Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usia boleh 75 tahun, tapi penyair Sapardi Djoko Damono masih tetap produktif berkarya. Tahun ini, Sapardi sudah meluncurkan Trilogi Soekram yang berisi gabungan buku fiksi karyanya berjudul Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati, dan Pengarang Tak Pernah Mati, serta novel Hujan Bulan Juni-judul yang sama dipakainya dalam sajak. Bulan depan, dia akan menelurkan lagi satu buku kumpulan sajak dan novel. Deretan buku ini melengkapi tumpukan tulisan lainnya yang sudah dibuatnya sejak remaja.
Sapardi juga baru saja berpartisipasi dalam Frankfurt Book Fair 2015, Oktober lalu, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan. Di sana dia mengisi sejumlah acara, termasuk diskusi bertajuk "Personal Conversation with Sapardi" di arena Paviliun Indonesia. Penampilannya di Jerman ini boleh dibilang adalah pengakuan terhadap pencapaian karya, dan tentu saja militansinya dalam dunia tulis-menulis.
Buat Sapardi, menulis bukan sekadar hobi, melainkan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Setelah membaca banyak buku, dia perlu menumpahkan isi kepalanya dengan sajak, cerita pendek, novel, esai, dan karya ilmiah. "Kalau enggak nulis itu, sama dengan makan tapi enggak berak," kata Sapardi kepada wartawan Tempo, Nur Alfiyah dan M. Iqbal Ichsan, di ruang kerjanya, Institut Kesenian Jakarta, Rabu pekan lalu.
Banyak karya Sapardi yang dicomot karena kesederhanannya, seperti sajak Aku Ingin yang kerap ditulis dalam undangan pernikahan, dan Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi yang dicuplik dalam kaus. Dia mengaku banyak belajar cara menulis sajak dari penyair kondang W.S. Rendra.
Anda begitu produktif menulis. Bagaimana Anda menggali insipirasi?
Kalau duduk menulis, niat ingsun (saya berniat) nulis, ya nulis. Apa saja ditulis. Dari berita koran, ngobrol seperti ini jadi tulisan, dari baca buku. Semua bisa masuk, apa saja. Saya bisa menulis di kantor, kelas, pesawat, bus, di kereta api. Tapi memang waktu menulis itu yang tidak bisa saya tentukan. Saya ingin menulis, ya sudah menulis. Kapan pun.
Apa yang Anda butuhkan untuk menulis?
Kesendirian. Saya tidak bisa ramai-ramai. Kesendirian itu yang saya perlukan, dan tidak diganggu ini-itu. Kebetulan saya suka musik, jadi kalau menulis, ya, setel musik, dari dangdut sampai klasik. Duit saya habis untuk mengunduh musik di i-Tunes. Banyak banget yang saya unduh, ada Four Play, Bee Gees, The Beatles. Opo-opo ono (apa-apa ada). Saya juga suka dengan lagu musikalisasi puisi saya.
Anda membuat target harus menghasilkan sekian karya dalam setahun?
Enggak ada. Tapi memang banyak sekali, kan, tulisan saya tahun ini. Sejak awal tahun lalu barangkali, saya menulis terus. Dan nulisnya itu justru lebih banyak bukan puisi. Ya puisi nulis juga. Tapi tahun ini belum nulis untuk majalah.
Betapapun, secara keseluruhan, karya Anda yang terbanyak tetap puisi. Kenapa Anda memilih puisi?
Puisi itu enggak memerlukan banyak waktu. Bukan lebih mudah, tapi lebih cepat selesai. Kalau novel, kadang-kadang capek. Pas jadi, malah salah. Artinya saya ubah lagi, tokohnya, namanya diubah. Lebih lama, bisa dua-tiga bulan. Kadang-kadang malah satu tahun baru selesai.
Memang dibutuhkan berapa lama dalam menulis satu puisi?
Ha-ha-ha Bisa sejam-dua jam. Pernah semalam saya bisa menulis 18 sajak. Tapi ada juga yang sampai tiga tahun enggak selesai-selesai.
Sajak mana yang tidak selesai-selesai itu?
Sajak Marsinah. Saya merasa tidak puas-puas. 'Ini sajak apa kok kayak gini?'
Apa yang membuat Anda tak puas dengan sajak itu?
Ketika tahun 1996-1998, ada mahasiswa dibunuh, ada buruh Marsinah di Surabaya yang diseret-seret. Bagi saya, orang kalau marah tidak bisa menulis. Harus tenang sehingga bisa berpikir kritis dan bisa melepaskan diri dari keterlibatan emosional. Kadang-kadang orang, kan, emosi. Nah, nanti karyanya malah cengeng. Saat itu saya marah betul, akhirnya saya tidak bisa menulis. Sajak Marsinah itu saya tulis tiga tahun dan tetap saya belum puas sampai sekarang.
Karena Anda masih marah?
Saya melihat masih ada kemarahan di situ. Kalau saya baca lagi, 'Ah, ini mestinya enggak begini.' Saya masih emosi, saya merasakan itu, orang lain juga pasti merasa. Sajak Marsinah ini nanti ada di buku yang baru.
Banyak orang yang justru lebih produktif menulis ketika emosi, seperti sedang marah, atau jatuh cinta.
Gombal! Kalau sedang marah, jangan menulis. Harus bisa melepaskan dari emosinya dan bisa melepaskan diri dari apa yang dia tulis. Harus mengambil jarak. Coba, karya anak-anak muda itu cengeng semua, wong dia terlibat di situ, kok. Menurut saya, itu tidak boleh. Kalau menurut orang lain, ya, terserah.
Tapi banyak orang bilang sajak Anda romantis.
Yang romantis, kan, yang baca. Mereka yang menafsirkan. Salahnya sendiri. Kalau sajak saya tidak romantis. Artinya, orang-orang itu belum pernah membaca sajak saya yang lain. Seneng, ya, cuma satu, dua, tiga, yang lainnya ditinggal . Coba lihat Hujan Bulan Juni, yang romantis itu kan cuma sebagian kecil, bagian lainnya enggak. Isinya saya protes ini-itu, tapi dengan bahasa sederhana.
Soal bahasa yang sederhana, Anda memang sengaja melakukan pilihan itu-memilih diksi sederhana?
Enggak! No! Kalau orang bilang, 'Pak Sapardi, kata-katanya sederhana, mudah dipahami.' Saya lalu bertanya, 'Artinya apa coba?' Bengong to? Enggak tahu, kan? Membaca sajak itu menghayati, bukan memahami. Mungkin sajak saya itu memberikan peluang kepada siapa saja yang membaca untuk menghayati, merasakan sesuatu, mengalami sesuatu.
Jadi, bagi Anda sajak itu bukan susunan kata-larik-bait yang memberikan atau menyediakan makna?
Sajak itu imaji dan metafora. Seperti Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, itu kan pernyataan lugas, bukan imaji. Tetapi dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, nah itu baru gambar. Ada kayu, api, yang menjadikannya abu. Paham enggak gambarnya? Paham to. Apa artinya? Ya enggak ada. Jadi orang mungkin jadi suka karena gambar yang saya ciptakan itu aneh.
Pilihan katanya yang sederhana, tapi lalu disusun membentuk imaji baru?
Orang biasa melihat balok kayu terbakar, tapi kan enggak pernah dipakai untuk maksud seperti itu. Seolah-olah ada kayu yang bicara dengan api. Saya enggak mengatakan itu, tapi orang menangkap. Terserah bagaimana menghayatinya, yang saya berikan kepada Anda hanya gambar. Makanya Goenawan Mohamad pernah berkomentar bahwa sajak-sajak Sapardi itu pantas diirikan karena memang aneh. Kok menulis sajak seperti itu?
Anda sengaja menciptakan keanehan itu?
Enggak. Saya berkeyakinan bahwa sajak itu adalah seni kata dan seni kata yang paling tinggi adalah metafora. Penciptaan metafora itulah yang membuat seseorang itu bisa menjadi penulis puisi atau tidak. Sebab, kalau metaforanya klise, mengutip sana-sini, ya bubar. Jadi harus menciptakan metafora baru yang gampang ditangkap. Banyak orang menciptakan metafora tapi susah menangkapnya. Mungkin orang mengatakan sajak saya sederhana karena metafora saya gampang banget.
Beberapa orang mengkritik karya Anda yang dikatakan mirip karya Goenawan Mohamad.
Itu wajar. Mungkin satu-dua yang negatif, artinya melihat kecacatan. Tapi saya bisa menerima, cacat itu benar. Wong jelek, mau apa?
Ngomong-ngomong, dari sekian banyak karya Anda, mana yang paling disukai?
Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari sama Topeng. Itu ada semua di buku Hujan di Bulan Juni. Sajak Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari itu kan sederhana sekali dan bagus. Saya cuma cerita mengenai seseorang berjalan ke barat lalu di belakangnya ada matahari, kemudian ada bayang-bayang. Sudah. Tapi sajak itu diterbitkan dalam banyak bahasa, dibuat dalam banyak antologi di Amerika Serikat.
Itu sajak Anda yang paling bagus?
Enggak, sajak saya yang paling bagus ya yang belum saya tulis. Artinya, saya akan terus menulis. Kalau sudah enggak kuat, ya sudah....
Anda sudah menulis sejak sekolah menengah pertama, dulu bagaimana sih awal mulanya?
Saya suka membaca, dulu langganan majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat. Lalu saya berpikir saya juga bisa menulis seperti ini. Saya lalu menulis apa yang saya alami. Tapi di sana menganggap itu tidak masuk akal, mungkin begitu seremnya. Jadi ditolak. Saya terus berhenti. Masih menulis tapi tak pernah mencoba dikirim.
Tetapi karya Anda kemudian malah diterima H.B. Jassin saat masih sekolah menengah atas.
Itu juga saya heran kenapa langsung diterima. Saat itu saya kelas II SMA, seingat saya waktu itu cuma belajar menulis puisi dua bulan, terus dimuat Pak Jassin di majalah Mimbar Indonesia. Wah, saya senang bukan main. Bayangkan, dimuat di ruang kebudayaan, bukan ruang remaja. Saya kemudian jadi senang dan menulis terus. Sejak saat itu hampir semua majalah berita dan kebudayaan memuat puisi saya.
Sedari kecil, Anda menang bercita-cita menjadi penulis?
Enggak, saya ngglinding (menggelinding) saja.
Lalu, dari mana Anda belajar membuat sajak pertama kali?
Dari W.S. Rendra, dia kakak kelas saya di UGM, tiga atau dua tahun. Dia juga idola saya karena yang pertama menyadarkan bahwa puisi bisa ditulis dengan bahasa yang gampang dan mudah dipahami orang, tapi indahnya minta ampun. Saya pernah meniru karyanya. Tapi mau mati-matian meniru ya tidak bisa.
Apakah saat menulis Anda hanya konsentrasi pada satu hal?
Saya menulis dengan selang-seling. Saat menulis novel, saya masih menulis puisi, menulis karangan ilmiah, esai, buku untuk mahasiswa. Itu yang membuat saya tidak bosan. Otak saya ada kotak-kotaknya kali. Ha-ha-ha.
Tidak pernah jenuh menulis?
Enggak. Kalau jenuh, mati.
Sapardi Djoko Damono
Tempat tanggal lahir:
Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940
Isteri: Wardiningsih
Pendidikan: Doktor sastra dari Universitas Indonesia (1989)
Penghargaan, antara lain:
-Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1984)
-SEA-Write Award dari Thailand (1986)
-Hadiah Seni dari pemerintah Indonesia (1990)
-Kalyana Kretya dari Menristek (1995)
-Life-time achievement award dari Indonesia Institute pada 2003 dan Akademi Jakarta pada 2012.
Buku, antara lain:
-Tirani Demokrasi (esai, 2014)
-Trilogi Soekram (novel, 2015)
-Suti (novel, 2015)
-Hujan Bulan Juni (novel, 2015)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo