Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Berburu Gas Sampai Afrika

Indonesia diprediksi mengalami kekurangan gas alam cair selama beberapa dekade mendatang. Keputusan bisnis PT Pertamina (Persero) yang berujung pidana.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK awal pergantian tahun, Presiden Joko Widodo sudah memperingatkan potensi krisis pasokan energi dalam negeri. Jokowi meminta supaya batu bara dan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) yang diproduksi di dalam negeri diutamakan untuk kepentingan sendiri. “Saya minta kepada produsen LNG, baik Pertamina maupun swasta, untuk mengutamakan kebutuhan dalam negeri terlebih dulu,” ujar Presiden Joko Widodo pada 3 Januari lalu.

Potensi krisis pasokan gas alam cair dalam negeri sebenarnya sudah diprediksi sejak 11 tahun lalu. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan dalam data neraca gas nasional, yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2011, disebutkan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kekurangan pasokan gas alam cair untuk kebutuhan industri di dalam negeri.

Pesatnya pertumbuhan industri dalam negeri membuat kebutuhan LNG meningkat. Adapun produksi LNG cenderung tidak meningkat dan sebagian diekspor. “Itu tampaknya yang menjadi dasar PT Pertamina (Persero) mencari gas di luar negeri pada 2012” ujar Mamit kepada Tempo pada Jumat, 4 November lalu.

Pertamina membuat kontrak dengan Cheniere Energy melalui anak usahanya, Corpus Christi Liquefaction, LLC, untuk membeli 0,76 juta ton per tahun gas alam cair pada Desember 2013. Kontrak berlaku selama 20 tahun dari 2019 hingga 2039. Hingga Sabtu, 5 November lalu, Pertamina tak kunjung merespons permintaan wawancara ihwal proyek LNG ini.

Pada tahun yang sama, Pertamina menegosiasikan pembelian gas alam cair dari Mozambik di Afrika Timur dengan Anadarko Petroleum Corp lewat anak perusahaannya, Mozambique LNG1 Company Pte Ltd. Satu tahun kemudian, kedua perusahaan menandatangani head of agreement (HoA) rencana pembelian. Negosiasi sempat mandek karena ada perubahan harga gas alam cair dunia pada 2016.

Pada 2018, data neraca gas nasional yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan pada 2011-2017 cadangan gas konvensional menurun dari 152.9 trillion square cubic feet (TSCF) menjadi 142.72 TSCF. Pemerintah berusaha mengantisipasi penurunan tersebut dengan meningkatkan eksplorasi guna menemukan cadangan baru.

Pertamina lantas melanjutkan pembicaraan rencana pembelian gas alam cair dari Mozambique dan kembali menandatangani HoA dengan Anadarko pada 2018. Akhirnya, kesepakatan jual-beli antara Pertamina dan Anadarko ditandatangani pada Februari 2019. Dalam kontrak, Pertamina membeli gas alam cair sebanyak 1 juta ton per tahun selama 20 tahun selama 2025-2045.

Pertamina berencana menggunakan pasokan gas alam cair dari Cheniere untuk disalurkan ke terminal floating storage and regasification unit di Aceh dan Jawa Tengah. Kedua terminal ini merupakan pemasok utama gas untuk kebutuhan sektor kelistrikan dan industri.

Adapun impor gas alam cair dari Mozambique direncanakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan Pertamina mengoperasikan kilang bahan bakar minyak dan refinery development master plan di Cilacap, Jawa Tengah. Selain itu, impor tersebut direncanakan untuk memenuhi kebutuhan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Jawa-1 di Cilamaya, Jawa Barat.

Belakangan, dua kontrak pembelian gas alam cair tersebut menjadi temuan dalam audit internal Pertamina dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pertamina dianggap membeli LNG dengan harga yang terlalu mahal sehingga menimbulkan kerugian negara. Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyelidiki dugaan korupsi gas alam cair ini. Negara diperkirakan rugi hingga Rp 2 triliun.

Menurut Mamit, langkah Pertamina untuk mengimpor LNG tidak sepenuhnya salah. “Sebab, saat itu ada prediksi kekurangan gas dalam negeri,” ujarnya. Selain itu, Mamit melanjutkan, sejumlah pelaku industri mengeluhkan pasokan gas dan pemerintah tidak kunjung bisa menaikkan produksi gas dalam negeri.

Mengenai harga pembelian gas alam cair, masih menurut Mamit, tidak juga serta-merta dianggap kemahalan atau merugikan. Alasannya, harga gas bumi sewaktu-waktu bisa berubah. “Jika perhitungannya menggunakan harga gas pada saat pandemi Covid-19, saat harga gas turun, ya jadi mahal. Tapi sekarang harga gas naik bisa dianggap untung karena harga pembelian gas tetap.”

Pengamat energi dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Kurtubi, mengatakan gonjang-ganjing gas alam cair di Indonesia terjadi karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola industri gas dalam negeri. Menurut Kurtubi, LNG adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan kemampuan membaca dinamika pasar. Hal tersebut yang tampaknya tidak bisa dilakukan dengan baik oleh pemerintah.

Ia mengatakan dulu industri dalam negeri belum terlalu membutuhkan gas, lalu gas dijual ke luar negeri dengan kontrak jangka panjang. Tapi sekarang ternyata industri dalam negeri berkembang pesat dan membutuhkan banyak pasokan gas. “Wajar jika Pertamina kemudian impor gas untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” ujarnya.

Ia meyakini langkah impor gas alam cair oleh Pertamina adalah keputusan bisnis. “Namun, jika KPK menilai ada pelanggarannya, semestinya disampaikan secara transparan, seperti kebiasaan KPK zaman dulu. Supaya semua jelas,” ujarnya.

Di tengah polemik hukum itu, persoalan tentang pasokan gas alam cair di dalam negeri masih tidak menentu. Kondisi tersebut dikeluhkan oleh sejumlah pelaku industri. Seperti yang dialami sejumlah industri di Sumatera Utara pada akhir tahun lalu. Mereka mengalami kelangkaan pasokan gas selama dua bulan dan menyebabkan produksi tersendat.

Ketua Komite Minyak dan Gas Bumi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ananda Idris mengatakan sebenarnya Indonesia memiliki potensi gas alam yang besar. Sayangnya, eksplorasi dan eksploitasi gas tidak kunjung berkembang. Salah satunya proyek di Blok Masela, Maluku. Proyek tersebut tidak kunjung rampung.

Hingga kini, proyek raksasa yang masuk proyek strategis nasional itu tersendat. “Kalau sejak awal pemerintah tegas, proyek di Blok Masela semestinya sudah berjalan dan berproduksi sehingga kita tidak bingung gas lagi, apalagi sampai impor,” ujar Ananda pada Sabtu, 5 November lalu.

Ia beranggapan saat ini ada keinginan besar para pelaku industri untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan. Apindo juga mendorong para pelaku industri menggunakan energi yang ramah lingkungan. Salah satunya beralih dari penggunaan batu bara atau minyak ke gas. Peralihan tersebut yang mendorong kebutuhan gas dalam negeri meningkat pesat.

Namun sikap pemerintah tampaknya masih mendua. Meski Presiden Joko Widodo meminta produsen gas alam cair mengutamakan pasokan di dalam negeri, toh pemerintah melalui Kementerian Energi memperpanjang kontrak ekspor gas ke Singapura. Kontrak yang sedianya akan berakhir pada 2023 itu diperpanjang hingga 2028.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan keputusan itu diambil karena permintaan LNG yang tinggi dari Singapura dan surplus gas di dalam negeri. “Karena ketidakpastian pasokan gas, sebagian industri terpaksa kembali ke minyak atau batu bara,” ucap Ananda.

RIKY FERDIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus