keuangan BPJS Kesehatan defisit. Namun sejak kami ke sini menjadi positif. Ketika saya masuk, defisitnya mencapai Rp 50-an triliun.

Apa resep Anda membalikkan performa keuangan BPJS Kesehatan?

Ini persis seperti pertanyaan Presiden Joko Widodo ketika saya berdiskusi dengan beliau. Saya masuk ketika jumlah kasus Covid-19 sedang tinggi. Waktu itu orang tak berani ke rumah sakit jika tidak betul-betul sakit parah. Karena itu, tingkat utilitas kami turun. Kami juga mengembangkan sistem anti-fraud lewat kerja sama dengan European Anti-Fraud Office. Kami juga mulai mengukur beban kerja pegawai BPJS Kesehatan.

Bagaimana hubungan beban kerja staf dengan peningkatan performa keuangan?

Saya kasih contoh, French National Health Insurance Fund (CNAM) punya staf sampai 85 ribu. Mereka melayani sekitar 70 juta warga Prancis yang menjadi peserta jaminan kesehatan. Kami hanya punya 8.500 pegawai yang melayani lebih dari 270 juta peserta. Karena itu, saya sudah minta Kementerian Keuangan menambah kebutuhan operasional dan merekrut pegawai. Performa kami akan lebih bagus kalau tenaganya cukup.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR membahas pelaksanaan kelas rawat inap standar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 Juni 2024./Tempo/M. Taufan Rengganis

Bagaimana Jokowi menilai capaian BPJS Kesehatan sekarang?

Saat groundbreaking di Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, beliau mengatakan sering mengadakan rapat dengan BPJS Kesehatan untuk urusan defisit. Dulu beliau juga sering mendapat komplain ihwal pelayanan yang antre. Tapi, dalam acara itu, Presiden menyatakan pengelolaan BPJS Kesehatan meningkat signifikan. Saya kira banyak orang yang belum tahu kompleksitas pengelolaan dan kemajuan yang kami lakukan. Yang viral hanya berita soal keluhan, padahal itu kasuistik.

Soal pencegahan fraud, apa yang sudah Anda kerjakan?

Sifatnya kasuistik. Saya dan Menteri Kesehatan sepakat membangun sistem lebih dulu. Kami sekarang bisa tahu dan memonitor perilaku dokter dan rumah sakit. Nanti, kalau sistemnya sudah terbangun dan mapan, penindakan akan lebih serius.

Salah satu beban biaya BPJS Kesehatan adalah klaim penyakit gaya hidup, seperti akibat kebiasaan merokok dan konsumsi makanan berpemanis. Bagaimana mengatasi persoalan ini?

Ada konsep supply and demand dalam hukum ekonomi. Sektor kesehatan juga mengenal konsep itu. Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap sisi supply, yakni urusan rumah sakit, dokter, dan peralatan. Sedangkan pada sisi demand, ada pusat kesehatan masyarakat yang mengerjakan upaya kesehatan masyarakat atau komunitas serta BPJS Kesehatan yang bertanggung jawab mengurus usaha kesehatan perorangan.

Artinya Anda tak bisa menangani masalah itu sendirian?

Saya tahu Kementerian Kesehatan berupaya keras menangani sisi supply tersebut. Misalnya, di setiap puskesmas ada alat ultrasonografi (USG). Peralatan itu membantu mendeteksi penyakit sejak dini akibat perilaku atau gaya hidup masyarakat. BPJS Kesehatan yang membayari layanan itu, misalnya untuk satu kali layanan sekitar Rp 150 ribu.

Bagaimana dengan upaya preventif?

Ada sistem yang dikembangkan di Afrika Selatan. Mereka punya asuransi swasta yang cukup kuat. Ada aplikasi yang dikembangkan untuk memberikan poin kepada peserta yang punya gaya hidup sehat. Misalnya membeli makanan rendah gula, rendah garam, atau bebas kolesterol. Poin yang terkumpul itu dikompensasi ke iuran dan klaimnya. Kami masuk ke inovasi itu juga sekarang.

Detailnya seperti apa?

Ada fitur baru bernama Bugar dalam aplikasi JKN Mobile. Teknologi itu memungkinkan peserta memantau data vital kesehatan. Jika ada yang merokok, dia menerima disinsentif. Masalahnya, Indonesia juara dalam hal jumlah perokok. Kebanyakan mereka masuk sebagai penerima bantuan iuran pula. Orang yang seharusnya dibantu malah merokok. Jika diterapkan seperti di Afrika Selatan, mereka semestinya membayar premi lebih tinggi karena risikonya besar. Namun membayar saja enggak, ha-ha-ha....

Ujungnya seperti lingkaran setan, sulit dicari penyelesaiannya.

Justru itu dan bisa menjadi tak sehat. Banyak orang yang tak sehat berarti kerugian bagi negara. Sebab, itu menjadi pemicu turunnya produktivitas dan tingginya beban negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Ada Penghapusan Kelas Rawat Inap"

Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Meminati isu-isu urban dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus