Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya berterima kasih kepada hakim yang berani dan sistem hukum Pakistan yang mengakui bahwa ibu saya tak bersalah…. Terima kasih kepada kalian semua yang berdoa untuk ibuku dan kaum Kristen yang dipersekusi,” kata Ei-sham Ashiq, putri Asia Bibi, dalam sebuah rekaman video yang disiarkan media Inggris, Sky News, Rabu pekan lalu. Ashiq menyampaikan hal ini dari sebuah rumah perlindungan di Pakistan.
Sejak Mahkamah Agung Pakistan membebaskan Asia Bibi dari dakwaan menghujat Nabi Muhammad, awal Oktober lalu, Asia dan keluarganya justru tak pernah menikmati udara bebas. John Pontifex, juru bicara Aid to the Church in Need—lembaga amal Inggris yang selama ini menolong keluarga Asia—menyatakan sekelompok orang memburu mereka di kampung halaman mereka di Ittan Wali, desa kecil di Punjab. “Orang-orang itu pergi dari rumah ke rumah sambil menunjukkan foto-foto anggota keluarga itu di telepon seluler mereka, mencoba memburu mereka,” ucap Pontifex kepada The Guardian.
“Keluarga itu harus pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari- pelacakan. Kadang mereka bisa bergerak hanya setelah matahari terbenam,” tutur Pontifex, yang intensif mengontak keluarga ini sejak Asia dibebaskan. “Mereka harus menutupi wajah ketika ke luar rumah. Mereka harus melepas rosario yang tergantung di kaca spion mobil mereka karena takut diserang. ”
Kasus Asia Bibi bermula dari sebuah pertengkaran di desa. Aasiya Noreen—nama asli Asia—lahir pada 1971 dan dibesarkan di kampung Ittan Wali. “Bibi” adalah panggilan untuk perempuan dewasa di daerah tersebut. Dia dan suaminya, Ashiq Masih, serta lima anaknya menjadi satu-satunya keluarga beragama Kristen di desa berpenduduk mayoritas muslim itu. Untuk menghidupi keluarga, Asia bekerja di kebun milik Muhammad Idrees.
Pada Juni 2009, Asia bersama ibu-ibu desa tersebut memetik buah falsa—sejenis dluwak—di kebun Idrees. Dia kemudian diminta mengambil air dari sumur terdekat untuk minuman para pekerja. Asia menurutinya, tapi berhenti sejenak untuk minum menggunakan sebuah cangkir logam tua yang ia temukan tergeletak di samping sumur. Asia lantas memberikan air kepada para pekerja. Tapi dua tetangganya, Mafia Bibi dan Asma Bibi, menolak minum air itu karena Asia orang Kristen.
Pertengkaran pun pecah, meski tak jelas benar apa yang terjadi. Beberapa warga desa menuduh Asia telah menghina Islam dan menghujat Nabi Muhammad. “Dia tersinggung. Biasalah. Kami tak bisa minum dari cangkir itu. Dia Kristen, kami muslim, dan ada perbedaan besar di antaranya. Agama kami lebih unggul,” kata Mafia, seperti dikutip The Guardian, mengenang kejadian itu.
Tapi para pendukungnya menyebutkan Asia tidak menghina agama, tapi menolak desakan penduduk agar memeluk Islam. “Dia mengatakan wanita-wanita itu biasa mendesak dia agar masuk Islam. Dan dia sudah muak terhadap tekanan semacam itu,” ujar Shehrbano Taseer, putri Gubernur Punjab Salmaan Taseer, yang pernah menjenguk Asia di penjara pada 2011.
Mafia dan Asma kemudian mengadukan kasus ini kepada Muhammad Salaam, imam masjid setempat. Salaam “mengadili” Asia dan mengklaim dia telah mengaku bersalah. Dalam sidang pada Oktober lalu, Mahkamah Agung menilai pengadilan di luar hukum ini memicu situasi tak kondusif dan berdampak buruk terhadap Asia. “Pengakuan di luar hukum ini diberikan tidak secara sukarela, tapi lebih karena paksaan dan tekanan yang tidak semestinya lantaran Asia dipaksa dibawa ke hadapan pengadu dalam sebuah pertemuan massa, yang mengancam akan membunuhnya. Dengan demikian, itu tak bisa menjadi dasar pengakuan,” begitu pernyataan majelis hakim Mahkamah yang dipimpin Mian Saqib Nisar, Ketua Mahkamah Agung.
Massa yang marah lalu merangsek ke rumah Asia. Mereka memukuli Asia serta anggota keluarganya sebelum akhirnya polisi datang dan menahan Asia. Dalam sidang di Mahkamah, Asia menepis semua tuduhan dan mengaku telah bersumpah atas nama Injil bahwa dia tak pernah menghina Nabi. Tapi pengadilan Punjab menyatakan dia bersalah dan menjatuhkan vonis mati. Asia menjadi perempuan dan nonmuslim pertama yang divonis mati dengan pasal penghinaan agama.
Asia mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Lahore pada November 2010. Gubernur Punjab Salmaan Taseer- menyatakan dukungannya kepada Asia dan memohon pengadilan membebaskan perempuan itu. Dia bahkan menjenguk Asia di tahanan bersama istrinya, Amna, dan putrinya, Shehrbano. Dia juga berjanji memohon amnesti untuk Asia kepada presiden.
Dukungan itu rupanya membuat marah para ulama Pakistan. Demonstrasi pecah. Massa membakar patung Gubernur di luar kediamannya di Lahore. Seorang ulama radikal di Peshawar bahkan menawarkan hadiah 500 ribu rupee atau sekitar Rp 71 juta kepada siapa saja yang membunuh Asia. Puncaknya, pengawal Salmaan, Mumtaz Qadri, menembak mati sang Gubernur. Namun 500 ulama melarang pengikut mereka menyampaikan dukacita kepada keluarga Salmaan.
Menteri Urusan Minoritas Shahbaz Bhatti mengaku diancam akan dipenggal jika menghapus hukum penistaan agama. Tapi, kepada wartawan, pada Desember 2010, satu-satunya menteri beragama Kristen ini berjanji berpegang teguh pada prinsip keadilan bagi rakyat Pakistan dan bersedia mati dalam membela Asia. Tiga bulan kemudian, Bhatti ditembak mati saat sekelompok orang menyergap dia dan mobilnya di dekat rumahnya di Islamabad. Menurut Reuters, Taliban Pakistan mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut dan menyatakan hal itu sebagai hukuman karena Bhatti telah menjadi penghujat.
Tapi Pengadilan Tinggi Lahore mengukuhkan putusan pengadilan sebelumnya. Asia akhirnya mengajukan kasus ini ke Mahkamah Agung. Dalam sidang pada Oktober lalu, Mahkamah membebaskan Asia karena menilai tak ada bukti yang cukup untuk mendakwanya. “Saya tak bisa percaya atas apa yang saya dengar. Akankah saya keluar sekarang? Akankah mereka membiarkan saya keluar? Sungguh?” kata Asia kepada AFP melalui telepon setelah putus-an itu dibacakan.
Protes pun pecah. Kawasan zona merah di Islamabad, lokasi kantor Mahkamah Agung, dijaga ketat polisi. Pasukan paramiliter diterjunkan untuk mengusir demonstran yang berupaya merangsek ke Mahkamah. Unjuk rasa terjadi di berbagai kota besar. Sekitar 1.000 orang memblokade jalan-jalan utama Islamabad dan Karachi. Tehreek-i-Labaik, partai Islam garis keras, menyatakan semua hakim Mahkamah layak dibunuh.
Lewat siaran televisi, Perdana Menteri Imran Khan mengecam sikap kelompok garis keras itu dan menyerukan agar masyarakat tenang menghadapi kasus ini. Menurut dia, kelompok garis keras tersebut menghasut masyarakat cuma untuk kepentingan politik sendiri, bukan demi Islam.
Namun, untuk meredam gejolak, pemerintah membuat perjanjian dengan Tehreek--i-Labaik. Menurut BBC, dalam perjanjian itu, pemerintah melarang Asia ke luar negeri selama proses peninjauan kembali kasus ini di Mahkamah Agung. Sebagai balasan, Tehreek menghentikan semua protes.
Menteri Informasi Fawad Chaudhry menyatakan perjanjian itu dibutuhkan untuk menghentikan protes. Tapi, “Keputusan ini bukan obat. Apa yang sedang kami lakukan adalah memadamkan api. Obatnya adalah langkah yang nyata dan pemerintah kami berkomitmen membuat obat itu,” tuturnya.
Namun kedamaian belum bisa dirasakan Asia. Keluarganya kini harus tinggal di tempat persembunyian. Suami Asia, -Ashiq Masih, telah mengajukan permohonan suaka politik ke Kementerian Luar Negeri Inggris. Kementerian menolaknya dengan alasan akan mengancam keselamatan staf Kedutaan Besar Inggris di Pakistan. Beberapa anggota parlemen Inggris menuding Kementerian cuma patuh kepada massa. “Jika kita terus cuci tangan atas kasus ini, ada kemungkinan kita akan bangun pada suatu pagi dan menemukan keluarga itu sudah mati,” kata John Pontifex.
Beberapa negara, seperti Kanada, Spanyol, dan Prancis, diperkirakan memberikan suaka kepada Asia. Jerman dan Italia dilaporkan sedang berunding dengan Pakistan mengenai masalah ini. Namun belum ada satu pun langkah konkret yang dibuat.
Pekan lalu, Saiful Malook, pengacara Asia yang kabur dari Pakistan ketika pengadilan menyatakan bahwa dia dalam bahaya, menyebutkan perundingan sedang berlangsung dengan beberapa negara Eropa. “Saya berharap dunia Barat akan mencoba membantunya,” ucapnya kepada wartawan di Frankfurt, Jerman.
IWAN KURNIAWAN (THE GUARDIAN, REUTERS, AFP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo