Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STEPHEN William Hawking lahir di Oxford, Inggris Raya, pada 8 Januari 1942, di tengah berkecamuknya Perang Dunia II. Masa pendidikannya diawali di St Albans, London, dengan performa akademik yang tidak menonjol, walaupun beberapa teman dekatnya mendeteksi inteligensianya yang tinggi. Ia memang lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang menganggap penting kemampuan intelektual, yang mengemuka dari cara dan substansi mereka berbincang.
Hawking membangun reputasi akademiknya bersama Dennis Sciama, pembimbing tesis doktoralnya; dan Roger Penrose, matematikawan kawakan di University of Oxford. Mereka mengelaborasi Teori Relativitas Umum yang setelah beberapa dekade sejak Albert Einstein mencetuskannya mengalami stagnasi pengembangan. Kebangkitan baru ini didorong kian terbukanya prospek untuk mengerahkan kerangka kerja Teori Relativitas Umum dalam memahami sejarah fisis alam semesta.
Hawking dan Penrose mempelajari perilaku matematis kondisi singularitas (sebuah materi yang tertekan hingga menjadi sebuah titik yang kecilnya tak terbatas) sebagai konsekuensi ekstrem Teori Relativitas Umum. Fokus mereka adalah interpretasi fisis yang diilustrasikan sebagai hadirnya massa yang teramat besar di ruang yang teramat kecil sehingga mengakibatkan pelengkungan ekstrem geometri ruang-waktu di lokasi itu. Ibarat meletakkan sebuah benda kecil yang bermassa amat besar di lembaran busa tipis sehingga menimbulkan sebuah sumur yang dalamnya tak terbatas.
Obyek dapat jatuh ke dalam sumur itu, tapi tak mungkin mengentas dari permukaan sumur. Bahkan foton-partikel cahaya yang bergerak dengan kecepatan supertinggi dan tidak bermassa-sekali jatuh ke dalam singularitas akan terus terkungkung di dalamnya. Akibatnya, singularitas gelap. Obyek fisis yang diasosiasikan dengan karakter singularitas adalah black hole atau lubang hitam.
Hawking dan Penrose mendapatkan bahwa teori singularitas cocok mendeskripsikan kondisi awal alam semesta. Menurut mereka, alam semesta dimulai pada sebuah singularitas. Dari titik awal ini, alam semesta terus mengembang hingga ukurannya sebesar sekarang dengan struktur pengisinya, seperti galaksi, bintang, termasuk tata surya kita, terus berevolusi. Model fisis yang mendeskripsikan sejarah alam semesta ini dikenal sebagai model Big Bang.
Dalam suatu pertemuan ilmiah di University of Oxford pada 1974, Hawking mempresentasikan hasil hitungannya yang menunjukkan lubang hitam tidak mutlak hitam, tapi masih mungkin memancarkan radiasi, walau dengan intensitas amat rendah. Bahkan suatu saat (butuh waktu superpanjang) lubang hitam dapat meledak melalui mekanisme kuantum di dalamnya.
Deskripsi ini membutuhkan akomodasi Teori Relativitas Umum dan mekanika kuantum dalam penghitungannya, tapi bukan dengan modus penggabungan gaya gravitasi dan gaya pada ranah kuantum seperti yang diupayakan fisikawan lain, seperti Bryce DeWitt dan John A. Wheeler. Ide ini jelas mencengangkan dan sulit diterima. Pekerjaan Hawking ini dipicu kegalauannya atas aspek termodinamika lubang hitam yang diungkap Jacob Bekenstein, murid Wheeler di Princeton University.
Secara terpisah, Hawking dan Bekenstein mengusulkan bahwa entropi lubang hitam sepadan dengan luas horizon (area pengaruhnya) dan terus bertambah. Karena entropinya tidak nol, berarti lubang hitam memiliki suhu dan dapat meradiasi. Apabila energi ini diasosiasikan dengan informasi, tampak ada kekekalan jumlah informasi yang terjaga. Persoalannya, Hawking mengatakan informasi yang keluar dari lubang hitam teracak, sehingga konten informasi praktis terhapus.
Paradoks ini merepresentasikan peliknya problema fisis di dalam lubang hitam. Ada hal sangat fundamental yang masih belum dipahami. Dalam pekerjaan ini, hingga akhir hayatnya pada 14 Maret lalu, Hawking berbeda pendapat dengan Leonard Susskind dari Stanford University, yang mengajukan ide holografik dalam menggambarkan realitas fisis.
Popularitas Hawking melampaui batasan komunitas fisika. Masyarakat umum mulai banyak mengenalnya ketika bukunya, A Brief History of Time, merajai pasar selama empat tahun berturut-turut pada 1990-an. Buku ini berisi narasi populer tentang alam semesta, dari skala subatomic hingga skala terbesar dalam alam semesta. Dengan bergurau, Hawking mengatakan ini adalah buku terlaris yang tidak dibaca orang.
Hawking berhasil mendekatkan ke masyarakat konten sains fisika dan matematika yang amat sulit, dan dalam banyak kasus masih sangat spekulatif. Masyarakat diajak berpikir, dan lebih dari itu, diajak ingin tahu. Ia juga tak jarang mengeluarkan pernyataan yang provokatif, seperti mengaitkan peran Tuhan dan kondisi awal alam semesta. Penulis beranggapan Hawking tak bermaksud menyerang. Ia hanya ingin pembaca berpikir kritis terhadap banyak hal yang mungkin selama ini diterima sebagai terberi sehingga tak pernah dipertanyakan.
Minat dan keprihatinan Hawking pada masa depan sangat akut. Ia memperingatkan manusia akan dampak teknologi pada peradaban, termasuk tanggung jawab manusia terhadap ekosistem. Ia memprovokasi pemikiran kita dengan mempertanyakan kesiapan bumi dihuni semua manusia yang jumlahnya meningkat pesat, serta mempertimbangkan kehidupan di luar bumi, yang artinya menjadikan penerbangan antariksa sebagai konsumsi masyarakat banyak di masa depan.
Hawking pemerhati dan pemikir serta suka mengkomunikasikan pikirannya. Ketenaran membuatnya menjadi ikon. Hawking memenuhi bayangan umum tentang ilmuwan yang amat pandai tapi eksentrik dengan selera humor yang tajam. Pemunculan cameo-nya dalam serial televisi The Big Bang Theory membuat Hawking akrab dengan generasi muda. Dengan itu, ia memperkenalkan berbagai gagasan dan pendapat, menjadi komunikator sains yang amat efektif.
Hawking adalah salah satu perwujudan yang nyaris harfiah dari ungkapan matematikawan dan filsuf Henri Poincare, "Jangkauan pikiran kita jauh melampaui batasan fisik kita." Kemampuan berpikir abstrak sekaligus teknis yang amat tinggi dan kompleks yang dimiliki Hawking adalah bakatnya, yang juga diasahnya dengan sungguh-sungguh, mengingat kondisi fisiknya yang amat terbatas karena mengidap amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau penyakit Lou Gehrig.
Penyakit yang menyerang dan mendegenerasi saraf motorik di otak dan di sumsum tulang belakang secara bertahap ini tidak mengganggu kemampuan mental dan berpikir. Hawking bahkan pernah mengatakan ALS sepertinya memilih dia untuk bekerja fokus pada ranah fisika teoretis karena kelumpuhan badannya yang makin luas menyisakan kemampuan berpikir.
Dukungan yang amat luar biasa dari istri pertamanya, Jane Wilde, dan tekadnya untuk menghidupi keluarganya dengan layak membangkitkan semangat Hawking untuk bekerja giat, sehingga menelurkan buah pikiran cemerlang seperti yang disebutkan di atas. University of Cambridge menjadikannya aset akademik yang tak ternilai. Ia menduduki posisi Lucasian Professorship meneruskan nama-nama besar seperti Paul Dirac dan Isaac Newton.
Dukungan keluarga, dukungan akademik, dan tentunya dukungan medis berteknologi tinggi menopang kualitas hidup Hawking yang kemampuan fisiknya terus menurun. Menjaga kualitas hidup dan menemukan tujuan hidup yang dijalankan dengan sepenuh hati menjadikan Hawking teladan, bukan hanya bagi para penderita ALS seperti penulis, tapi juga para difabel. Video saat Hawking melayang dalam gravitasi nol di pesawat khusus sangatlah inspiratif, bahkan untuk orang normal sekalipun.
Banyak alasan untuk berterima kasih kepada Hawking dan bersyukur bahwa pernah ada manusia berkualitas setinggi itu yang kontribusinya signifikan bagi peluhuran peradaban. Kepergiannya seperti menghidupkan gagasannya: ia memasuki dunia yang belum kita kenal, bak lubang hitam, dan dia tetap meradiasi dengan karya dan pesannya yang akan terus berpropagasi ke generasi demi generasi.
Premana W. Premadi, Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung Dan Ketua Yayasan Als Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo