Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saatnya Indonesia berbenah. Presiden Joko Widodo berhasil memperbarui modal politiknya setelah memenangi Pemilihan Umum 2019. Tak ada banyak waktu bagi Jokowi untuk bersukaria merayakan kemenangan itu. Ia harus segera menjawab optimisme dan ekspektasi pasar yang begitu tinggi pada Indonesia. Sementara itu, banyak persoalan rumit yang menunggu menuntut penanganan segera.
Optimisme pasar sudah tergambar sejak awal tahun. Aliran modal masuk dengan deras melalui pasar finansial. Datangnya pemilu sama sekali tidak memicu kaburnya modal. Dana asing justru mengalir masuk karena hasil berbagai survei menunjukkan Jokowi bakal menang. Persepsi pasar memang lebih positif jika Jokowi yang memenangi pemilu. Pasar finansial sudah dapat menakar kebijakan Presiden Jokowi selama ini. Sebaliknya, bila Prabowo Subianto yang naik, akan muncul ketidakpastian baru. Pasar khawatir Prabowo akan menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih tertutup jika menjadi presiden.
Jokowi memang tengah beruntung. Menjelang pemilu, situasi global juga mendukung masuknya modal ke Indonesia. The Federal Reserve sudah menyatakan tidak akan menaikkan bunga selama 2019, sejalan dengan mulai melemahnya ekonomi Amerika Serikat. Ini membuat dana investasi dalam jumlah besar kembali mengalir ke berbagai negara berkembang. Di Indonesia, dana itu masuk dengan deras melalui pasar saham dan obligasi.
Di pasar saham, sejak awal tahun hingga 18 April lalu, total modal asing yang masuk mencapai Rp 15,2 triliun. Sikap tak kesatria Prabowo, yang menolak mengakui kekalahan, belum berpengaruh pada tren positif ini. Dalam satu hari saja, 18 April 2019, ada arus modal asing masuk ke pasar saham senilai Rp 1,43 triliun.
KURS
Tingginya keyakinan investor terhadap Indonesia juga tecermin pada masuknya modal yang sangat besar ke berbagai obligasi yang diterbitkan pemerintah. Sejak awal tahun hingga sehari sebelum pemilu, modal asing yang masuk ke berbagai obligasi terbitan pemerintah tercatat Rp 60 triliun.
Tren positif ini semestinya akan terus berlangsung mengingat situasi politik Indonesia stabil. Mulusnya penyelenggaraan pemilu, nyaris tanpa bentrokan dan tindakan anarkisme, akan kian keras memicu masuknya dana investasi. Namun di sini pula muncul tantangan agar ekspektasi investor terpenuhi. Salah satu soal tersulit yang harus segera dijawab adalah bagaimana mengatasi defisit neraca transaksi berjalan yang persisten mengganduli perekonomian Indonesia. Tahun lalu, defisit ini mencapai US$ 31 miliar.
Selama kuartal I 2019, neraca perdagangan Indonesia masih minus US$ 194 juta, meski pada Februari dan Maret ada surplus. Sayangnya, surplus neraca perdagangan dua bulan terakhir itu lebih disebabkan oleh turunnya impor secara drastis, bukan karena melonjaknya ekspor. Selama Maret 2019, misalnya, penerimaan ekspor Indonesia malah merosot 10 persen dibanding Maret tahun lalu. Jika neraca perdagangan tak berhasil mencetak surplus yang cukup gendut, rentetan berikutnya adalah munculnya defisit di neraca transaksi berjalan. Defisit inilah yang pada gilirannya akan terus-menerus menekan kurs rupiah.
Mengatasi defisit ini memang tidak mudah, membutuhkan perubahan struktural. Satu contoh, Indonesia masih sangat bergantung pada komoditas hasil alam sebagai penghasil dolar. Produk-produk manufaktur kita makin kalah bersaing. Tanpa perbaikan iklim investasi dan regulasi perburuhan, misalnya, mustahil sektor manufaktur Indonesia dapat berkembang pesat.
Dengan mandat baru sebagai presiden pada periode kedua, Jokowi kini punya modal yang cukup kuat untuk melakukan perubahan struktural. Semestinya modal itu tak tersia-siakan agar kelak tercatat dalam sejarah bahwa Presiden Joko Widodo mewariskan ekonomi yang sehat bagi seluruh rakyat.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB- Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo