Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESESI di ambang pintu, kata pelbagai prediksi ahli. Jika tak diantisipasi, resesi bisa berubah menjadi krisis ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan Asia dan Pasifik akan melambat pada 2022 dan 2023.
Pemicunya adalah pengetatan keuangan global yang menyebabkan melemahnya sisi permintaan terhadap barang dan jas. Dua dampak yang tak kalah penting adalah invasi Rusia ke Ukraina dan perlambatan tajam di ekonomi Cina. Prediksi IMF itu dituangkan dalam laporan “Sailing into Headwinds” yang diluncurkan di Singapura pada Kamis, 27 Oktober lalu.
Untuk Indonesia, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi turun dari 5,3 persen pada tahun ini menjadi 5 persen tahun depan. Meskipun begitu, IMF menilai pertumbuhan itu masih lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Ekonom senior IMF, Yan Carrière-Swallow, menjelaskan, prediksi ekonomi tahun depan dalam laporan itu di kantor Tempo pada Selasa, 1 November lalu. Ia ditemani Senior Resident Representative IMF untuk Indonesia, James P. Walsh.
Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, Yan dan James memaparkan situasi ekonomi global dan dampaknya bagi Indonesia. Keduanya juga menanggapi rencana pemerintah mematok target pertumbuhan di atas 5 persen, utang luar negeri, melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, target investasi Rp 1.900 triliun pada tahun depan, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Jadi apa yang terjadi dengan ekonomi global tahun depan?
Yan Carrière-Swallow: Suasana pertemuan tahunan IMF di Washington, DC, Amerika Serikat, pada Oktober lalu cukup suram karena terus turunnya kinerja pemain utama ekonomi global. Saran kebijakan utama kami di tingkat global adalah bank sentral menurunkan inflasi tinggi. Tapi kebijakan ini menciptakan hambatan besar bagi pasar di seluruh dunia, yang harus menghadapi kenaikan suku bunga yang cepat dan pada saat yang sama permintaan eksternal melambat dari negara-negara maju akibat pengetatan moneter mereka.
Untuk Asia, kami menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi pada 2022 menjadi 4 persen. Itu lebih rendah dari prediksi pada 2021, ketika ekonomi pulih setelah pandemi. Kami melihat prospek Asia dibentuk oleh faktor-faktor global ini, di antaranya pengetatan kondisi keuangan akibat inflasi sangat tinggi di sebagian besar ekonomi maju, baik Amerika maupun Eropa. Bank sentral harus merespons dengan sangat kuat inflasi yang tinggi itu. Pengetatan keuangan mulai menyebabkan biaya pinjaman yang lebih tinggi untuk ekonomi Asia-Pasifik, meskipun di pasar negara berkembang kami masih melihat kondisi keuangannya relatif baik.
Apa faktor penting penurunan ekonomi itu?
Yan: Pengetatan keuangan mungkin merupakan tantangan terbesar saat ini. Itu menempatkan bank sentral dalam ruang yang sempit karena pada saat mereka mendukung ekonomi dalam pemulihan setelah pandemi Covid-19, mereka dihadapkan pada faktor-faktor eksternal ini, termasuk inflasi, suku bunga tinggi, dan itu menciptakan trade-off untuk kebijakan moneter yang sulit ditangani. Tantangan kedua adalah perang di Ukraina. Invasi Rusia ke Ukraina memicu lonjakan yang sangat besar dalam krisis global. Untuk Asia-Pasifik menjadi kejutan negatif, tapi tidak untuk semua negara. Indonesia tidak terkecuali.
Mana yang lebih besar dampaknya?
Yan: Invasi ke Ukraina mengganggu pasar energi di Eropa. Itu pendorong utama inflasi tinggi di Eropa dan melambatkan permintaan domestik di sana. Untuk negara-negara seperti Indonesia yang lebih jauh, hubungan perdagangan dengan Eropa dan Rusia tentu saja lebih kecil. Saluran transmisi utama yang kita lihat dari konflik ke Asia-Pasifik melalui pasar komoditas.
IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan menjadi 5 persen, turun tiga poin dari tahun ini. Kenapa?
Yan: Lima persen itu pertumbuhan cukup tinggi. Itu jauh lebih tinggi daripada banyak negara. Indonesia cukup baik dibanding banyak negara lain. Cina sulit keluar dari strategi pandemi, inflasi Amerika sangat tinggi, serta Eropa mengalami krisis energi dan inflasi yang tinggi. Indonesia pulih dengan cukup baik dari pandemi. Risiko sebagian besar berasal dari luar.
Tahun depan kami memperkirakan pertumbuhan 5 persen, yang sebagian besar karena ketidakpastian global akibat perang, inflasi, dan krisis komoditas sehingga berpengaruh terhadap investasi. Kami juga prihatin atas berkurangnya permintaan dari Amerika, Cina, dan Eropa khususnya, yang akan melemahkan permintaan ekspor Indonesia dan mempengaruhi Indonesia. Tapi, permintaan di sini, konsumsi di kalangan konsumen Indonesia, investasi di antara perusahaan-perusahaan Indonesia, sejauh ini cukup kuat. Apalagi jika dibandingkan dengan banyak ekonomi besar lain di seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
James P. Walsh: Jika Anda melihat secara umum, ekonomi global suram. Secara relatif, Asia tumbuh, meskipun kami menurunkan tingkat pertumbuhan Asia 4 persen, jauh lebih rendah daripada pertumbuhan selama 20 tahun sebelum pandemi. Tapi, dalam konteks berbeda, Asia masih tumbuh jauh lebih cepat daripada negara-negara lain di dunia. Di Asia, ASEAN tumbuh lebih cepat daripada negara-negara Asia lain. Di dalam ASEAN, Indonesia tumbuh lebih cepat dari negara-negara ASEAN lain. Begitu cara kami melihat perspektif 5 persen. Itu masih tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi, mengingat konteks global, ketika sebagian besar negara di dunia sekarang menghadapi kondisi ekonomi yang terlihat, jika tidak secara teknis dalam resesi, setidaknya terasa seperti resesi. Dalam konteks itu, tumbuh 5 persen cukup bagus.
Jadi target pemerintah tumbuh di atas 5 persen tak realistis?
Yan: Menaikkan pertumbuhan itu sulit di negara mana pun. Anda bisa melihat banyak negara, seperti Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Cina, pertumbuhannya melambat. Jadi, dalam kasus Indonesia, 5 persen adalah tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Tidak menutup kemungkinan beberapa negara seperti Indonesia tumbuh lebih cepat dari itu. Ada banyak reformasi struktural yang diperlukan untuk melakukannya, tapi sulit. Yang bisa dilakukan adalah berinvestasi di bidang pendidikan, perawatan kesehatan, dan infrastruktur. Namun di Indonesia melakukan itu mahal. Mahal di negara mana pun juga. Indonesia memiliki tingkat penerimaan pajak yang luar biasa rendah dan menghabiskan banyak uang untuk subsidi bahan bakar minyak. Tapi subsidi bahan bakar di Indonesia proporsinya masuk ke kelas menengah dan orang kaya yang mengendarai mobil besar. Jika subsidi dikurangi atau jika pajak dinaikkan ke tingkat yang sebanding untuk peningkatan banyak negara lain, lebih banyak uang yang dapat dibelanjakan untuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan infrastruktur yang akan membuat ekonomi lebih produktif serta terus memperkuat jalan dalam jangka panjang.
Dampak perang Ukraina terhadap Indonesia kecil atau moderat?
Yan: Dampak perang lebih moderat daripada di tempat lain dan dalam hal tertentu, bagi Indonesia, angka perdagangan positif. Ada kejutan pada transaksi berjalan. Surplus sekarang cukup sehat. Itu tentu saja mendukung nilai tukar sehingga rupiah terdepresiasi kurang dari kebanyakan mata uang negara Asia lain. Indonesia tidak terisolasi dari ekonomi global, tapi saya pikir dampaknya lebih moderat di sini.
Indonesia terkena dampak karena impor minyak?
Yan: Ini menjadi tantangan bagi semua negara ketika harga minyak impor naik sebagian besar pada pertengahan 2022. Sekarang harga minyak di pasar global sudah mulai turun lagi, yang disambut baik. Saya pikir itu telah menghilangkan tekanan, tapi tentu saja ada periode yang sangat sulit saat subsidi bahan bakar akan meningkat secara mencolok. Transisi untuk menyesuaikan harga bahan bakar sangat disambut baik. Kami memahami sangat penting untuk melindungi rumah tangga yang rentan dari guncangan global, harga bahan bakar, dan harga energi ini. Tapi kami meminta negara-negara melakukannya dengan cara menyesuaikan dengan situasi fiskal dan caranya adalah memastikan bahwa uang publik diberikan kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonom senior IMF untuk Asia dan Pasifik Yan Carriere-Swallow saat wawancara dengan Tempo di Jakarta, 1 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Ihwal energi terbarukan di Indonesia, apakah punya peluang dari Amerika dan Eropa?
Yan: Dari perspektif global, kami menganggapnya sebagai percepatan pentingnya transisi dari kegiatan ekonomi berbahan bakar fosil. Saya pikir ini akan mempercepat transisi menuju energi terbarukan di tingkat global. Sebagian negara secara aktif berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berasal dari Rusia.
James: Dalam kasus Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera, memiliki sumber daya panas bumi yang sangat besar. Jika Indonesia memiliki energi terbarukan, itu hebat. Mahal untuk diterapkan, tapi mungkin. Jika Indonesia menggunakan tenaga surya, tenaga angin, dan panas bumi, kita tidak perlu terlalu khawatir akan krisis minyak global. Jika kita bisa melakukan transisi bahan bakar dengan sukses, kita akan memiliki kendaraan listrik, sepeda motor listrik. Maka kemudian akan ada sedikit alasan untuk khawatir terhadap harga bahan bakar global, harga batu bara global, dan harga minyak global.
Bagaimana IMF menilai prospek ekonomi hijau?
James: Perubahan iklim mungkin tantangan terbesar dunia saat ini. Kami melihat lebih banyak masalah di seluruh dunia mungkin berasal dari perubahan iklim. Jadi transisi ini sangat penting. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Salah satunya menetapkan harga energi bahan bakar fosil dengan cara mencerminkan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap lingkungan. Jadi pajak karbon yang disahkan sebagai bagian dari harmonisasi pajak di Indonesia akan menjadi langkah awal dari kenaikan harga tersebut. Indonesia salah satu negara pertama yang memiliki jenis taksonomi hijau yang memandu investasi. Jadi sangat penting bahwa pasar negara berkembang memiliki taksonomi ini dan pasar negara berkembang memiliki suara tentang bagaimana kebijakan ini dirancang ulang di seluruh dunia.
Yan Carriere-Swallow (kiri) dan James Walsh saat wawancara dengan Tempo di Jakarta, 1 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Masyarakat Indonesia khawatir atas utang luar negeri. Apakah itu beralasan?
James: IMF membuat laporan ekonomi Indonesia setiap tahun. Setiap laporan mencakup keberlanjutan dan analisis utang. Kami mengatakan utang Indonesia berkelanjutan. Dan kami tidak mempermasalahkan utang Indonesia. Jadi Indonesia, seperti setiap negara lain di dunia, menghabiskan banyak uang selama masa pandemi untuk mendukung ekonomi dan mendukung rumah tangga berpenghasilan rendah. Tidak apa-apa. Ada ruang untuk melakukan itu. Kami sangat mendukungnya. Sekarang kita telah bergeser untuk menghadapi ekonomi yang pulih. Tidak apa-apa untuk kembali normal dan kembali ke target 3 persen (dari produk domestik bruto). Kami tidak khawatir terhadap utang Indonesia.
Apa indikator utang berkelanjutan?
Yan: Jika ekonomi melambat atau mata uang melemah, kami masih berpandangan utang Indonesia dapat dikelola dengan asumsi yang masuk akal. Jadi kami tidak khawatir hal itu akan kembali menjadi masalah. IMF menempatkan Indonesia dalam biaya pinjaman terbesar ketiga di Asia setelah Bangladesh dan India untuk biaya pinjaman dengan mata uang lokal yang hampir 8 persen.
Bukankah itu terlalu tinggi untuk bunga?
James: Itu tinggi dan kami senang jika lebih rendah. Satu-satunya cara untuk menurunkan biaya suku bunga adalah memiliki kebijakan fiskal yang kredibel dalam jangka waktu yang lama. Tapi prosesnya selalu lambat. Kebijakan fiskal Indonesia sudah sangat berhati-hati untuk waktu yang lama dan utang tetap berkelanjutan secara keseluruhan dan defisit anggaran turun. Saya berharap hal itu mendorong pasar untuk mulai menuntut suku bunga yang lebih rendah.
Yan Carrière-Swallow
Pendidikan
- Bachelor of arts bidang ekonomi The University of British Columbia, Kanada
- Master of arts bidang ekonomi Queen’s University, Kanada
Karier
- Pengajar di Universidad Católica de Chile, Chile (2011-2012)
- Ekonom bank sentral Chile (2009-2011)
- Penasihat ekonomi bank sentral Chile (2011-2012)
- Penasihat Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF), Washington, DC, Amerika Serikat (2012-2015)
- Ekonom IMF (2015-2021)
- Ekonom senior IMF (2021-sekarang)
Indonesia akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Dengan prediksi ekonomi seperti ini, apakah itu tidak berisiko?
James: Sepanjang pendanaannya dalam fiscal envelope (kapasitas fiskal) yang sangat bertanggung jawab, tidak masalah. Pemerintah bisa melakukannya. Mereka berbicara tentang kemitraan publik-swasta atau dapat dilakukan melalui publik. Saya berharap itu adalah bagian dari kebijakan fiskal pemerintah yang sangat hati-hati secara keseluruhan.
Yang dikhawatirkan adalah soal pendanaannya....
James: Mahal untuk membangun kota baru, tapi belanja infrastruktur... itu belanja efektif. Jadi, selama itu adalah bagian dari keseluruhan fiscal envelope, saya rasa kita tidak akan melihatnya berbeda dari banyak pengeluaran lain.
IMF lebih optimistis, sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahaya resesi, inflasi tinggi, tahun depan. Jadi seberapa rentan ekonomi Indonesia?
Yan: Saya tidak melihat Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan di Asia atau dalam ekonomi global. Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang paling tangguh, dalam hal memiliki tingkat penyangga yang sehat. Saya kira respons kebijakan sebelumnya dan pada tahun ini menempatkan Indonesia dengan sangat baik untuk menuju 2023 dengan perekonomian yang seimbang secara internal dan eksternal. Inflasi di atas target, tapi juga tidak terlalu tinggi dalam konteks global, dengan surplus kecil tahun ini dan mungkin bergerak ke defisit tahun depan. Namun itu akan sangat kecil sehingga tidak terlalu rentan.
Pemerintah memiliki target investasi domestik dan asing tahun depan sekitar Rp 1.900 triliun. Apakah itu realistis?
James: Tergantung pada perkiraan global. Sebagian yang diputuskan investor asing untuk tahun depan akan bergantung pada prospek global, apa yang terjadi di Ukraina, suku bunga di Amerika, dan pembiayaan di seluruh dunia. Apa yang terjadi pada investor domestik di Indonesia akan tergantung pada prospek yang mereka lihat untuk perekonomian Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Jadi investasi domestik akan cukup kuat tahun depan dan, setelah tingkat pertumbuhan 5 persen, akan ada cukup banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia tahun depan. Karena itu, kami tidak melihat ada masalah dengan defisit transaksi berjalan. Jadi, sejauh itu, kami pikir target semacam itu realistis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo