Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERIBAHASA "tak bakal dua kali si buta kehilangantongkat" rupanya tak berlaku bagi Komisi Pemilihan Umum. Seraya menyiarkan daftar pemilih tetap untuk Pemilihan Umum 2014, dua pekan lalu, dengan ketenangan yang mengagumkan, Komisi menyatakan masih ada masalah pada 10,4 juta nama dalam daftar tersebut. Angka itu sedikit lebih besar daripada penduduk Jakarta.
Waktu empat tahun, dari 2009 ke 2013, kiranya juga tak cukup bagi Komisi untuk belajar dari pengalaman buruk. Tambahan pula, untuk kibang-kibut daftar pemilih tahun ini ada apologi yang "masuk akal": penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Padahal, menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, "E-KTP tak ada hubungannya dengan daftar pemilih tetap."
Komentar Gamawan memang tak perlu terlalu dipikirkan. Sebab, beberapa waktu yang lalu dia juga yang mengatakan bahwa e-KTP akan menjadi pengendali data penduduk yang berhak memberikan suara pada pemilu. Artinya, sangatlah tidak cerdas bila mengatakan e-KTP tidak ada hubungannya dengan daftar pemilih tetap. Apalagi Kementerian Dalam Negeri pernah menyatakan bahwa daftar penduduk potensial pemilih akan siap untuk Pemilu 2014.
Dalam kenyataan, perihal nomor induk kependudukan (NIK) saja data di lapangan colak-caling. Sedari mula NIK diharapkan menjadi nomor identitas tunggal penduduk Indonesia, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Bahkan, sejak menjelang Pemilu 2009, NIK tunggal ini sudah dibicarakan, dan tetaptinggal sebatas bahan diskusi.
Dalam temuan Badan Pengawas Pemilu, sedikitnya di 20 kabupaten/kota ditemukan beberapa orang yang memiliki NIK yang sama. Kalau urusan NIK saja masih berantakan, apalagi perkara nama ganda—seperti pengalaman pada Pemilu 2009. Kekacauan data itu biasanya terjadi ketika menyangkut penduduk yang berada di penjara, asrama atau pesantren, daerah konflik, dan kawasan perbatasan.
Di mana pun silang-selisihnya, bukan saatnya Komisi Pemilihan Umum dan Kementerian Dalam Negeri saling menyalahkan. Keduanya harus secara tangkas berkoordinasi untuk mengatasi masalah mendesak ini. Soalnya, sampai pada saat pengumuman daftar pemilih tetap, kita tidak merasakan adanya kepekaan krisis (sense of crisis), bahkan dari pihak Komisi. Contohnya, Komisi malah mengajukan permohonan tambahan anggaran dengan dalih pemutakhiran data pemilih, padahal untuk pos itu telah dikucurkan Rp 3,7 triliun.
Kekisruhan daftar pemilih tetap tidak bisa ditanggapi sebagai masalah teknis administratif belaka. Kibang-kibut ini menyangkut masalah yang lebih mendasar.Daftar pemilih tetap merupakan jaminan negara atas hak-hak demokrasi rakyat. Jika seorang saja warga negara tidak bisa mengikuti pemilihan umum karena "kekeliruan teknis administratif", negara telah melakukan penganiayaan atas hak demokratis warga negara tersebut.
Dari aspek partisipasi, masalah kerancuan daftar pemilih tetap ini mengandung potensi rawan. Pengalaman menunjukkan angka-angka yang tidak menggembirakan. Jumlah pemilih memang bertambah dari pemilu ke pemilu, tapi jumlah kunjungan ke kotak suara terus menurun. Tingkat partisipasi yang mencapai 93 persen pada Pemilu 1999 merosot menjadi 71 persen pada Pemilu 2009, dan bukan mustahil terjun bebas pada Pemilu 2014 jika sejak awal sudah direcoki daftar pemilih bermasalah.
Komisi Pemilihan Umum dan Kementerian Dalam Negeri harus sepenuhnya—dan secepatnya—bekerja mengantisipasi semua kemungkinan itu.
berita terkait di halaman 224
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo