Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih pagi benar saat Dahlan Iskan meluncur ke kantornya di kawasan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Rambutnya basah oleh keringat seusai senam di Lapangan Monas, Jakarta Pusat. Kegiatan itu sudah dia lakukan selama dua tahun terakhir: memulai hari dengan olahraga senam. Bergegas membersihkan diri, dia menyanyikan dengan riang salah satu pengiring senamnya: Di Reject Aja. Barangkali ada ilham memancar dari lagu dangdut itu. Kini, Menteri Badan Usaha Milik Negara itu sedang mengkaji kemungkinan me-reject salah satu dari dua perusahaan pelat merah: PT Pertamina atau PT Perusahaan Gas Negara—lantaran kasus persinggungan (cross section) pipa gas dan kebijakan open access.
Mantan wartawan ini masih harus memikirkan akuisisi PT Inalum yang berbuntut ancaman Nippon Asahan Aluminium Co Ltd—yang berniat menyeret perkara ini ke Arbitrase Internasional. Dahlan, kini 62 tahun, mengakui mengurus 142 badan usaha milik negara bukanlah hal mudah.
Dibalut kemeja putih dengan lengan digulung, Dahlan menerima wartawan Tempo, Heru Triyono, Ananda Putri, dan Purwani Diyah Prabandari, pada Selasa pekan lalu. Perbincangan berlangsung di ruang kerjanya di lantai 19. Sambil sarapan bubur gandum, ia menuangkan Lung Ching—teh hijau dari Hangzhou, Cina—untuk Tempo, lalu meladeni wawancara selama satu jam lebih.
Apa yang akan Anda lakukan dalam masalah persinggungan (cross section) pipa gas PT Pertamina dengan PT Perusahaan Gas Negara?
Akan saya panggil direktur masing-masing (Karen Agustiawan dan Hendi Prio Santoso) minggu ini. Saya minta keduanya didampingi tenaga teknik lapangan. Saya akan diam untuk mendengarkan penjelasan mereka. Setelah itu, akan diputuskan seadil mungkin. Saya putuskan begini, maka harus dituruti. Kalau tidak dituruti, kita berhentikan.
Mungkinkah dalam hearing itu Anda bisa langsung mengambil kesimpulan terbaik?
Tidak akan saya paksakan. Akan saya pakai plan C: pipa itu nanti akan dipisah menjadi anak perusahaan, yang sahamnya dipegang PGN (Perusahaan Gas Negara) dan Pertamina. Dengan demikian, anak perusahaan itu yang berjalan. Artinya, aset pipa masing-masing dilepas, kemudian diberikan ke anak perusahaan itu.
Kalau mereka tetap tidak mau?
Berhentikan! (gebrak meja) Memangnya ini milik neneknya apa!
Anda kecewa terhadap konflik ini?
Saya menghargai kengototan direksi masing-masing. Ya, direksi harus begitu, harus membela perusahaannya mati-matian. Saya tidak marah. Tapi tetap harus ada kompromi.
Kompromi seperti apa?
Kompromi dalam bisnis: sharing pain dan profit. Dalam hal ini ya sharing pain.
Maksudnya?
Jangan satu pihak tersakiti, tapi harus berbagi kesakitan. Misalnya, pembangunan jalan tol rugi besar. Saya akan minta sharing pain. Itu biasa di bisnis. Kalau satu dilemahkan, satu dijayakan, tidak ada guna. Sebab, bagi BUMN, ini hanya kantong kiri dan kantong kanan. Tidak akan ada yang dilemahkan.
Apakah persinggungan pipa gas terkait juga dengan masalah open access?
Beda, dong. Ini masalahnya pipa cross. Jadi ada pipa Pertamina yang bersinggungan dengan PGN di sebelas titik di Pulau Jawa. Sudah ada pipa yang existing, tapi ada pipa baru yang mau lewat. Tapi memang open access jadi masalah lain yang melibatkan Pertamina dan PGN juga.
Bukankah open access sudah harus diterapkan Oktober ini?
Ya, tapi saya tidak setuju open access di jalur distribusi—pipa gas ke rumah-rumah. Ini milik PGN. Di situ PGN berinvestasi luar biasa. Tapi saya setuju di jalur transmisi (jalur utama). Misalnya pipa gas Jakarta-Cirebon. Ya, intinya masih banyak hambatan yang terjadi dalam distribusi gas.
Pengaturan distribusi gas sepertinya kisruh sekali?
Begini. Misalnya ada sumur minyak. Nah, gas dikasih ke siapa adalah kewenangan SKK Migas. Yang minta gas ini mulai PLN, Pertamina, PGN, sampai para pedagang (trader dan broker) gas.
Trader dan broker gas ini menjual ke mana?
Saya tidak tahu. Saya juga tidak tahu bagaimana cara mereka bisa mendapat gas dari SKK Migas.
Tapi bukankah Pertamina terkadang memakai broker dan trader juga?
Betul bahwa mereka tidak mendapat gas Tapi pertanyaannya adalah Pertamina tidak dikasih gas. Pertamina kan perlu gas. Dia terpaksa beli dari mana pun. Dari setan pun akan dia beli. Dia udah berkomitmen dengan konsumen. Take or pay. Hidup atau mati.
Apakah perlu broker dan trader gas itu dihapuskan?
Boleh saja sebenarnya, asalkan mereka mendapatkan gasnya dengan cara yang fair.
Artinya, mereka boleh juga dong memakai skema open access penggunaan jaringan pipa gas?
Sekali lagi, boleh kalau dapat gasnya fair. Ya, bisa saja, mereka nanti akan seperti bayar tol untuk memakai pipanya. Tapi, menurut saya, lebih baik trader-trader ini membangun jaringan di kota lain yang belum ada, sehingga pemerataan gas terjadi.
Menurut Anda, apa terobosan untuk menyelesaikan masalah gas ini?
Ada ide PGN akan membeli Pertagas, kemudian PGN akan dibeli Pertamina. Itu ide dasarnya. Ini agak rumit. Jadi nantinya Pertagas milik Pertamina akan dibeli oleh PGN. Terus PGN akan dibeli oleh Pertamina.
Pertamina jadi besar….
Akan jadi kekuatan. Itu konsep merger dan akuisisi. Tapi memang ada masalah yang kemudian disebut leverage financial (penggunaan dana dengan beban tetap). Jadi kemampuan memperoleh pinjamannya terganggu enggak, itu masih dianalisis.
Nasib PGN nanti bagaimana?
Jadi anak Pertamina. Tapi dia jadi bapak Pertagas. Jadi PGN di bawah Pertamina. PGN akan diakuisisi Pertamina.
Kapan itu ?
Setelah PGN mengakuisisi Pertagas dulu. Harus distudi, karena kan harus dilihat kemampuan leverage-nya seperti apa, kemudian konsekuensi pajaknya bagaimana.
Tapi bukankah PGN itu perusahaan besar dan sudah mapan? Apakah mungkin menjadi anak perusahaan Pertamina?
Dimungkinkanlah. Kenapa enggak? Katanya, Anda mau punya BUMN terbesar di Asia Tenggara. Anda ini, kita kalah sama Petronas, ngomel, mau dibikin agar bisa mengalahkan Petronas, ngomel. Terus bagaimana?
Apakah orang PGN akan senang menerima ide ini?
Senang. Mereka orang-orang rasional.
Katanya, Anda mau kasih hadiah kalau mereka (Pertamina dan PGN) akur?
Dulu, sewaktu saya Direktur Utama PLN dan ada kesulitan transmisi dari Teluk Naga ke Tangerang, saya beri hadiah mobil Avanza ke kepala proyeknya, dan kesulitan itu tidak ada lagi.
Jadi akan ada hadiah juga untuk pimpinan PGN dan Pertamina?
Saya mau kasih mobil listrik Arimbi.
Kenapa pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium molor?
Negosiasi dengan pihak NAA (PT Nippon Asahan Aluminium) berjalan alot. Dan mendadak sekali, sehari sebelum deadline (29 Oktober lalu), NAA mengubah metode pengambilalihan perusahaan menjadi transfer aset. Padahal kami sudah siap membayar menggunakan metode transfer saham.
Kenapa mereka mengubah metode itu seenaknya?
Sebetulnya yang selama ini disepakati dalam master agreement dengan mereka memang metode transfer aset. Tapi NAA juga setuju saat mengubahnya menjadi share transfer.
Mekanismenya memang seperti apa kalau metode transfer aset yang dipakai?
Asetnya diserahkan: semisal PLTA-nya diserahkan, pabriknya diserahkan, cuma dokumentasinya berbeda. Nilai aset itu kira-kira Rp 14-15 triliun (100 persen). Tapi, kalau kita bangun baru, di tempat sama, kira-kira akan habis Rp 30 triliun. Tapi kita kan ganti tidak 100 persen, karena kita memiliki 41,12 persen. Maka sekitar Rp 7 triliun yang harus kita bayar.
Kenapa NAA berniat membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional?
Jangan salah. Yang dibawa ke Arbitrase bukan masalah metodenya, melainkan soal angkanya saja. Jadi Arbitrase tidak mempengaruhi kepemilikan. Tetap jadi milik Indonesia. Yang jelas, NAA ke Arbitrase bukan untuk memperpanjang kepemilikan lagi. Mereka ke sana hanya untuk masalah harga yang tidak cocok.
Apakah Indonesia akan memenuhi permintaan biaya transfer NAA pada angka US$ 650 juta?
Angka itu tidak sesuai dengan nilai yang diajukan pemerintah. Bukan karena kita ingin lebih murah, tapi masalah prosedur good governance-nya. Kita akan ngotot di angka US$ 558 juta (sekitar Rp 6,7 triliun), yang merupakan hasil audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Kita enggak berani lebih dari itu.
Bagaimana seandainya pengadilan Arbitrase Internasional menuruti pihak NAA?
Saya masih berharap Arbitrase memutuskan sesuai dengan harga yang diaudit BPKP. Seandainya memutuskan tengah-tengah antara permintaan harga Jepang dan Indonesia, kita masih bisa memenuhi, meskipun di luar audit BPKP, karena itu keputusan pengadilan. Yang penting legal, supaya kita tidak disalahkan secara hukum.
Yang jadi masalah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara cuma menyediakan Rp 7 triliun. Kalau di atas itu, uangnya dari mana?
Yah, sepanjang itu keputusan pengadilan, uang mah bisa dicari. Yang penting legal.
Sejauh yang Anda tahu, apakah NAA sudah resmi membawa masalah ini ke Arbitrase?
Belum sampai hari ini. Masih perundingan di Singapura. Yang dikirim tim dari Kementerian Perindustrian, Keuangan, Kemenko, dan BUMN.
Bagaimana lobi-lobi Indonesia ke pemerintah Jepang dan NAA?
Itu pasti, tidak usah dar-der-dor. Orang bisnis berbeda dengan orang politik. Kita berharap pemerintah Jepang turun tangan. Hubungan Indonesia dan Jepang kan panjang. PT Inalum (Indonesia Asahan Aluminium) pun bukan satu-satunya proyek bersama kita. Bulan lalu, saya baru meresmikan proyek BUMN dengan perusahaan swasta Jepang di Kalimantan Barat.
Apa dampak kepemilikan Indonesia terhadap PT Inalum untuk industri aluminium dalam negeri?
Amat besar. Selama ini industri aluminium dalam negeri besar sekali impor bahan bakunya, karena tidak bisa mendapat jatah dari Inalum. Dalam perjanjian dengan Jepang waktu itu, 70 persen produksi Inalum harus dikirim ke Jepang. Itu 30 tahun lalu, ketika Indonesia belum punya industri aluminium. Kini tentu banyak yang menyerap. Yang pasti, harga aluminium di Inalum jauh lebih murah karena mereka punya sumber listrik yang murah. Anda tahu sendiri, peleburan aluminium membutuhkan energi listrik luar biasa besarnya, berbeda dengan pabrik sepatu, yang tidak memerlukan listrik besar.
Murahnya berapa?
Biaya listrik di Inalum itu hanya 3 sen. Yang lain-lain bisa mencapai 14 sen, atau paling murah 1 dolar. Inalum itu di dalamnya ada pembangkit listrik sebesar 600 megawatt, sehingga harga listriknya sangat murah. Kalaupun kelak orang enggak mau menggunakan aluminium, dari pembangkit listriknya sudah untung bukan main. Kalau dijual ke PLN, 6 sen itu untungnya sudah bertriliun-triliun.
Apakah benar Direktur Keuangan Krakatau Steel, Sukendar, akan masuk dewan direksi PT Inalum?
Iya. Dia salah satu yang diincar, tapi belum tentu karena Krakatau Steel dalam keadaan sulit. Dia kan andalan di situ.
Bagaimana menangani BUMN yang sekarat, misalnya Merpati?
Satu-satunya jalan adalah merestrukturisasi utangnya. Bukan dengan kasih avtur terus. Itu tidak akan menyelamatkan. Yang efektif adalah apa yang dilakukan Garuda dulu. Utangnya kepada pemerintah dijadikan saham. Utang Merpati kepada perusahaan BUMN lainnya juga sekaligus dijadikan saham. Tapi BUMN tidak bisa mengambil keputusan sebelum pemerintah. Ini harus bersamaan.
Kenapa Merpati tidak digabungkan dengan Garuda saja?
Bisa digabung, asalkan utangnya sudah restrukturisasi. Garuda ini kan baru keluar ICU. Jalannya belum begitu kencang. Memang terbang tinggi, tapi masih belum sehat alias belum pulih sepenuhnya. Kalau Merpati di sana, nanti Garuda masuk ICU lagi.
Anda pernah bilang Merpati tidak usah terbang, tapi mengerjakan maintenance facility saja. Apakah itu dijalankan?
Terserah, saya memberikan pilihan. Masak, saya baru jadi menteri langsung tutup Merpati? Waktu itu saya tawarkan lahan sawit dua hektare, karena saya pikir itu pesangon yang produktif daripada uang. Ternyata mereka pilih berusaha menghidupkan Merpati. Ya, itu bagus juga.
Ada perkembangan signifikan sejauh ini dari Merpati ?
Lumayan. Misalnya, bukunya lebih tertib, anak perusahaan maintenance-nya laba. Lumayan, tapi karena utang besar, itu tetap tidak cukup.
DAHLAN ISKAN Tempat dan tanggal lahir: Magetan, 17 Agustus 1951 Pendidikan: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Samarinda, 2 tahun 6 bulan (DO) Karier: Reporter Harian Mimbar Masyarakat, Samarinda (1974-1976) l Koresponden Tempo Kalimantan Timur dan Kepala Biro Tempo Jawa Timur (1975-1982) l Editor in Chief Jawa Pos (1982-1984) l Chairman dan CEO Jawa Pos (1984-2005) l Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), 23 Desember 2009-19 Oktober 2011 l Menteri Badan Usaha Milik Negara Kabinet Indonesia Bersatu II, sejak 19 Oktober 2011 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo