Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Epidemiolog Iwan Ariawan menyatakan masyarakat tak perlu terlalu cemas terhadap penyebaran HMPV.
Virus HMPV, yang merebak di Cina sejak awal 2025, sudah lama terdeteksi di banyak negara.
Kecemasan akan penyebaran HMPV disebabkan oleh informasi yang tak utuh.
KABAR merebaknya penularan penyakit yang disebabkan oleh human metapneumovirus (HMPV) di Cina pada awal 2025 menimbulkan kecemasan di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Masyarakat khawatir penyebaran virus ini bakal meluas dengan cepat. Sama seperti pengalaman lima tahun lalu, ketika virus SARS-CoV-2 mulai mewabah di Cina, dan akhirnya menjadi pandemi Covid-19 di seluruh dunia.
Saat kabar HMPV merebak di Cina, yang membuat banyak rumah sakit penuh, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, pun langsung "diburu" banyak orang untuk dimintai pendapatnya. Salah satunya oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Pada Sabtu, 4 Januari 2025, Budi meminta Iwan mengkaji penyebaran HMPV, apakah bakal separah virus Covid-19 atau tidak. Tak cuma itu, kata Iwan, Menteri Kesehatan juga bertanya ihwal tingkat fatalitas penularan HMPV. “Itu yang pertama kali ditanyakan,” kata Iwan.
Dua hari berselang, Senin, 6 Januari 2025, Budi Gunadi mengeluarkan pernyataan bahwa virus HMPV bukanlah penyakit mematikan. Virus ini pun disebut bukan "barang baru" dan sudah beredar di seluruh dunia sejak 2001. Dengan demikian, sistem imunitas manusia sudah mengenal dan mampu merespons virus ini dengan baik.
Di Indonesia, HMPV sudah terdeteksi. Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta mencatat kasus infeksi saluran pernapasan akibat HMPV mencapai 79 kasus pada awal Januari 2025. Secara kumulatif, dari 2023 hingga Januari 2025, sudah ada 214 kasus HMPV yang tersebar di wilayah Jakarta. Meski begitu, Iwan menyatakan masyarakat tak perlu terlalu cemas penyebaran virus ini bakal menjadi pandemi baru.
Kecemasan itu, ujar Iwan, terjadi akibat masyarakat tak mendapatkan informasi yang utuh. “Pernyataan virus HMPV baru ditemukan di Indonesia ini juga keliru. Kalau baru dideteksi, iya,” ujarnya. Iwan mengatakan virus HMPV sama seperti virus influenza biasa. Pada orang berusia muda, yang masih memiliki sistem imunitas tubuh baik, penularan virus ini akan sembuh dalam rentang waktu tiga hari. Penularan virus itu bisa berbahaya apabila menyasar orang dengan gangguan kesehatan, bayi, hingga orang lanjut usia.
Pada Rabu, 8 Januari 2025, Iwan menerima Sunudyantoro, Yosea Arga Pramudita, dan fotografer Taufan Rengganis dari Tempo. Selama hampir dua jam di kantor Reconstra Utama Integra, Fatmawati, Jakarta Selatan, Iwan menjelaskan banyak hal soal virus HMPV hingga hubungan antara epidemiolog dan pemerintah dalam menghadapi wabah. Tidak hanya itu, ia juga menyampaikan pandangannya soal pengalaman Indonesia ketika dihajar pandemi Covid-19.
Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, saat sesi wawancara dengan Tempo, di Jakarta, 8 Januari 2025. TEMPO/M Taufan Rengganis
Virus HMPV yang sedang menggemparkan Cina dilaporkan sudah terdeteksi di Indonesia. Apa yang mesti diwaspadai?
HMPV sudah lama beredar di dunia. Ini informasi penting. Karena, kalau virus ini sudah lama beredar, bersirkulasi di dunia, artinya kita sudah memiliki antibodi. Badan kita sudah mengerti bagaimana menangani virus ini. Berbeda dengan Covid-19.
Apa yang membedakannya dengan Covid-19?
Kalau Covid, kan baru. Jadi badan kita bingung, tidak mempunyai pengalaman sehingga fatalitasnya lumayan. Kalau HMPV, badan kita sudah punya pengalaman. Berkaitan dengan masalah yang terjadi di Cina, ketika banyak berita jumlah kasus HMPV meningkat, ini juga dibahas oleh Pak Menteri Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Kalau kita lihat, sebetulnya yang meningkat adalah kasus influenza secara keseluruhan. Angka kasus flu itu biasa meningkat pada musim dingin. Kalau di Indonesia, ya, musim hujan.
Lalu?
Begitu jumlah kasus influenza naik, kan dilakukan pemeriksaan, virusnya apa nih? Di Cina, virusnya diperiksa. Kalau dilihat dari laporan di Cina, sewaktu diperiksa, sebetulnya yang paling banyak terdeteksi adalah virus influenza biasa, H1N1. Jumlahnya sekitar 23 persen dari total orang yang diperiksa. Kemudian, ada yang Rhinovirus dan HMPV masing-masing sebesar 6 persen. Jadi HMPV bukan yang terbanyak.
Tapi tingkat penyebarannya itu membuat orang cemas...
Memang penularan HMPV naik karena biasanya hanya 4-5 persen. Salah satu pejabat di Kementerian Kesehatan Cina mengatakan HMPV sebagai penyebab influenza, terutama pada anak-anak. Rupanya ini banyak disalahtafsirkan. Wah, ini naik hebat. Padahal kenaikannya hanya 2 persen sebagai penyebab, bukan prevalensi. Jadi memang ada kenaikan dan tidak banyak.
Kenaikan itu disebabkan oleh apa?
Jenis virus yang bersirkulasi itu memang selalu berbeda-beda. Virus influenza itu banyak dan tingkat penularannya biasa naik-turun. Yang satu naik, yang satu turun, fluktuatif. Hal itu yang terjadi dan bukan hanya di Indonesia. Di dunia internasional, semua orang menjadi sangat berhati-hati. Sebab, Covid-19 pertama muncul di Cina.
HMPV ada dan beredar sejak lama, tapi baru terdeteksi?
Kalau baru terdeteksi, iya. Sebelumnya, kita itu tidak pernah berupaya mendeteksi. Kalau kita sakit influenza, kan sebagian besar tidak diperiksa, sembuh dengan sendirinya, ha-ha-ha. Pemeriksaan (jenis virusnya) masih mahal, Rp 2-4 juta. Ya, akhirnya tidak diperiksa.
Bukankah hal itu malah berbahaya?
Kementerian Kesehatan mempunyai sistem surveillance atau sistem kewaspadaan dini dan respons. Di sistem itu, mereka memantau berapa jumlah orang yang sakit seperti influenza. Batuk dan pilek dipantau juga. Naik atau tidak? Kalau naiknya tinggi, ya harus berhati-hati. Kemudian beberapa orang diambil spesimennya, dahaknya, darahnya, dan diperiksa penyebabnya apa. Pemeriksaan itu juga tidak semua virus, kan? Mahal. Jadi hanya virus-virus tertentu yang dikhawatirkan.
Apa saja?
Virus avian influenza atau flu burung, Covid-19, influenza biasa, dan beberapa yang lain. Jadi kita tidak pernah tahu ada HMPV atau tidak. Sebab, dulu HMPV belum termasuk virus yang diperiksa karena tidak dikhawatirkan. Terakhir, karena berita penularan HMPV merebak, laboratorium kita memeriksanya, terdeteksilah ada kasusnya di Indonesia. Itulah yang terjadi.
Lalu, apa yang membuat orang-orang khawatir?
Itu dia, sebetulnya saya tidak mengerti. Media mana yang memulai. Ini kan bukan media di Indonesia. Jadi seolah-olah ada semacam kekhawatiran HMPV akan menjadi pandemi baru. Padahal tidak, HMPV dari dulu sudah menyebar dan sebagai penyebab influenza tidak banyak. Kalah dengan influenza umum, seperti H1N1.
Agar tidak menimbulkan kepanikan, apa yang harus kita lakukan?
Kita harus mencari kebenaran informasinya. Pertama, HMPV bukan virus baru. Virus ini, di dunia dan Indonesia, sudah lama ada. Secara kekebalan, tubuh kita sudah kenal dengan virus ini. Kemudian, secara penyebaran, sebenarnya influenza sama dengan Covid-19, lewat percikan air liur. Tapi menularnya tidak semudah Covid-19.
Apakah perlu diterapkan protokol kesehatan seperti masker hingga menghindari kerumunan?
Sebetulnya, kalau kita bicara pencegahan, ini mirip dengan supaya kita tidak terkena flu, pencegahannya sama seperti Covid-19. Jadi bisa pakai masker, terutama saat berada di fasilitas kesehatan, banyak kerumunan. Kemudian jaga jarak dan cuci tangan. Jadi konsep 3M yang seperti kita sudah lakukan ketika pandemi Covid-19 bisa diterapkan lagi. Namun konteksnya tidak hanya terkait dengan HMPV.
Apa langkah pertama jika ada gejala?
Kalau sekarang terkena flu dan gejalanya tak berat, kita tidak periksa. Sebab, toh, akan sembuh sendiri. Tapi, kalau kita mau tahu, tentu bisa. Kita bisa memeriksakan diri ke laboratorium atau laboratorium besar di Kementerian Kesehatan.
Dari kacamata epidemiologi, mengapa penyebaran HMPV ini menjadi seolah-olah mengkhawatirkan?
Pasti karena pandemi Covid-19. Dulu sebelum pandemi, kan orang tidak terlalu peduli. Tahunya hanya influenza itu batuk dan pilek. Lalu orang pernah takut flu burung, tapi tidak terlalu peduli virusnya apa. Ketika pandemi terjadi, virus itu diperiksa jenisnya dan ternyata ada banyak, seperti Omicron dan lainnya. Dengan demikian, ketika ada virus HMPV, orang akan khawatir. Apalagi kalau baru mendengar istilahnya.
Belum lagi soal informasi tak lengkap yang berseliweran di publik...
Iya, susah, jadi masyarakat khawatir. Kemudian juga soal faktor Cina sebagai negara yang dianggap menjadi sumber Covid-19.
Ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, menjelaskan tentang virus HMPV, di Jakarta, 8 Januari 2025. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kabar lain yang juga cukup menghebohkan adalah kasus penularan virus flu burung antar-manusia di Amerika Serikat. Seberapa berbahaya?
Kalau flu burung memang fatalitasnya tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Covid-19. Hanya, penyebarannya tidak semudah Covid. Biasanya flu burung menyebar ke manusia yang melakukan kontak dengan unggas. Kalau dari manusia ke manusia, masih jarang.
Dalam kasus apa flu burung bisa menular dari manusia ke manusia?
Saat ini sebetulnya banyak virus yang berasal dari hewan. Awalnya virus ini hanya ada pada hewan, tapi kemudian menular ke manusia atau zoonosis. Hal ini terjadi karena, misalnya dulu, kita tidak melakukan kontak dengan hewan itu, lalu karena makin banyak permukiman, pembukaan hutan, kita melakukan kontak dengan mereka. Jadi yang salah bukan hewannya, melainkan kita yang merebut tempat mereka. Ha-ha-ha.
Malah jadi menular ke manusia ya...
Virus itu makhluk hidup dan ingin menyebar juga. Jadi virus berusaha pindah dari hewan ke manusia. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Kalau yang berhasil, artinya si virus bisa beradaptasi. Pindah ke manusia pun belum tentu bisa menularkan ke manusia lagi. Kalau bisa beradaptasi dan menularkan ke manusia lain, terjadilah penularan itu.
Beberapa tahun lalu, kita juga sempat heboh soal flu burung.
Betul. Tapi, di Indonesia, sebetulnya kita bisa dibilang beruntung karena yang dikhawatirkan tidak terjadi. Waktu flu burung mewabah, kita khawatir dan membuat proyeksi akan terjadi pandemi karena dikhawatirkan bisa parah. Sebab, di Indonesia kan banyak unggas dan peternakan tradisional. Tapi rupanya tidak terjadi outbreak besar.
Belajar dari pengalaman Covid-19. Menurut Anda, seberapa siap Indonesia dalam menghadapi wabah penyakit?
Menurut saya, masih kurang sih. Pengumpulan data penyakit kita masih bertumpu pada puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Seharusnya rumah sakit swasta ikut serta. Kedua, seharusnya selalu ada kesiapan untuk menghadapi penyakit, harus ada simulasi.
Simulasi seperti apa?
Misalnya, terjadi pandemi lagi, apa yang harus dilakukan. Jadi kita enggak kelabakan. Itu yang perlu kita pastikan. Dan sebelum itu, ada satu hal lagi, sistem pengawasan. Grafik penyebaran penyakit harus terus dipantau?
Omong-omong sebetulnya apa peran epidemiolog bagi pemerintah?
Pemerintah harus mendengarkan para ahli, termasuk para epidemiolog. Tapi, berdasarkan pengalaman saya ketika membantu pemerintah menangani Covid-19, para ahli juga harus paham masalah pemerintah. Contohnya, kalau ditanya kepada epidemiolog mengenai solusi mengatasi pandemi, gampang: lockdown ketat, semua orang tidak boleh keluar. Ini akan efektif, tapi pemerintah bilang enggak bisa karena ekonomi akan berantakan, orang ribut.
Idealnya bagaimana?
Harus ada kompromi dan upaya saling memahami. Epidemiolog juga enggak bisa hanya bersandar pada teori epidemiologi. Karena, kalau sudah berkaitan dengan pemerintah, kan pasti berhubungan dengan ekonomi, sosial, dan lain-lain.
Bagaimana pengalaman Anda saat bekerja dengan pemerintah menghadapi Covid-19?
Covid itu contoh yang baik, pemerintah dan ahli bisa bekerja sama dengan baik, duduk bersama, serta saling mengerti. Waktu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) itu kan kebijakannya macam-macam, pernah ada larangan mudik beberapa kali. Penyebaran Covid akhirnya terkendali.
Kebijakan itu berdasarkan saran para epidemiolog?
Waktu itu sebelum musim mudik, kami menyarankan ada survei serologi dulu berdasarkan daerah tujuan mudik. Apakah di daerah tersebut sudah banyak orang yang punya antibodi Covid-19. Dengan begitu, kalaupun akan ada penularan Covid-19, tidak banyak. Dari situ dilihat, ketika antibodinya sudah tinggi, oke, mudik dibuka.
Awalnya pemerintah cenderung tidak mendengarkan ahli.
Ya, ha-ha-ha. Saya dan kolega saya, Pandu Riono, sempat kontra dengan pemerintah, banyak mengkritik pemerintah. Lalu saya dipanggil untuk rapat dengan Pak Budi Gunadi Sadikin. Akhirnya, kami jadi saling memahami dan enggak kontra lagi serta satu suara. Sampai saya pernah ditanya wartawan kenapa pendapatnya sama dengan pemerintah, ha-ha-ha. ●
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo