Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu pekan menjelang rapat umum pemegang saham, manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengumumkan laporan keuangannya kepada semua investor. Laporan diunggah di situs resmi Bursa Efek Indonesia tepat saat pemilihan umum, Rabu, 17 April lalu. Berdasarkan laporan itu, kinerja Garuda Indonesia kembali biru pada triwulan pertama tahun ini.
Grup maskapai pelat merah itu membukukan laba bersih hingga US$ 19,7 juta. “Ditunjang pendapatan operasional,” kata Direktur Keuangan Garuda Indonesia Fuad Rizal kepada Tempo, Jumat, 19 April lalu. Laba pada triwulan ini memang terlihat besar jika dibanding kerugian sebesar US$ 64,3 juta pada kuartal pertama tahun lalu. Pendapatan dari penerbangan berjadwal menyumbang porsi pemasukan terbesar saat ini. Nilainya mencapai US$ 923 juta dengan pertumbuhan sekitar 11,6 persen.
Garuda juga mencatatkan penurunan beban usaha dibanding periode yang sama pada 2018. Di tengah menurunnya intensitas perjalanan udara yang biasa terjadi sepanjang Januari-April, maskapai ini melakukan berbagai perbaikan struktur biaya operasional. Perseroan, menurut Fuad, mengatur ulang kapasitas angkutan sesuai dengan permintaan. “Konsumsi bahan bakar menjadi lebih terukur.”
Manajemen juga menegosiasikan kembali biaya penyewaan unit armada sehingga ongkos sewa pesawat berkurang hingga 30 persen. Jumlah itu setara dengan US$ 60 juta. Biaya operasional penerbangan menurun menjadi US$ 618 juta. Biaya pelayanan penumpang dan operasional jaringan juga berkurang. Namun beban lain, seperti pemeliharaan dan perbaikan, biaya bandara, tiket dan promosi penjualan, serta operasi transportasi, meningkat dibanding triwulan pertama 2018.
Sepanjang triwulan pertama tahun lalu, Garuda meraih pendapatan kurang dari US$ 1 miliar, sementara beban usahanya lebih dari US$ 1 miliar. Walhasil, kerugian awal tahun lalu menyentuh lebih dari US$ 64 juta dan hal itu terus berulang pada triwulan-triwulan berikutnya.
Calon presiden Prabowo Subianto beberapa kali menyoroti kinerja sejumlah badan usaha milik negara saat debat dan kampanye pemilihan serentak lalu. Garuda salah satunya. Dalam acara konsolidasi koordinator tempat pemungutan suara se-DKI Jakarta, Prabowo menyebutkan satu per satu BUMN akan bangkrut, termasuk Garuda Indonesia. Prabowo juga mengkritik manajemen Garuda saat debat calon presiden sesi terakhir, 13 April lalu. “Flag carrier yang kita lahirkan kenapa jadi morat-marit seperti sekarang?” ujarnya.
Pesawat Garuda Indonesia di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten./TEMPO/Rully Kesuma
Jauh sebelum debat itu, tepatnya medio Maret lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengatakan keuangan Garuda beranjak membaik. Setelah merugi US$ 216,58 juta sepanjang 2017, Garuda membukukan laba bersih US$ 115,25 juta pada kuartal keempat 2018. Keuntungan itu sekaligus menutup kerugian selama Januari-September 2018. Saat itu Garuda belum merilis laporan keuangan 2018.
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan rapor keuangan Garuda sudah lama merah. Menurut dia, Garuda hampir masuk kategori bangkrut. Pada 2014, Garuda sempat rugi hingga US$ 368 juta. Kondisinya membaik pada 2015 dan 2016. Namun, dua tahun lalu, maskapai penerbangan nasional ini kembali terpuruk dengan kerugian hingga US$ 213,4 juta. Direktur Utama Garuda Indonesia saat itu, Pahala Mansury, beralasan kerugian disebabkan oleh volume konsumsi avtur dan biaya tambahan untuk pembayaran pengampunan pajak serta denda legal di pengadilan Australia. “Kondisinya hampir sama seperti Krakatau Steel,” tutur Alfred.
Barulah pada 2018 perseroan mulai membukukan laba bersih US$ 5 juta. Sinyal perbaikan juga terlihat dari jumlah pendapatan yang meningkat. Kenaikan pendapatan usaha dari penerbangan berjadwal memiliki porsi terbesar. Perseroan memang menaikkan tarif tiket penumpang dan kargo sejak akhir tahun lalu. Walhasil, pendapatan dari sektor itu naik 3,6 persen.
Selain mendapat penghasilan dari penerbangan berjadwal, Garuda Indonesia mencetak pemasukan besar dari pendapatan lain-lain. Salah satunya dari peluncuran fasilitas konektivitas Internet gratis dalam penerbangan. Garuda menggandeng PT Mahata Aero Teknologi untuk menggarap pemasangan jaringan Wi-Fi di pesawat.
Tak hanya untuk Garuda, Mahata juga menyediakan Wi-Fi gratis bagi Citilink dan Sriwijaya mulai tahun ini. Operator wireless ini menggandeng Inmarsat sebagai satelit dan Lufthansa Technik untuk pengembangan perangkat lunak dan perangkat keras. Pada Oktober 2018, Mahata menyetujui pembayaran biaya kompensasi dalam pemasangan peralatan hingga US$ 211 juta yang dibayarkan pada triwulan terakhir 2018.
Alfred menilai pendapatan besar dari pemasangan Wi-Fi hanya diraih sekali. Selebihnya, Garuda dan operator teknologi itu akan melakukan bagi hasil. Adapun beban operasional Garuda, terutama untuk konsumsi bahan bakar dan sewa bandara, masih cukup besar. “Di kemudian hari, tanpa tambahan dana besar seperti itu, makin besar defisitnya,” ucap Alfred.
Porsi konsumsi avtur terhadap keseluruhan beban operasional Garuda Indonesia memang cukup besar. Tahun lalu, saat harga bahan bakar naik, beban bahan bakar perseroan meningkat 20,8 persen, ditambah dengan peningkatan volume bahan bakar sekitar 1 persen.
Mahalnya ongkos konsumsi avtur juga sempat dijadikan alasan Garuda dan sejumlah maskapai lain untuk menaikkan harga tiket penumpang pesawat. Direktur Utama Garuda Indonesia Askhara Danadiputra, yang juga Ketua Asosiasi Angkutan Udara Nasional (Inaca), mengatakan komposisi bahan bakar terhadap seluruh beban operasional mencapai 45 persen. Selain avtur, volatilitas nilai tukar rupiah membuat keuangan maskapai memburuk.
Menurut Alfred, investor sempat lega ketika pemerintah mengumumkan rencana masuknya PT AKR Corporindo sebagai alternatif penyuplai avtur, selain PT Pertamina (Persero). Masuknya AKR Corporindo sebagai pemain baru bisnis avtur diharapkan akan menurunkan harga bahan bakar sesuai dengan harga pasar. “Karena selama ini Garuda harus membayar bahan bakar dengan harga premium,” kata Alfred.
Direktur Keuangan Fuad Rizal mengatakan Garuda Indonesia akan tetap bekerja sama dengan Pertamina untuk mendapat pasokan avtur sebagai bentuk sinergi antar-BUMN. Saat ditemui di kantornya, Januari lalu, Askhara menyebutkan fokus perseroan justru bukan mendapatkan perusahaan penyuplai avtur lain, melainkan mengontrol efisiensi antar-anak usaha Garuda Indonesia Group. “Sekarang dengan Sriwijaya dan Citilink sudah jadi satu pengadaannya,” ucap Askhara.
Kerja sama manajemen Garuda dengan Grup Sriwijaya Air itu juga mulai berpengaruh terhadap pendapatan usaha Sriwijaya. Buktinya, pendapatan usaha dan laba bersih Sriwijaya Air tumbuh signifikan pada kuartal pertama tahun ini.
Belakangan, Garuda memang lebih banyak membidik strategi bisnis jangka pendek untuk mempercepat laju bisnis perusahaan. Fuad tak menyangkal jika Garuda disebut lebih banyak mengejar pendapatan di luar penjualan tiket, seperti lewat program keanggotaan GarudaMiles, fasilitas pembelian bagasi sebelum penerbangan dan kursi duduk pilihan, serta tukar poin keanggotaan.
Apalagi tren pendapatan dari sektor ini makin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan setia Garuda. “Kalau mengandalkan margin dari tiket penumpang, kecil sekali, hanya 1-2 persen,” tutur Fuad.
PUTRI ADITYOWATI, ANDI IBNU RUSLI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo