Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito: Seharusnya Kami Bekerja Lebih Cepat

PENNY Kusumastuti Lukito tidak punya waktu untuk jetlag. Mendarat dari Wina, Austria, setelah mengikuti konferensi Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) pada Kamis malam pekan lalu

18 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENNY Kusumastuti Lukito tidak punya waktu untuk jetlag. Mendarat dari Wina, Austria, setelah mengikuti konferensi Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) pada Kamis malam pekan lalu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan itu langsung rapat maraton di kantornya, sepanjang Jumat pekan lalu.

Topik yang dibahas adalah mikroplastik dalam air minum kemasan di sembilan negara, termasuk Indonesia. Temuan berdasarkan penelitian State University of New York at Fredonia dan organisasi media nirlaba di Amerika Serikat, Orb Media, itu diperkuat penelitian mandiri Tempo dan laboratorium kimia Universitas Indonesia. Hasilnya dipublikasikan secara serentak di seluruh dunia, Kamis pekan lalu. “Kami menunggu hasil kajian WHO,” kata Penny, 54 tahun.

Menurut Penny, Organisasi Kesehatan Dunia belum menentukan kadar aman kandungan mikroplastik dalam minuman. Tanpa standardisasi, sulit mendapati dampak penelitian lintas negara tersebut terhadap kesehatan. “Masyarakat tidak perlu panik,” katanya sambil menenggak air kemasan dari salah satu merek yang disebut mengandung mikroplastik.

Mikroplastik membuat perhatian publik, lagi-lagi, ter­arah ke BPOM. Bulan lalu, lembaga tersebut membekukan izin edar Albothyl, yang 30 tahun belakangan jadi andalan banyak orang untuk mengusir sariawan, dan tiga merek lain dengan kandungan sama, policresulen. Sebab, konsentrat policresulen bisa menyebabkan sariawan membesar hingga infeksi. Penny termasuk korbannya.

Seusai rapat Jumat petang pekan lalu, Penny menerima wartawan Tempo Reza Maulana, Nur Alfiyah, Indri Maulidar, dan Angelina Anjar di kantornya di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Mantan pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu juga membeberkan soal kelemahan BPOM, yang belum genap dua tahun dia pimpin, dari ketiadaan dasar hukum sampai minimnya kualitas dan kuantitas pegawainya. Beberapa kali dia meminta jawaban dari Nurma Hidayati, Deputi Pengawasan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.

Bagaimana Anda menanggapi temuan mikro­plastik di air minum kemasan?

Terkait dengan standar air minum, kami merujuk pada Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Dalam standar air minum yang dikeluarkan WHO, belum ada batasan kandungan mikroplastik. Kalaupun nantinya standar itu dibuat, harus ada kajian lebih dulu mengenai efek toksisitasnya bagi manusia dan batasan kadar mikroplastik yang masih bisa ditoleransi. Karena kajian tentang itu belum ada, WHO pun baru mengeluarkan pernyataan untuk mencermati kembali temuan tersebut.
Apa tindak lanjut Badan Pengawas Obat dan Makanan?
Kami menunggu WHO mengeluarkan pernyataan mengenai bahaya mikroplastik dan batasan kadar yang masih bisa ditoleransi oleh tubuh manusia. Masyarakat tidak perlu panik.
BPOM juga akan meneliti kandungan air kemasan?
Saya sudah meminta pusat pengujian untuk mengembangkan metode analisisnya. Mungkin, karena tidak ada standar yang menjadi acuan, selama ini metode analisisnya tidak berkembang. Kami tidak punya masalah dalam mengumpulkan data terkait dengan mikroplastik. Tapi apa yang akan dilakukan dengan data itu? Kami akan melihat standar yang bakal dikeluarkan WHO lebih dulu.
Ada yang mengkritik metode penelitian air dalam kemasan itu dan ragu akan validitasnya. Menurut Anda?
Saya percaya itu valid. Tapi penelitian itu hanya menemukan kandungan mikroplastik dalam air minum. Setelah itu, apa yang harus kita lakukan? Dibutuhkan kajian lebih lanjut sejauh mana kadarnya aman dan sejauh mana menimbulkan efek kesehatan bagi masyarakat sehingga bisa dituangkan dalam sebuah kebijakan yang akan melindungi masyarakat.
Perlukah pernyataan bahwa produk tersebut mengandung mikroplastik?
Untuk apa? Yang penting adalah standar yang menunjukkan bahaya kandungan tersebut. Jika belum ada kajian yang menunjukkan efek negatif mikroplastik terhadap kesehatan, produk tersebut masih bisa dikonsumsi. Sekarang kita tinggal memilih apakah mau mengambil risiko dengan mengkonsumsi produk tersebut atau tidak.
Bagaimana BPOM mengawasi air minum dalam kemasan?
Badan POM sudah memiliki laboratorium air. Air minum termasuk dalam prioritas kami. Karena itu, setiap tahun selalu ada laporan uji sampel air minum dari semua Balai Besar POM. Kami mengujinya hingga aspek higienitas. Sejauh mana terdapat kontaminasi bakteri. Tapi, terkait dengan mikroplastik, belum ada standarnya. Sekarang, yang perlu kami lakukan adalah mendorong WHO membuat kajian sehingga bisa menjadi referensi kami dalam menetapkan standar air minum.
September tahun lalu, ditemukan mikroplastik dalam air ledeng di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang Selatan. Ada tindak lanjut dari BPOM?
Belum. Bukan hanya kami, pelaku usaha dan perusahaan air minum daerah juga merujuk pada standar air minum WHO untuk mengolah airnya. Kalau standar mengenai mikroplastik sudah ada, tentu teknologi pengolahan air minum harus ditambah agar bisa mengetahui kandungan mikroplastik. Ini membutuhkan proses.
BPOM mencabut izin edar Albothyl pada Februari lalu. Apa dasarnya?
Ini adalah bentuk pengawasan Badan POM yang berkaitan dengan farmakovigilans, yaitu pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping penggunaan obat. Kami bergerak setelah ada laporan dari petugas kesehatan yang menerima pasien dengan kasus infeksi. Untuk mengambil sebuah kebijakan, kami harus membuat kajian.
Laporan masuk sejak dua tahun lalu. Mengapa butuh waktu lama?
Ya. Kami terlalu berproses pada ahli ini, ahli itu. Seharusnya kami bisa lebih cepat.
Keputusan ini terlambat?
Buat saya memang terlalu lama. Di reviewer (terdiri atas ahli farmakologi, klinisi, Komisi Nasional Penilai Obat Jadi, dan Tim Monitoring Efek Samping Obat) terjadi adu argumentasi. Itu yang memakan waktu lama.
Apakah pembahasan yang memakan waktu lama itu berkaitan dengan minimnya tenaga ahli di BPOM, sehingga mengandalkan penilaian pakar eksternal?
Memang iya, sih. Seharusnya aspek pengetahuan Badan POM satu langkah di depan atau setara dengan para reviewer. Idealnya, Badan POM bisa melakukan penilaian sendiri, baru minta pandangan komisi nasional untuk memperkaya pemahaman. Seperti pilot, Badan POM seharusnya ada di depan. Kalau komisi terlalu lama, Badan POM yang mengambil keputusan dan menanggung risiko.
Seberapa jauh keadaan sekarang dengan kondisi ideal?
Sumber daya manusia perlu diperkuat lagi. Harus lebih banyak lulusan S-3 di sini. Saat ini cuma ada tujuh. Total pegawai kami 3.800-an di seluruh Indonesia.
Tidak ada literatur yang menyebutkan policresulen, kandungan dalam Albothyl, bisa digunakan sebagai obat sariawan. Mengapa di sini dipakai dan dibiarkan oleh BPOM?
Ha-ha-ha, saya juga heran siapa yang punya ide dipakai untuk sariawan? Ini yang bertanggung jawab (Penny menunjuk Nurma Hidayati, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif, lalu menanyakan alasan keputusan baru muncul setelah dua tahun).
Nurma: Saat mendapat laporan tentang efek samping, kami menelitinya. Efek samping memiliki gradasi yang bermacam-macam. Bisa saja dalam waktu tertentu muncul efek samping, meskipun sebelumnya efektif terhadap indikasi tertentu.
Mengapa harus menunggu sampai 38 laporan efek samping?
Nurma: Dulu hanya ada satu-dua kasus. Sebagian besar dari 38 kasus itu masuk akhir tahun.
Penny: (Berbicara menghadap anak buahnya) Ke depan, enggak usah menunggu sampai 38 kasus atau ada yang meninggal baru kita tarik. Beberapa laporan sudah cukup. Toh, pada akhirnya, pemahamannya simpel, yaitu pemakaian dengan konsentrasi tinggi menyebabkan iritasi. Tidak perlu berlama-lama lagi.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengatakan BPOM kecolongan karena Albothyl beredar tanpa uji klinis. Pembelaan Anda?(Bertanya kepada Nurma) Benarkah tidak ada uji klinis?
Nurma: Ya. Obat-obat lama, yang ber­edar sejak 1970-an dan sebelumnya, rata-rata hanya berdasarkan pembuktian empiris.
Penny: Nah, apalagi begitu. Seharusnya, saat ada laporan, apalagi itu datang dari kalangan kedokteran yang melaporkan dalam kapasitas profesi mereka, bisa diputuskan lebih cepat. Kan tidak ada uji klinis.
Apakah Anda pengguna Albothyl?
Tidak. Tapi suami saya selalu memakai itu ketika sariawan.
Manjur?
Ya. Orang yang terbiasa memakai Albothyl akan memakainya terus-menerus. Setiap melihat dia menggunakannya, saya ngeri.
Mengapa?
Sebenarnya, saat mahasiswa, saya pernah memakai obat itu. Tapi sariawannya malah makin besar dan membuat bibir berlubang. Rasanya pun seperti terbakar. Sejak itu, saya tidak percaya lagi. Ketika sariawan, saya lebih banyak meminum vitamin C dan kumur-kumur. Sembuh.
l l l
Apa yang berubah dari BPOM sejak Presiden Joko Widodo melantik Anda pada Juli 2016?
Ada tiga hal, terkait dengan kelembagaan, sumber daya manusia, dan infrastruktur. Soal kelembagaan, saat saya dilantik, Badan POM belum memiliki payung hukum. Karena itu, terbit Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM. Tentang SDM, kami membutuhkan 5.000-an pegawai hingga 2019. Tahun ini kami minta tambahan seribu pegawai baru. Terkait dengan infrastruktur, ke depan, kami akan punya kantor di tingkat kabupaten dan kota. Lengkap dengan laboratorium, sehingga lingkup pengawasan lebih lengkap. Saat ini baru di tingkat provinsi. Selain itu, terbit Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Dengan aturan ini, kami bisa melakukan penindakan.
Itu sebabnya Anda membentuk divisi baru, Deputi Penindakan?
Ya. Deputi IV baru dibentuk pada 2018. Kedeputian ini terdiri atas tiga direktorat, yakni direktorat pengamanan, penyidikan, dan intelijen. Nantinya direktur pengamanan berasal dari kepolisian dan direktur penyidikan berasal dari kejaksaan.
Bukankah wewenang itu tak bisa dijalankan tanpa undang-undang?
Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan masuk program legislasi nasional dan sudah mulai dibahas tahun ini. Selama ini, Badan POM tidak bisa melakukan upaya paksa, seperti penggerebekan, penggeledahan, dan penyitaan. Karena itu, kami selalu didampingi polisi. Dengan undang-undang tersebut, BPOM memiliki kekuatan melakukan upaya-upaya tadi tanpa perlu didampingi polisi.
Anda merasakan tumpang-tindih kepentingan antara BPOM dan Kementerian Kesehatan?
Ada banyak izin yang seharusnya ada di Badan POM tapi masih ada di Kementerian Kesehatan. Dulu, Badan POM bagian dari Kementerian Kesehatan. Jadi semua peraturan terkait dengan Badan POM ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Karena itu, dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017, terdapat perintah agar Badan POM dan Kementerian Kesehatan duduk bersama menyelesaikan standar-standar dan aturan-aturan yang ada. Tumpang-tindih ada di level kebijakan.
Contohnya apa?
Salah satunya terkait dengan skema akses spesial (SAS) untuk pasien dengan penyakit tertentu, misalnya kanker jenis tertentu. Karena jumlah kasusnya tidak banyak, pelaku usaha tidak bisa mendatangkan obat untuk penyakit tersebut karena tidak menguntungkan secara ekonomi. Karena tidak ada di Indonesia, pasien harus mengakses obat tersebut dari luar negeri. Badan POM bisa memberikan akses terhadap obat itu tanpa harus diregistrasi supaya dapat masuk lebih cepat. Sayangnya, SAS masih menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan. Prosesnya menjadi lebih panjang.
Kebijakan lainnya?
Terkait dengan izin industri. Di negara lain, izin industri diterbitkan institusi serupa Badan POM. Di sini, izin industri diterbitkan Kementerian Kesehatan. Padahal yang menginspeksi fasilitas produksi industri adalah Badan POM. Semestinya Kementerian Kesehatan mengatur kebijakan-kebijakan terkait dengan obat yang sifatnya makro saja.
Jadi siapa yang harus mengalah?
Pihak di luar Badan POM dan Kementerian Kesehatan yang harus memutuskan. Tidak ada masalah bagi Badan POM jika izin-izin itu tetap ada di sana. Tapi persoalan registrasi obat yang lama jangan hanya dibebankan kepada kami. Jangan selalu Badan POM yang menjadi kambing hitam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus