Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Target Ambisius Tenggat Tak Terkejar

Pelbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah menjelang COP27. Mungkinkah memenuhi target yang ambisius?

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah kebijakan terkait dengan mitigasi perubahan iklim diambil pemerintah menjelang COP27.

  • Enhanced NDC menjadi referensi utama delegasi Indonesia di COP27.

  • Belum terlihat upaya transisi hijau.

SEPULUH hari sebelum menghadiri Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-27 (COP27) yang akan diselenggarakan di Sharm el-Sheikh, Mesir, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan arahan kepada delegasi Indonesia. Dalam rapat koordinasi akhir yang digelar pada Kamis, 27 Oktober lalu, itu, Menteri Siti menekankan kepada anggota delegasi untuk membawa kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang dalam upaya pengendalian perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam siaran pers yang dikeluarkan Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti menekankan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) yang Ditingkatkan atau Enhanced NDC yang baru dikirim ke sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada 23 September lalu sebagai referensi utama bagi delegasi Indonesia. Enhanced NDC memperbarui komitmen iklim Indonesia dalam dokumen Updated NDC yang dikirim tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan kemampuan sendiri ditingkatkan dari 29 persen menjadi 31,89 persen, sementara dengan dukungan internasional naik dari 41 persen menjadi 43,20 persen. "Melalui penguatan kebijakan-kebijakan itu, kita semua optimistis Indonesia akan mampu menghadapi tantangan dan dampak perubahan iklim," kata Menteri Siti. Target NDC tersebut dibangun berdasarkan beberapa kebijakan yang disiapkan pemerintah setahun terakhir di sektor-sektor penghasil emisi terbesar, seperti kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) serta energi.

Di sektor FOLU, persiapan untuk COP27 yang dilakukan KLHK adalah merilis buku The State of Indonesia's Forests 2022: Toward FOLU Net Sink 2030. Buku yang diluncurkan setiap dua tahun itu berisi dokumentasi kebijakan pemerintah dalam menjalankan tata kelola hutan dan lingkungan. Buku tersebut diluncurkan langsung oleh Menteri Siti di Roma, Italia, pada 4 Oktober lalu. "Semua upaya kami untuk mencapai FOLU net sink 2030 telah dituangkan dalam publikasi baru kami ini," tuturnya saat itu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) memberikan arahan saat Workshop Rencana Kerja Nasional dan Rencana Kerja Sub Nasional 12 Provinsi Indonesia’s Forestry And Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, di Jakarta, 27 Oktober 2022/ppid.menlhk.go.id

FOLU net sink 2030 adalah kondisi pada 2030 ketika jumlah karbon dioksida yang diserap sektor FOLU dari atmosfer lebih besar ketimbang yang dilepaskannya. Ada tiga koridor besar yang menjadi tulang punggung kebijakan ini, yaitu pengelolaan hutan berkelanjutan, tata kelola lingkungan, dan tata kelola karbon. Salah satu yang disinggung untuk mengatasi deforestasi adalah moratorium pemberian izin baru yang dituangkan dalam Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB).

Meski demikian, menurut Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, berdasarkan hasil pemetaan dan analisis yang dilakukan lembaganya, masih terdapat sekitar 9,6 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi dalam PIPPIB. "Ketika ada perambahan atau pencurian kayu di dalam kawasan hutan primer yang 9,6 juta hektare itu, pemerintah tak akan bisa memprosesnya secara hukum karena tidak ada alas hukumnya," ucapnya.

Sementara itu, dari sektor gambut, Kepala Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Didy Wurjanto mengatakan institusinya telah menggalang partisipasi multipihak untuk melaksanakan pelbagai program terkait dengan rehabilitasi mangrove dan restorasi gambut guna mendukung pencapaian target NDC Indonesia. BRGM, dia menjelaskan, telah membangun peran kelompok masyarakat atau desa untuk mengelola dan memanfaatkan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan, seperti lewat ekowisata, juga mendayagunakan hasil hutan bukan kayu dengan lestari.

Cara lain yang telah ditempuh BRGM adalah menyiapkan dan menguatkan peran kelembagaan kelompok masyarakat melalui pembinaan teknis, sosialisasi, dan cara-cara lain agar masyarakat dapat merestorasi gambut secara mandiri. "Mengaktifkan juga peran tim restorasi gambut daerah dan tim rehabilitasi mangrove daerah untuk ikut sebagai penggerak masyarakat dan swasta di masing-masing provinsi baik dalam menjaga gambut agar tidak dikeringkan ataupun dalam menanam mangrove," ujarnya.

Sementara itu, di sektor energi yang menjadi ranah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada lima aksi mitigasi yang menjadi strategi utama pemerintah untuk menekan emisi gas rumah kaca. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana, yang juga menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, mengatakan kementeriannya akan ikut menghadiri serangkaian acara COP27 beserta acara lain.

Dadan menyampaikan beberapa pokok diskusi yang akan diangkat Kementerian ESDM, yaitu upaya dekarbonisasi sektor energi di Indonesia, strategi mencapai emisi nol bersih, serta tantangan yang akan dihadapi ke depan. "Adapun beberapa program yang akan disampaikan adalah kewajiban pemakaian biofuel, pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, kolaborasi dan dukungan badan usaha milik negara, serta upaya percepatan transisi energi baik di Indonesia maupun secara regional ASEAN dan global," katanya.

Ia menjelaskan, Kementerian ESDM telah memiliki Peta Jalan Net Zero Emission 2060 Sektor Energi yang mencakup kebijakan utama dari sisi suplai energi yang di dalamnya terdapat proyeksi produksi dan strategi pencapaian target penurunan emisi di subsektor minyak, gas bumi, batu bara, ketenagalistrikan, dan bahan bakar nabati. Juga dari sisi demand yang mencakup penerapan program konservasi energi setiap sektor pengguna energi pada sektor transportasi, industri, rumah tangga, dan komersial.

Sementara itu, kebijakan utama di sektor industri yang akan ditekankan Kementerian ESDM dalam COP adalah pengalihan bahan bakar pembangkit, elektrifikasi, penerapan efisiensi energi, pemanfaatan hidrogen sebagai substitusi gas dan biomassa untuk substitusi bahan bakar fosil, serta penerapan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Kebijakan di sektor transportasi meliputi pemanfaatan biofuel, pengurangan impor bahan bakar minyak (BBM), penggunaan hidrogen untuk truk dan kendaraan lain, pemanfaatan eco-fuel untuk pelayaran dan penerbangan, peningkatan efisiensi teknologi di sektor transportasi, serta penetrasi kendaraan listrik.

Di sektor rumah tangga dan komersial, Dadan melanjutkan, programnya adalah penggunaan kompor listrik atau induksi, pembangunan infrastruktur jaringan gas perkotaan, pengurangan bertahap impor elpiji, pengoptimalan manajemen energi serta penerapan Standar Kinerja Energi Minimum, dan penggunaan peralatan yang efisien dalam hal energi. Agenda-agenda unggulan Kementerian ESDM ini termaktub dalam lima aksi mitigasi di sektor energi dalam Enhanced NDC 2022.

Kritik terhadap strategi aksi mitigasi Kementerian ESDM mengemuka karena dianggap tak akan mampu mengejar target Enhanced NDC. Salah satunya datang dari Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, yang mengatakan periode menuju 2030 sangat singkat, sementara pemerintah masih memberikan sinyal yang membingungkan. "Ada pertanda pemerintah ingin transisi energi tapi menghabiskan batu bara dulu. Jadi tidak ada lompatan besar dalam transisi energi," tuturnya.

Pertanda ini, menurut Tata, terlihat dari tidak adanya rencana mempercepat program pensiun dini PLTU yang gamblang. Padahal, kata dia, sudah ada kondisi kelebihan pasokan listrik. Kebijakan pengadaan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas pemerintah dan kompor listrik jadi terlihat semata bertujuan menyerap kelebihan pasokan listrik tersebut. "Pemerintah jadi menghambat pengembangan listrik yang lebih hijau dan bersih seperti tenaga surya," ucapnya.

Dampak hambatan ini terasa bagi konsumen yang secara sadar bertransisi ke tenaga surya atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Selain perizinan yang cukup memakan waktu, ketersediaan kWh export-import (meteran) dari PLN tidak dapat dipastikan dan konversi ekspor-impor masih belum menarik bagi konsumen. Menurut Tata, masih ada kondisi-kondisi teknis dalam implementasi PLTS atap yang kontradiktif dengan peraturan menteri mengenai insentif tenaga listrik. Pelbagai kondisi itu mengesankan pemerintah sengaja memberi perintang untuk segera keluar dari ketergantungan pada PLTU batu bara.

Ia menekankan aksi pemerintah itu tak sesuai dengan laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan iklim (IPCC) yang menunjukkan pada 2040 semua negara harus keluar dari batu bara. Sementara itu, Indonesia masih mengandalkan penggunaan batu bara sebesar 25 persen sampai 2050. "Masih banyak pula solusi palsu, seperti co-firing biomassa di PLTU dan B40 (biodiesel 40 persen) yang tak bisa dijamin tidak akan menyebabkan deforestasi," ujarnya.

Warga membersihkan panel surya atap rumahnya di Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, September 2019/ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Sementara itu, dua pekan menjelang COP27, Siti Nurbaya menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 22 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Setidaknya ada tiga mekanisme untuk mengaplikasikan nilai ekonomi karbon (NEK), yakni perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, dan pungutan atas karbon. NEK digadang-gadang menjadi salah satu pengisi celah kebutuhan pendanaan mitigasi perubahan iklim yang mencapai Rp 3,461 triliun hingga 2030.

Lead Environmental Economist World Resources Institute Indonesia Sonny Mumbunan mengatakan penyelenggaraan NEK sangat strategis untuk memenuhi target NDC dengan dua catatan. Pertama, secara umum NEK menjadi “yang memungkinkan” pencapaian target NDC. Kedua, secara khusus, strategis atau tidaknya akan sangat bergantung pada pilihan instrumen dan skema NEK.

Sonny, Kepala Center for Climate and Sustainable Finance Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa efektivitas ketiga mekanisme penyelenggaraan NEK pun sangat bergantung pada seberapa ambisius instrumen dan skema yang dipilih dan dijalankan. Sebagai contoh, pungutan atas karbon masih terbilang rendah dibanding yang diusulkan sains atau belum cukup ambisius. Skema berbentuk gabungan skema cap-and-tax pun baru akan dijalankan setelah 2024. "Efek kebijakan yang diharapkan hanya punya waktu sekitar lima tahun sebelum tenggat NDC tahun 2030," katanya.

Besaran potensi NEK sebagai pengisi celah pembiayaan penurunan emisi pun, menurut Sonny, akan sangat bergantung pada instrumen dan asumsi tingkat harga karbon. "Saat ini kita belum memiliki informasi lengkap tentang ini. Baru pembayaran berbasis hasil yang sudah berjalan pada harga US$ 5 per ton CO2," ucapnya.

Untuk skema pajak karbon, meski sudah ada harga berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, belum ada besaran jumlah karbon untuk pagu (cap) sektor pembangkit batu bara dan emisi sektor berbasis lahan. Walhasil, ambisi besar di COP27 belum terlihat mudah dicapai.

YAZIS (MAGANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus