Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Cara Mandiri Besar Sendiri

Akuisisi saham Bank Permata memasuki proses uji tuntas. Petinggi Standard Chartered, Astra, dan Mandiri bertemu di Singapura membahas rencana akuisisi.

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perlu waktu tiga bulan bagi Kartika Wirjoatmodjo untuk mengakui bahwa Bank Mandiri telah memulai proses pembelian PT Bank Permata Tbk. Setelah kerap menghindar dari kejaran juru warta, Direktur Utama Bank Mandiri ini mulai memberikan kisi-kisi. Pada Senin malam, 8 April lalu, ia menyebutkan hasil uji tuntas akuisisi Permata sudah bisa diumumkan bulan ini.

Pernyataan Tiko—sapaan akrab Kartika—itu sekaligus membenarkan rumor yang selama ini berembus di pasar. Sejak awal 2019, bank dengan aset terbesar kedua di Indonesia ini dikabarkan hendak membeli Bank Permata. Mandiri disebut-sebut telah menggandeng Morgan Stanley melakukan uji tuntas guna menjajaki kemungkinan mengakuisisi Permata.   

Tiko sebetulnya sudah memberikan sinyal sejak Januari lalu. Dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) mencapai 21 persen, bank pelat merah ini memiliki modal lebih besar 4 persen dari kebutuhan. Mandiri berencana menggunakan kelebihan modal tersebut, yang nilainya setara dengan Rp 30-35 triliun, untuk menopang ekspansi melalui aksi korporasi.

Duit setumpuk itulah yang disiapkan Tiko untuk mengincar bank kelas menengah. “Kalau kami ambil bank dengan aset kisaran Rp 20 triliun, tidak akan signifikan,” ucapnya. Ia juga memberikan sinyal bahwa bank yang hendak diakuisisi memiliki lini bisnis tidak sama dengan segmen dan produk Mandiri.

Ikhtiar Mandiri membeli saham Permata muncul di tengah kabar rencana Standard Chartered Bank melepas bank tersebut. Menurut Kepala Ekuitas Retail dan Koordinator Cabang RHB Sekuritas Indonesia Soesilowati Asalim, kabar tersebut sebenarnya bertiup sejak tiga tahun lalu. “Pada Desember 2018, kabar itu kencang lagi,” tutur Soesilowati, Kamis, 18 April lalu.

Bos besar Standard Chartered PLC, Bill Winters, mengatakan Permata memang sedang mengalami kesulitan. Ia mengakui baru menyadari tantangan Permata satu tahun setelah menjadi orang nomor satu di bank yang berpusat di London, Inggris, ini. “Kami menghabiskan satu setengah tahun untuk membersihkan bank ini secara agresif,” ujar Winters sekitar November 2018.

Sebelum Standard Chartered bersih-bersih, Permata memang babak-belur. Pada 2016, Permata rugi Rp 6,48 triliun. Angka itu adalah kerugian terbesar sejak bank tersebut dibentuk dari merger lima bank sakit pada 2002 oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Standard Chartered dan PT Astra International Tbk baru mengambil alih bank ini pada 2004. Keduanya sama menguasai 44,56 persen saham Permata. Publik memegang 10 persen sisanya.

Pada 2016, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bruto Permata mencapai 8,8 persen. Permata pun masuk daftar pengawasan Otoritas Jasa Keuangan karena batas maksimal NPL adalah 5 persen. Adapun rasio kredit macet netonya 2,24 persen. Angka itu melonjak dibanding rasio kredit bermasalah bruto 2015, yakni 2,74 persen, dan kredit macet neto 1,40 persen. 

Dari Rp 9,6 triliun pokok kredit yang bermasalah pada 2016, Permata mencadangkan Rp 7,2 triliun sebagai kerugian. Permata juga menjual sebagian kredit bermasalahnya. Aksi bersih-bersih tersebut membuat rasio kredit bermasalah bruto Permata turun menjadi 4,36 persen dan rasio kredit macet neto tinggal 1,73 persen pada akhir 2018. 

Namun perbaikan itu tampak tidak meyakinkan bagi Standard Chartered. Pada 26 Februari 2019, Bill Winters mengumumkan prioritas baru bank asal Inggris ini untuk periode 2019-2021. Salah satunya “menghilangkan hambatan residu terhadap pasar yang tingkat pengembaliannya rendah” seperti Indonesia. 

Kinerja Bank Mandiri Vs Permata

Pernyataan tersebut adalah sinyal kuat melepas Permata. Apalagi Standard Chartered terjepit aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang hanya membolehkan bank asing memiliki satu bank (single presence policy) sejak 2017. Mereka yang belum melaksanakan kebijakan itu punya tiga pilihan: mengadakan merger, melakukan divestasi, atau membentuk holding. “Semua bank sudah mengajukan rencananya kepada OJK untuk memenuhi kewajiban tersebut,” kata Anto Prabowo, Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis OJK, Jumat, 19 April lalu. “Cuma, seberapa cepat mereka mendapatkan investor tergantung mereka sendiri.”

Dalam risetnya, RHB Sekuritas percaya Astra akan mengikuti jejak Standard Chartered. RHB yakin Astra akan melepas sahamnya setelah salah satu blue chip di Bursa Efek Indonesia itu membeli kembali 25 persen saham PT Astra Sedaya Fi-nance (Astra Credit Companies) dari Permata pada 2018.

Menurut hitungan RHB, Astra membutuhkan waktu lama agar investasinya di Permata yang sudah mencapai Rp 9,6 triliun bisa impas. “Kami memandang Astra memiliki lebih banyak sinergi dengan anak perusahaan pembiayaan daripada Permata untuk mendukung bisnis otomotifnya,” begitu pernyataan RHB dalam risetnya, 27 Februari lalu.

Meski Mandiri baru mengakui sedang menjalani akuisisi pada awal April ini, seseorang yang sejak awal mengetahui proses tersebut mengatakan bank badan usaha milik negara itu sudah mengantongi proposal Permata sejak akhir 2018. Pada kuartal ketiga 2018, Standard Chartered Bank mengajukan proposal penjualan.

Tidak lama setelah itu, kata sumber ini, masuk proposal dari The Australia and New Zealand Banking Group Limited alias ANZ, yang ingin melepas 38,82 persen sahamnya di PT Bank Pan Indonesia (Panin) Tbk. Saham ANZ tercatat atas nama Vontraint No 1103 PTY Ltd. September 2018, Bloomberg mengabarkan ANZ menunjuk Morgan Stanley menjadi penasihat divestasi. “Tapi Mandiri mendahulukan proposal Permata,” ujar sumber ini. Sama seperti Standard Chartered, sumber tersebut melanjutkan, ANZ terbentur kewajiban pemilikan tunggal bank.

Pertengahan Maret lalu, Kartika Wirjoatmodjo mengkonfirmasi kabar bahwa Mandiri melihat ada dua bank yang berpotensi mereka akuisisi. Ukurannya menengah. Namun Tiko tak menjelaskan lebih detail bank-bank tersebut.

Negosiasi dengan Standard Chartered dan Astra makin serius sejak awal bulan ini. Menurut sumber yang sama, pada pekan pertama April, pertemuan tingkat atas digelar di Singapura melibatkan petinggi Standard Chartered, Astra, dan Mandiri. Pertemuan itu menghasilkan negosiasi yang lebih serius, yaitu uji tuntas mendalam. Mandiri, kata sumber ini, ingin memelototi buku Permata sebelum mengajukan harga.

Adu Kuat di Industri Perbankan

Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas menolak berkomentar tentang persamuhan di Singapura. Dimintai konfirmasi sepanjang pekan lalu, Rohan menjawab pendek: “Belum bisa berbicara.” Respons yang sama datang dari Standard Chartered Bank. “Kami tidak dapat berkomentar terkait dengan spekulasi yang ada,” Corporate Affairs Standard Chartered Bank menjawab lewat surat elektronik. Konsultan Senior IndoPacific Edelman, Maretha Sambe, yang membantu komunikasi Standard Chartered Bank, meminta jawaban tersebut diatribusikan kepada juru bicara Standard Chartered saja tanpa nama.

Head of Corporate Communications Astra International Boy Kelana Soebroto mengatakan Astra tidak mau mengomentari spekulasi di pasar. “Dalam beberapa tahun terakhir kami ingin memastikan Bank Permata sehat,” kata Boy, Sabtu, 20 April lalu. Adapun Head of Corporate Affairs Permata Richele Maramis menyatakan tidak bisa merespons urusan pemegang saham. “Itu bukan ranah kami,” tutur Richele, Kamis, 18 April lalu.

Berapa valuasi Permata? RHB Sekuritas mencatat valuasi merger dan akuisisi sektor perbankan berada di rentang 1,4-3 kali rasio harga saham dengan nilai buku (price-to-book value atau P/BV). Transaksi yang menyita perhatian adalah pembelian Bank Danamon oleh Mitsubishi UFJ Financial Group dari Temasek dengan rentang valuasi 2-2,3 kali P/BV pada pertengahan 2018. Artinya, harga yang disepakati dalam transaksi itu adalah 2,3 kali nilai buku per lembar saham.

Mengacu pada kinerja Permata 2018, nilai buku bank tersebut adalah Rp 800 per lembar saham. Jika mengacu pada harga saham Permata sebesar Rp 985 per lembar pada 26 Maret 2019, P/BV bank itu hanya 1,2 kali. RHB percaya valuasi Permata berada di bawah rentang lantaran tingkat pengembalian ekuitas (return of equity) bank itu di bawah rata-rata bank lain, yaitu hanya 4-5 persen. Sedangkan rasio kredit bermasalah brutonya masih tergolong tinggi, yakni 4,36 persen. 

Kartika Wirjoatmodjo sadar harus merogoh kocek tidak sedikit. Namun, bila berhasil mengakuisisi Permata, Mandiri dipastikan akan membalap Bank Rakyat Indonesia menjadi bank dengan aset terbesar di seluruh negeri. 

KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, GHOIDA RAHMA, DIAS PRASONGKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus