Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tidak Ada Kecurangan Terstruktur

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Abhan:

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Abhan. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUNCAK pesta demokrasi tahun ini telah berlalu. Sebanyak 152 juta orang, 80 persen dari 190 juta pemegang hak suara, telah menyalurkan aspirasinya dalam pemilihan umum pada 17 April lalu. Dengan lima surat suara—kecuali di DKI Jakarta, yang tidak memiliki dewan tingkat kota—ini merupakan pemilihan umum terbesar di dunia yang berlangsung dalam satu hari. Di India, misalnya, 930 juta pemilih menyalurkan suaranya dalam tujuh tahap selama enam pekan.

Dalam pelaksanaannya, muncul berbagai masalah. Ada sekitar 17 ribu kelompok penyelenggara pemungutan suara yang melapor belum menerima logistik hingga hari pencoblosan, surat suara tertukar di 3.000 tempat pemungutan suara, sampai dugaan mobilisasi pemilih di 400 TPS. Ujung-ujungnya, muncul tudingan ada upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk memenangkan salah satu pihak.

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Abhan membantah tudingan tersebut. Ia mengatakan memang ada beberapa penyelenggara pemilu yang berat sebelah. “Tapi itu soal netralitas, untuk kepentingan pribadi,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Reza Maulana dan Angelina Anjar, di kantornya, Kamis, 18 April lalu.

Menurut Abhan, 50 tahun, masalah yang muncul dalam pemilihan presiden dan legislatif 2019 tersebut sebatas teknis, dari manajemen logistik hingga pemenuhan hak pemilih. Ia mencontohkan perkiraan pemungutan suara ulang dan susulan di 2.000 tempat pemungutan suara. Jumlah tersebut hanya sekitar 0,25 persen dari 809 TPS di seluruh Indonesia. “Secara umum, harus kita akui pemilu ini berjalan damai dan lancar,” kata pria yang menyalurkan suara di kediamannya di Sedangmulyo, Semarang, itu.

Saat Indonesia mulai bisa melepaskan diri dari ketegangan pemilihan presiden, kerja utama Bawaslu dimulai. “Sekarang semua mengadu ke kami soal masalah pemilu,” tuturnya.

Bagaimana evaluasi Bawaslu terhadap Pemilihan Umum 2019?

Tahap pemilu belum selesai. Tentunya kami belum bisa memberikan kesimpulan sampai ada hasil rekapitulasi nasional. Tapi, sejauh ini, pemungutan suara berjalan dengan baik dan lancar. Hanya, ada beberapa catatan. Misalnya persoalan manajemen logistik. Ada tempat pemungutan suara yang surat suaranya kurang dan tertukar. Ada juga TPS yang logistiknya terlambat.

Mengapa banyak masalah logistik?

Sampai hari ini ada 3.066 TPS yang surat suaranya kurang dan 3.721 TPS yang surat suaranya tertukar. Mungkin ada alasan terkait dengan daftar pemilih tetap. Tapi ada juga masalah logistik yang tidak ada kaitannya dengan DPT. Misalnya kelompok penyelenggara pemungutan suara tidak menerima formulir C1 (lembar penghitungan suara). Padahal pengadaan formulir-formulir itu kan bisa sejak jauh hari, tidak perlu menunggu DPT.

Salah satu anggota Bawaslu mengatakan pemilu ini kisruh....

Pertama, dengan berkembangnya dunia digital, informasi dari masyarakat menyebar dengan begitu cepat sehingga seakan-akan ini ramai. Kedua, ini adalah pemilu yang penyelenggaraannya paling kompleks. Belum pernah ada pemilu dengan lima surat suara dan sekitar 193 juta pemilih. Pesertanya pun lebih banyak dibanding Pemilu 2014. Saat ini ada 16 partai politik, sementara pada 2014 hanya ada 12 partai politik. Implikasinya, ada kompleksitas dalam hal teknis administrasinya.

Menurut Anda tidak kisruh?

Secara umum, harus kita akui pemungutan suara berjalan damai dan lancar. Tapi harus kita akui juga ada banyak catatan meskipun tidak sampai kisruh dan menyebabkan substansinya tidak berjalan. Ini lebih pada persoalan teknis administrasi yang harus diperbaiki. Selain persoalan manajemen logistik yang saya sebutkan tadi, ada persoalan pemenuhan hak pilih, terutama pemilih di luar negeri.

Contohnya?

Masalah yang terjadi di Sydney, Australia. Hingga Maret lalu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sydney mengatakan telah mengeluarkan 40 ribu paspor. Tapi pemilih yang masuk DPT hanya 25 ribu orang. Artinya ada selisih 15 ribu orang. Katakanlah 50 persen memenuhi syarat masuk DPT, berarti ada 7.500 orang yang berpotensi masuk daftar pemilih khusus. Nah, DPK hanya mengandalkan sisa surat suara dan tambahan 2 persen dari jumlah DPT. Artinya, di sana, surat suara untuk pemilih dalam DPK hanya 500. Kan, tidak cukup.

Ketidakakuratan jumlah pemilih juga menyebabkan antrean panjang di TPS luar negeri?

Di Sydney persoalan manajemen waktu. Waktu pemungutan suara dibatasi waktu kontrak lokasi pemungutan suara. Seharusnya itu bisa diantisipasi. Misalnya, saat berkunjung ke Hong Kong, 14 April lalu, saya melihat antrean pemilih di Queen Elizabeth Stadium masih panjang menjelang batas akhir pemungutan suara pada pukul 19.00. Akhirnya saya meminta panitia dan Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong memperpanjang waktu kontrak lokasi pemungutan suara yang tadinya hanya sampai pukul 21.00 menjadi sampai pukul 22.00 atau 23.00. Pemungutan suara selesai sekitar pukul 21.30.

Hingga hari ini (Kamis, 18 April), Bawaslu menerima 121 ribu laporan. Jumlah ini naik atau turun dibanding Pemilu 2014?

Pemilu kali ini tidak bisa dibandingkan dengan Pemilu 2014 karena keserentakannya berbeda. Kalau hanya melihat kuantitas laporan masalahnya, mungkin lebih besar sekarang. Tapi ini lebih karena kompleksitas itu tadi. Kontestasinya juga lebih ketat. Karena hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, mau tidak mau masyarakat terbelah. Jadi dinamikanya lebih keras. Meskipun begitu, pemilu kali ini masih bisa dibilang lancar.

Apa pertimbangan Bawaslu merekomendasikan pemungutan suara ulang di 38 TPS dan pemungutan suara susulan di 1.395 TPS?

Pemungutan suara ulang bisa dilakukan kalau ada kejadian-kejadian yang melanggar prosedur. Misalnya ada orang yang tidak berhak memilih di TPS A tapi mencoblos di situ atau surat suara sudah tercoblos tapi baru ketahuan setelah pemungutan suara selesai. Sementara itu, pemungutan suara susulan bisa dilakukan bila, misalnya, pemilih sudah datang ke TPS tapi logistik belum siap. Jumlah itu masih bisa berkembang. Tapi katakanlah nantinya pemungutan suara ulang dan pemungutan suara susulan harus dilaksanakan di 2.000 TPS, persentasenya tidak sampai 1 persen, hanya sebagian kecil.

Apakah KPU berhak menolak rekomendasi itu?

Menurut kami, tidak ada ruang banding. Kami sudah berkomunikasi dengan Pak Arief Budiman (Ketua KPU) dan beliau mengatakan segera menindaklanjuti semua rekomendasi Bawaslu.

Rekomendasi pemungutan suara ulang di antaranya di Kuala Lumpur, khusus metode pos, menyusul temuan surat suara tercoblos untuk pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Apa saja pertimbangan Bawaslu?

Soal prosedur pemungutan suara dengan metode pos di sana yang tidak sesuai dengan peraturan KPU. Seharusnya ada catatan pengiriman yang jelas terkait dengan kapan dan ke mana surat-surat suara itu dikirim. Tapi, ketika kami mengklarifikasinya ke panitia penyelenggara di sana, mereka tidak bisa menjelaskan.

Anda bisa memastikan surat suara itu asli?

Belum karena kami belum diizinkan melihat barang bukti oleh polisi Malaysia. Tapi ada keterangan dari pengawas kami. Menurut dia, surat suara itu sama persis dengan yang pernah dia lihat ketika mengawasi proses sebelum pengiriman. Amplopnya pun sama.

KPU mengatakan ada tanda khusus pada surat suara yang hanya bisa diidentifikasi petugas KPU....

Ya, tapi KPU juga tidak bisa meyakini bahwa itu palsu. Kami mempercayai pandangan jajaran kami.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kuala Lumpur disebut sebagai relawan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno….

Kami sudah meminta klarifikasi kepada yang bersangkutan mengenai foto yang beredar itu (kolase yang menyamakan foto Ketua Panwaslu Kuala Lumpur dengan perempuan pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga). Dia mengatakan itu hoaks. Itu orang yang berbeda. Yang bersangkutan sudah dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kami akan menghormati proses yang berlaku. Kalau memang dia terbukti bersalah, kami akan melakukan tindakan.

Ada indikasi pelaku?

Sedang kami telusuri.

Bagaimana perkembangan penyelidikan dari kepolisian Malaysia?

Kemarin permintaan audiensi kami sudah mereka terima. Tapi mereka mengatakan, karena kasus ini ada di polisi, hubungannya dengan Kepolisian RI. Mereka tidak paham bahwa kasus yang berada di ruang lingkup pemilu adalah kewenangan Bawaslu.

Selain surat suara pemilihan presiden, benarkah surat suara pemilihan legislatif tercoblos untuk Davin Kirana, anak Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Rusdi Kirana?

Ya, tapi caleg lain juga ada.

Fakta itukah yang membuat Bawaslu merekomendasikan KPU mencopot wakil duta besar dari keanggotaan panitia penyelenggara di Kuala Lumpur?

Ada dua anggota panitia penyelenggara di sana yang kami minta dicopot, yakni asisten pribadi duta besar dan wakil duta besar. Nah, asisten pribadi duta besar ini penanggung jawab pemungutan suara di Kuala Lumpur dengan metode pos. Jadi saya lebih melihat pada kesalahan prosedur yang terjadi. Sebagai penanggung jawab, dia harus bertanggung jawab.

Bukan berdasarkan konflik kepentingan?

Itu yang satunya, wakil duta besar. Anak Pak Dubes kan nyaleg. Ini berpotensi ada konflik kepentingan.

Menurut KPU, saat dilantik tahun lalu, dia belum menjadi wakil duta besar.…

Tapi ketika dilantik sebagai wakil duta besar kan dia tahu bahwa posisinya adalah anggota panitia penyelenggara. Menurut saya, secara etis dan moral, dia harus mengundurkan diri.

Bukankah selalu ada unsur perwakilan kedutaan dalam setiap panitia penyelenggara luar negeri?

Tapi kan tidak ada duta besar lain yang anaknya nyaleg. Terlebih kedutaan sudah terwakili oleh staf lokal dan sekretariat. Prinsipnya, penyelenggara harus netral dan kelihatan netral. Kelihatan netral itu juga penting. Misalnya saya berfoto begini (menunjukkan jari telunjuk dan jempol yang merupakan salam Prabowo-Sandiaga), kan, kelihatan tidak netral walaupun saya bilang itu gaya tembak-tembakan.

Politik uang terus marak. Apa penyebabnya?

Perkembangan terakhir, sudah lebih dari 25 kasus yang kami temukan. Kasus politik uang ini paling banyak terjadi dalam pemilihan legislatif. Penyebabnya terkait dengan sistem proporsional terbuka. Kedua, terkait dengan parliamentary threshold sebesar 4 persen yang dianggap berat oleh partai. Untuk mencapai itu, mereka mesti sikut-sikutan, baik antarpartai maupun antar-calon anggota legislatif dalam satu partai. Ketika peserta pemilu berpikiran pragmatis, yang dilakukan adalah beli suara rakyat. Karena itu, kami melakukan patroli politik uang.

Seberapa efektif cara itu?

Menurut saya, ini efektif untuk mengungkap beberapa kasus. Minimal kami mencegah. Kalau toh kasusnya tidak bisa diproses secara hukum karena perbuatannya belum terlaksana, minimal kami bisa menahan agar tidak terjadi pemberian uang sebelum hari pemungutan suara.

Abhan (tengah), saat konferensi pers yang berisi rekomendasi pemungutan suara ulang di Malaysia, di media center Bawaslu, Jakarta, 16 April lalu. ANTARA/M Risyal Hidayat

Toh, pada akhirnya, para calon legislator itu tetap bisa dipilih....

Kalau terbukti secara hukum dan inkracht melakukan perbuatan pidana politik uang, mereka bisa didiskualifikasi.

Bowo Sidik, politikus Partai Golkar yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dengan barang bukti 400 ribu amplop uang yang diduga akan digunakan untuk serangan fajar, bisa dikenai pelanggaran pemilu?

Saat berkoordinasi dengan KPK, kami menemukan perbuatan politik uangnya belum terlaksana. Jadi masih menjadi wilayah KPK. Tapi persoalan politik uang ini memang pendekatannya tidak bisa hanya secara hukum. Ada panitia pengawas yang dikeroyok saat menangani kasus politik uang karena dianggap menghalangi warga menerima rezeki. Ha-ha-ha….

Di mana kejadiannya?

Di luar Jawa. Nominalnya Rp 100 ribu per orang. Jadi kita juga harus membangun kultur masyarakat. Mereka harus disadarkan akan bahaya politik uang. Efeknya kan korupsi. Peserta pemilu yang melakukan politik uang pasti berpikir untuk balik modal. Karena itu, sistem rekrutmen oleh partai politik juga harus diperbaiki.

Dengan banyaknya masalah, muncul tudingan upaya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Tanggapan Anda?

Memang ada beberapa pelanggaran yang terjadi. Tapi sifatnya masih soal netralitas individu. Artinya, kami tidak bisa memungkiri bahwa mungkin ada beberapa oknum penyelenggara yang disuap dan main-main untuk kepentingan pribadi. Tapi, kalau kemudian itu dikatakan sebagai upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif, atau didesain oleh penyelenggara pemilu, tidak ada. Lagi pula, ruang bagi publik untuk melaporkan penyelenggara pemilu yang tidak netral sangat terbuka.

Bawaslu pun dituduh memihak pasangan Prabowo-Sandiaga....

Ya. Beberapa kali kami dilaporkan ke DKPP, disebut pro terhadap pasangan calon 02. Tapi itulah risiko bagi penyelenggara pemilu karena apa pun keputusan kami tidak mungkin memuaskan kedua belah pihak. Kalau menguntungkan pasangan calon 01, disebut memihak pasangan calon 01. Begitu pula kalau menguntungkan pasangan calon 02, disebut memihak pasangan calon 02.

Bagaimana pengawasan rekapitulasi penghitungan suara?

Rekapitulasi itu kan terbuka. Masyarakat bisa ikut mengawasi. Kalau ada hitungan yang salah, sampaikan kepada panitia pengawas. Yang namanya human error pasti ada. Tapi kami juga akan menyelidiki apakah itu memang human error atau ada unsur kesengajaan. Kalau ada unsur kesengajaan, tentunya kami akan mengambil tindakan, dari sisi administrasi, kode etik, hingga pidana pemilu.

Termasuk menjawab tuduhan bahwa KPU mengatur server untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf?

Bagaimana di-setting? Wong kita menghitungnya secara manual. Bukan e-voting. Inilah alasan ketika dulu ada usul e-voting. Pertanyaan yang mengemuka adalah sudah percayakah masyarakat kepada penyelenggara pemilu? Mau sistemnya bagus, kalau tidak ada kepercayaan dari masyarakat, susah. Yang jelas-jelas manual saja dibilang ada setting. Memangnya menghitung dengan komputer? Ini kan hanya alat bantu KPU untuk menginformasikan hasil pemungutan suara dengan lebih cepat.

 


 

ABHAN

Tempat dan tanggal lahir: Pekalongan, Jawa Tengah, 12 November 1968

Pendidikan: Madrasah Aliyah Salafiyah Pekalongan (1987), Sarjana Hukum Universitas Pekalongan (1991), Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang (2017)

Karier: Ketua Bawaslu (2017-2022), Ketua Bawaslu Jawa Tengah (2012-2017), Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jawa Tengah (2008-2009), Pengacara (1992-2008, 2009-2012)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus