Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH perlu mengerem tabiat mengumbar janji kosong tentang penanganan krisis iklim. Tanpa substansi kebijakan yang konkret, upaya memoles diri di depan forum internasional, seperti yang dilakukan menjelang konferensi perubahan iklim (COP27) di Sharm el-Sheikh, Mesir, hanya akan menjatuhkan kredibilitas Indonesia di mata komunitas global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal tahun ini Indonesia masuk daftar 24 dari 193 negara peratifikasi Perjanjian Paris 2015 yang memperbarui target penurunan emisi karbon dalam proposal nationally determined contributions atau NDC. Pembaruan komitmen ini diumumkan seusai COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui NDC yang baru, pemerintah Presiden Joko Widodo berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca dari sebelumnya 29 persen menjadi 31,89 persen secara mandiri. Adapun dengan bantuan internasional, pemerintah meningkatkan target penurunan emisi karbon dari 41 persen menjadi 43,20 persen.
Masalahnya, untuk negara yang masih bergelut dengan beragam persoalan lingkungan, target sebesar itu jelas amat berani—jika tak bisa disebut gegabah. Jangan sampai semua target itu berhenti jadi angka-angka proyeksi di atas kertas, yang entah kapan bakal terealisasi. Apalagi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan perubahan iklim, UNFCCC, baru saja mengumumkan bahwa target baru 24 negara—termasuk Indonesia—belum juga cukup untuk mengatasi dampak krisis iklim.
Dengan kata lain: tanpa kesepakatan penurunan emisi karbon yang lebih radikal, bumi tetap bakal masuk jalur kenaikan suhu 2,5 derajat Celsius pada akhir abad ini. Planet tempat kita hidup ini bakal menghadapi puncak krisis iklim karena suhu global naik di atas 1,5 derajat Celsius pada 2030 atau 2 derajat Celsius pada 2050.
Karena itu, janganlah kita anggap enteng komitmen penurunan emisi yang jadi tanggung jawab kita. Mengumumkan target baru yang lebih ambisius tanpa diimbangi kebijakan yang pro-lingkungan bisa dituduh sebagai pembohongan publik. Tengok saja sederet program andalan Indonesia yang dirancang untuk menyukseskan NDC, tak sedikit yang manis di bibir saja.
Di sektor energi, misalnya. Pemerintah mengandalkan penurunan emisi dari program bahan bakar nabati B40 dengan kandungan 40 persen minyak sawit untuk campuran solar. Pemerintah berargumen bahwa penggunaan B40 dapat mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan, karenanya, emisi di negeri ini dapat ditekan. Padahal semua orang tahu bahwa kebanyakan produksi sawit berasal dari pembukaan hutan. Artinya, ketika pemerintah menggenjot produksi bahan bakar nabati, ada potensi terjadi deforestasi.
Belum lagi kebijakan Presiden Jokowi mengenai penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagai kendaraan dinas operasional pemerintahan. Pemerintah berdalih kendaraan listrik memiliki emisi yang lebih rendah. Dalam realitasnya, kita tahu nikel sebagai bahan baku baterai umumnya ditambang dari kawasan hutan. Dari situ saja kita paham bahwa produksi baterai besar-besaran untuk mobil listrik justru bisa memicu deforestasi yang tak kalah besar-besaran.
Walhasil, aksi pemerintah menebar janji menjelang COP27 tak ubahnya gimik publikasi semata. Sekilas tampak gagah, tapi tak ada isinya. Alih-alih berkontribusi pada mitigasi krisis iklim, sikap semacam itu justru mensabotase upaya bersama menyelamatkan bumi kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo